Sejarah Korupsi di Indonesia dan Bagaimana Oligarki Bekerja

Komunitas Bambu bekerjasama dengan Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan diskusi bedah buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi dan kaitannya dengan fenomena sekarang dengan tema “Reformasi Dikorupsi,” di Ruang Apung Perpustakaan UI pada Rabu (02/10/2019).

Setelah pembawa acara membacakan rangkaian acara, dan sambutan yang diberikan oleh Kepala UPT Perpustakaan UI, Fuad Gani, S.S., M.A., acara resmi dibuka dan memberik jalannya diskusi kepada Moderator, Rahmat E. Sutanto.

Diskusi bedah buku dimulai oleh Peter Carey yang memaparkan isi bukunya. Menurutnya, Diponegoro melakukan pemberontakan, salah satu faktornya ialah dikarenakan adanya korupsi.

“Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1925 – 1930 itu sebenarnya terjadi karena korupsi. Selama hampir 200 tahun sejak Pangeran Diponegoro menampar patih karena korupsi penyewaan tanah, isu korupsi masih saja terus ada dan belum ada solusi.” Ujarnya.

Peter Carey mengatakan bahwa situasi untuk korupsi bukan hanya mengambil uang, tapi juga waktu, kesempatan, masa depan negaramu. Selanjutnya ia mengajak kita untuk merefleksikan bahwa Singapura dulu menjadi pangkalan militer Inggris dan sampai sekarang tidak pernah ada kasus (korupsi) yang menonjol. Konon, Singapura adalah tempat aman untuk membuat bisnis. Kalo bukan kita yang bergerak dan menangani permasalahan korupsi ini, maka di masa depan kita bangsa Indonesia akan kembali menjadi korban.

Baca Juga:

Menyoal Korupsi di Indonesia Lewat “Kacamata” Sejarawan Inggris

Acara diskusi tersebut dilanjutkan oleh Haris Azhar yang mengatakan bahwa dalam buku Peter Carey (Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi) itu membantu kita melihat korupsi dalam sejarah panjang. Dan hal menarik adalah bagaimana melihat ruang korupsi di mana, terjadi di ruang sejarah.

Bukan soal sistem pemerintahan yang memungkinan itu terjadi, tetapi melebihi itu, yakni bagaimana soal relasi dalam negara. Dan situasi ini sama dengan zaman dulu, atau yang disebut dengan oligarki, sejak dulu pula sebenarnya oligarki itu sudah lama ada.

“Kebencian terhadap korupsi itu tinggi, terhadap kata korupsi itu juga sangat tinggi. Kita selalu mempersepsikan korupsi sebagai penyebab keburukan. Urgensi terpenting ialah sejauh mana, kita melawannya dan dalam ruang seperti apa korupsi itu terjadi. Kita bisa melawan korupsi itu dengan memperdalami permasalahannya.” Ujar Haris

Menurutnya kita ada dalam pertarungan banyak pihak, apalagi menyoal korupsi, apakah kita mampu untuk melawannya? Korupsi hari ini, saya menduga, dia adalah varian dari curang dan yang bukan haknya.

“Korupsi itu juga membutuhkan pengetahuan pada taraf tertentu.” Ujarnya

Dalam sistem oligarki, bagaimana praktek kejahatan itu diproduksi dan berjalan seolah sebagai program dan kerja pembangunan tetapi juga dibungkus oleh minoritas orang yang punya uang, informasi, lobi, dan bisa menguasai elite atau elitenya juga bagian dari oligarki tersebut.

Korupsi saat ini terjadi itu ialah penguasaan berbagai bidang, masa depan. Praktek bisnis itu yang bisa mengkooptasi, mengontrol pemangku kebijakan untuk mengeluarkan SK.

Di level-level kebijakan itulah dijaga, karena ada aparat-aparat dan pemangku kebijakan yang mampu mengeluarkan keputusan, dan dilevel itulah korupsi itu bisa terjadi dan mengkooptasi masa depan. Zaman orba korupsinya terkontrol, sementara saat ini korupsinya memang dilakukan skalanya kecil, akan tetapi saling menumpuk.

Pertanyaan dan urgensinya kemudian menurut aktivis pegiat Hak Asasi Manusia dan pendiri Lokataru Foundation itu ialah bagaimana kita memperhatikan siapa yang ada di lingkaran tsb?

“Kita mesti manfaatkan kekayaan anda di tengah situasi hari ini, untuk terus mengawasi, bagaimana caranya mengontrol kebijakan saat ini.” Ucapnya

Haris menutup sesi pembahasan dari pembicara diskusi tersebut dengan mengucapkan rasa terima kasih kepada kawan mahasiswa, massa lain yang kemaren (23-25 September) menyuarakan dan berpartisipasi dalam iklim demokrasi, karena partisipasi masyarakat bukan hanya 5 tahun sekali saat ada pemilu, melainkan 24 jam setiap hari, sebab dari situ telah membukakan jalan untuk terus mengawal dan memulainya lagi (Reformasi).


Seri Kedua Reformasi Dikorupsi, Bedah Buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *