Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Deandels (1808-1811) sampai Era Reformasi

Korupsi menjadi masalah yang sejak dulu menghantui Indonesia sebelum menjadi bangsa maupun menjadi negara bahkan masih ada sampai sekarang ini. Jika melihat sejarahnya masalah korupsi tidak terlepas dari adanya budaya upeti (kado) pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Semakin melimpah dengan kedatangan bangsa eropa yang awalnya untuk menyewa tanah atau untuk berdagang. Ini membuka jalan kepada pejabat pribumi untuk bertindak korup dan berkembang serta berlanjut seterusnya. Jika melihat sejarahnya atau polanya korupsi sepertinya selalu berulang dan kembali.

Secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, dan penyimpingan. Korupsi adalah masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat serta membahayakan pembangunan ekonomi politik serta merusak nilai-nilai demokrasi. Persoalan korupsi yang melawan hukum selalu ditujukan mereka yang memiliki jabatan atau keadaan mereka yang memiliki posisi kusus dalam kehidupan publik.

Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang luarbiasa ordinary crime yang melibatkan pelaku ekonomi kelas atas dan birokrasi atau birokrat maupun pihak pemerintah. Oleh karena itu korupsi membutuhkan penanganan yang luar biasa maka hukum befungsi sebagai kontrol social dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum membutuhkan alat yang berupa peraturan-undangan dan lembaga penegak maupun yang lainnya.

Baca Juga:

  1. Sejarah Korupsi di Indonesia dan Bagaimana Oligarki Bekerja
  2. Menyoal Korupsi di Indonesia Lewat “Kacamata” Sejarawan Inggris
  3. Saatnya Menulis Sejarah Korupsi di Daerah

Berbagai upaya dilakukan namun masalah korupsi yang dihadapi tidak jauh berbeda, sayangnya upaya untuk memerangi korupsi masih saja gagal. Korupsi akan menjadi sebuah ancaman serius dan nyata bagi eksistensi bangsa dan negara. Misalnya adanya pungli di era kolonial, gubernur Deandels perintah untuk memimpin dan menjaga pulau Jawa dengan membentuk kebijakan atau kekuasaan sentralisasi dengan tujuan membrantas atau mengurangi pungli yang menjangkit pemerintah polonial dengan para residen keraton (raja-raja). (hal 39). Dapat dilihat praktek suap yang telah terjadi begitu cepat berkembang secara masif.

Deandels membuat struktur baru sentralisasi sebagai dasar hubungan keraton dengan pusat di Batavia serta membangun hubungan langsung dengan para residen keraton. Deandels menghapus pemerintahan pantai timur laut Jawa pada tahun 1808 sebagai langkah awal dalam memberantas korupsi dan penyelewengan yang terjadi pada penguasa di pantai timur laut Jawa. Selain itu melarang para bupati atau pejabat memberikan upeti atau suap sebagai perwaikilan gubernur.

Deandels perbendapat korupsi yang terjadi karena rendah peraturan serta hukum, selain itu tidak adanya gaji pegawai. Pada zaman kolonial pejabat hanya mendapatkan sebidang tanah sebagai gaji dengan permasalahan itu Deandels menerbitkan peraturan baru mengatur pemberian gaji bulanan bagi semua pegawai. Peraturan ini dikeluarkannya dalam rangka reformasi birokrasi dan harapanya menekan perilaku korup.

Kasus korup juga pernah terjadi pada bangsa Inggris era 1660-1830 yang pernah maju dan berjaya namun hancur karena korupsi yang terjadi pada parlemen, lembaga militir dan eksekutif dengan adanya politik uang. (hal 51-54). Di Inggris butuh waktu kurang lebih 150 tahun untuk melawan korupsi yang sudah merajalela. Berbagai upaya dilakukan dengan membentuk pengawasan keuangan negara, melibatkan sektor swasta, mereformasi sistem pengadilan dan memperbaiki birokrasi agar mampu menciptakan institusi yang bersih. Ada beberapa hal yang dilakukan Inggris yaitu adanya pengaruh agama Protestan dan berkembangnya utilitarianism yakni kebahagian terbesar dari sebanyak mungkin orang. Hal ini jauh berbeda yang terjadi di Indonesia agenda reformasi yang sudah dirancang sedemikian rupa namun masih belum bisa bersih dari kasus korupsi yang terjadi.

Revolusi mental yang terjadi dan berkembangnya filsafat moral yang dikembangkan oleh filsuf sosio-ekonomi dan ahli hukum Inggris yang menitik beratkan kepada unsur hemat, efisensi, kebersajahan dan integritas tinggi. Tidak ada tebang pilih menjadi kunci sukses dari perjalanan kasus di Inggris. Bisa menjadi contoh untuk Indonesia namun gagal didalam praktiknya dalam membarantas korupsi.

Jika melihat demokrasi dan tatanan negara hukum Indonesia masih terjadinya tumpang tindih misalnya seputar pluralism, toleransi dan kekuasaan. Karena hukum menentukan negara modern yang syarat penting bagi pemberantasan korupsi. Efektif utamanya adalah leadership politik, primodialisme dan politik nasional serta parsialnya agenda reformasi. Masalah birokrat yang masih kaku antara relasi bawah dan atas dan ini terjadi disemua lembaga, selain feodal birokratnya juga masih malas untuk bekerja serius. Selain itu situasi politik yang terjadi di Indonesia yang tidak mendukung penuh upaya pembarantasan korupsi. Serta berbagai permasalahan yang terjadi seperti halnya ekonomi yang lemah, rupiah anjlok, pengangguran yang marak, kemiskinan membaut kesadaran moral belum mampu untuk membangkitkan seperti yang terjadi di Inggris abad 18.

Terlepas dari dirkursus korelasi antara desentralisasi dan korupsi sangat penting bagi bangsa Indonesia untuk mengambil pemebelajaran dari maraknya korupsi yang terjadi, faktor apa yang mendorong, siapa yang berperan penting dalam kasus dan upaya apa saja yang sudah dilakukan berbagai pertanyaan yang muncul akan memiliki relevansi untuk memberantas korupsi. Persoalan korupsi sudah menjadi persoalan global artinya hampir setiap negara memiliki kasus korupsi termasuk Indonesia. Namun dari berbagai persoalan seharusnya kita mampu belajar karena kasus korupsi begitu memprihatikan hampir disemua institusi terjangkit persoalan korupsi sebuah penyakit menular. Hukum memiliki peranan penting dalam pemberantasan korupsi secara kuantitas, intrumen hukum sudah representative untuk menangani tindak pidana korupsi serta adanya pembenahan moral bangsa adalah dasar dari sebuah tanggung jawab serta semua elemen bangsa bergerak bersama meberantas korupsi.


Peresensi: Muhammad Sunandar Alwi

Catatan:

Tulisan ini merupakan pemenang kedua lomba pertama resensi buku Komunitas Bambu, “Korupsi Dalam Silang Sejarah: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi, Komunitas Bambu

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *