Menyoal Korupsi di Indonesia Lewat “Kacamata” Sejarawan Inggris

Pengesahan Rancangan undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi UU oleh DPR-RI, jelas memunculkan kekecewaan yang mendalam bagi masyarakat Indonesia.

Betapa tidak, KPK yang sejatinya dikenal sebagai lembaga independen, mandiri, serta menjadi senjata utama melawan korupsi di negeri ini, seakan dibuat tak bernapas, kehilangan taringnya, hingga mati suri. Itulah mengapa gelombang penolakan terkait UU tersebut, masih bergelora hingga hari ini.

Beberapa poin seperti pelemahan lewat Revisi UU KPK dari sisi penanganan perkara (penyidikan, penyadapan, hingga operasi tangkap tangan) yang ditentukan oleh Dewan Pengawas KPK yang berada di luar KPK.

Dan hal yang paling menghebohkan lainnya, ialah terkait pemilihan pimpinan KPK yang visi-misinya cenderung mendukung pelemahan dari institusi yang lahir lewat rahim pemerintahan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri.

Padahal, bukan rahasia umum jika yang harus diubah itu bukanlah UU KPK, karena sesungguhnya UU Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) yang justru memiliki urgensi  untuk diubah karena (terasa) ketinggalan zaman.

Hal ini sungguh anomali, di saat negera maju menganggap korupsi sebagai bahaya laten yang perlu diperangi. Entah mengapa di negeri yang kita cintai ini, korupsi masih mendarah daging bahkan cenderung dianggap sebagai hal yang terlampau biasa saja (mungkin karena korupsi sudah lumrah di masyarakat).

Namun, jika ingin menelusuri mengapa sikap pemangku kebijakan yang (terlalu) lemah dalam menangani korupsi (bahkan mau melemahkan KPK), maka tak salah lagi buku berjudul “Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia: dari Daendels (1808 — 1811) sampai era Reformasi” karya dari sejarawan Inggris, Peter Carey, bisa menjadi bacaan wajib.

Guna sejenak mencari tahu, sejenak menerka, serta sejenak mempelajari bagaimana korupsi dapat berkembang hingga hari ini.

Baca Juga:

Sejarah Korupsi di Indonesia dan Bagaimana Oligarki Bekerja

Mencari Defenisi Korupsi
Membaca buku ini, jelas membuat diri pribadi diberi kebebasan berkendara mengakses informasi terkait korupsi yang sudah menjangkiti bumi nusantara sedari dulu, mulai dari era Deandels hingga era reformasi.

Efeknya, siapapun yang membacanya dapat menyimpulkan artian dari korupsi itu sendiri. Yang seperti pepatah Prancis: Plus a change, plus c’est la meme chose (semakin berubah semakin tetap sama).

Ada yang mengatakan korupsi itu sebuah penyakit kronis yang berdampak fatal di bidang ketatanegaraan, hukum, birokrasi, pendidikan, kemasyarakatan, dan lain-lainnya.

Ada juga yang mengatakan korupsi adalah bagian dari tindakan yang mungkin telah ada setua peradaban manusia itu sendiri. Serta ada pula yang berucap korupsi menyangkut penyelewengan jabatan publik untuk keuntungan pribadi.

Apapun kiranya defenisi yang pas akan korupsi. Hal yang teramini oleh diri pribadi, tak lain ialah korupsi tak lebih dari tindakan seorang pengecut.

Pengecut yang hanya memanfaatkan jabatan, pengecut yang hanya memanfaatkan situasi, dan pengecut yang hanya memanfaatkan insting malingnya untuk kekayaan yang bersifat pribadi.

Penasaran dengan bagaimana sosok pengecut di masa lalu? Anda cukup duduk manis, dan ikuti saja alur tulisan ini membawa Anda berpetualang ke zaman kolonial.

Korupsi Zaman Kolonial
Jika ditelusuri, benih-benih korupsi telah berkembang sejak zaman kolonial, bahkan menurut Pater Carey, Korupsi-lah yang menjadi pemicu utama dari perang Jawa.

Menurutnya, kekesalan Diponegoro akan korupsi sudah sedemikian terlihat jelas melalui sebuah lukisan dirinya menampar Patih Yogya yang munafik dan korup, Danurejo IV, dengan selop tepat sebelum perang jawa karya dari sejarawan Pribumi pertama dari perang Jawa, Raden Adipati Joyodiningrat.

Tak hanya perang Jawa, sejarah turut pula mencatat pailitnya kongsi dagang Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang ikutan runtuh gara-gara korupsi. Alasannya sederhana, pejabat VOC yang seharusnya berdagang demi kepentingan majikan, malah berusaha bekerja hanya demi keuntungan sendiri (pribadi).

Pemandangan seperti itu sungguh lazim terlihat pada era tersebut, bahkan sekelas pejabat rendahan saja dapat begitu mewah kala menyambut para tamu datang ke kediamannya.

Bentuk penyelewengannya pun bisa berupa jualan kedudukan (bupati, tuan tanah, dll), serta monopoli barang dagangan berupa candu, garam dan lain-lain. Model-model seperti ini, “seolah-olah disahkan oleh sistem VOC yang buruk untuk memberi gaji yang amat kurang cukup kepada para pejabatnya, dan dengan demikian menimbulkan kerakusan yang tak terkendali. (hlm. 116)”

Oleh karenanya, VOC pun bangkrut, dan muncullah Hindia — Belanda ke permukaan yang di proklamirkan oleh pendirinya, Gubernur Jenderal H. W. Daendels (perwira Napoleon). Melalui pemerintahannya-lah pemberantasan korupsi mulai digalakkan (sekalipun tak dicapai dalam waktu sekejap). 

Salah satu cara yang Daendels gunakan yaitu dengan menaikkan upah seorang residen dengan cukup tinggi, sehingga tak ada lagi cerita pejabat yang mencari uang tambahan.

“Meski begitu, langkahnya memberantas korupsi, sedikit tercinderai oleh diri sendirinya yang secara terbuka menyalagunakan kekuasaannya untuk merampas berbagai aset pemerintah kolonial untuk dirinya sendiri, antara lain rumah peristirahatan di Bogor yang ia kemudian jual kembali kepada penggantinya, Jenssens, dengan keuntungan f 900.000 = 1,6 triliun rupiah uang sekarang. (hlm 39).”

Bahkan jika ditarik ke masalah penegakkan korupsi di era kekinian, problem pemberantasan korupsi, entah mengapa selalu kerap kandas karena ketiadaan restu politik.

Ada lembaga yang independen, malah kemudian dilemahkan. Ada contoh pejabat di negara maju yang mengundurkan diri setelah diketahui korupsi, malah kemudian para koruptor (di negara ini) cenderung tutup telinga. Ada politikus yang susah payah ditangkap, pas tertangkap, malah kemudian hobi keluyuran dan menikmati fasilitas nomor satu di hotel prodeo (penjara). 

Jika kita sebagai genarasi penerus bangsa tetap memaklumi hal seperti diatas, maka jangan salahkan jika dibeberapa tahun ke depan Indonesia bisa benar-benar bubar di 2030, (seperti ramalan yang pernah diungkap seorang jenderal pada pemilu presiden yang lalu). 

Jika Inggris Butuh 150 Tahun Memberantas Korupsi, Lalu Indonesia?
Membandingkan Indonesia dan Inggris itu ibarat kata, antara langit dan bumi ,alias sangat jauh. Tetapi, jika negara ini berani meminjam cara jitu dari Inggris dalam memberantas korupsi.

Paling tidak, pengalaman Inggris yang membutuhkan waktu selama 150 tahun, dapat membuat negeri ini belajar dalam memberantas korupsi dengan lebih cepat.

Semuanya karena secara pola dan jalannya sudah dilakukan lebih dulu oleh Inggris. Kiranya bagaimana langkah Inggris, maka kita dapat mengetahui seluruhnya lewat penuturan Peter Carey pada Bab Korupsi di Indonesia Kontemporer dan Pengalaman Sejarah Inggris  1660 — 1830.”

Alkisah, kondisi di Inggris pada saat itu cukup akrab dengan praktek korupsi. Ada penyuapan oleh tuan tanah, pejabat titipan, politik uang, penyeludupan barang mewah dan lain sebagainya, membuat Inggris yang pernah terkenal berjaya dengan militer, hancur lebur diterjang badai korupsi.

Beruntungnya, Inggris dapat bangkit. Kebangkitan Inggris dalam melawan korupsi itu diawali oleh nuansa ketakutan dan kekhawatiran atas hancurnya Inggris sebagai sebuah Negara. Sehingga, solusi yang kemudian muncul dan disebut oleh Peter Carey sebagai cara jitu menanggulangi korupsi ialah:

Pertama, pelibatan sektor swasta untuk menjalankan fungsi layanan publik. “Seperti bea cukai yang terus dikelola swasta — atau seperti Bank of England yang sejak 1694 di bawah pengawasan komisaris yang ditunjukkan parlemen. (hlm. 58)”

Kedua, pembentukan lembaga pengawas negara keuangan negara, yang mana tugasnya mengawasi belanja dan neraca departemen keuangan (HM Treasury), selebihnya berhak memanggil menteri dan pejabat senior untuk memeriksa keuangan mereka.

Ketiga, reformasi kehakiman, dan meningkatkan upah pegawai negeri sipil termasuk hakim peradilan secara substansial. Hal ini mulai dilakukan dari tahun 1645, ketika itu kenaikkan gaji hakim senior bisa mencapai 500%. “Dengan begitu dampaknya pun cukup signifikan kepada kejujuran kehakiman Inggris akhir abad 17. (hlm 59)”

Selain itu, faktor lain yang membuat Inggris mampu memukul mundur korupsi (secara subtansial) ialah pengaruh besar dari agama protestan, serta berkembangnya paham utilitarianism yang menitikberatkan kepada cara memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.

Setelah mengetahui 3 point di atas, pertanyaan berupa dapatkah Indonesia menjelma sekuat Inggris dalam memberantas korupsi, cenderung kurang tepat.

Hal itu jikalau berkaca pada kondisi negara saat ini yang notabene pendidikan anti korupsi sejak dini di bangku sekolahan masih sebatas wacana, gaji pegawai negeri terutama hakim yang masih kecil, maupun badan usaha milik negara yang enggan bermitra dengan swasta.

Sekali lagi, apakah mungkin pemberantasan korupsi dapat dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Jawabannya, jelas bisa, bahkan kalau mau, Indonesia tak perlu menunggu salama 150 tahun (seperti Inggris) dalam memberantas korupsi.

Semuanya dapat terjadi kala kita mengetahui akar masalahnya, mengetahui sejarahnya, serta mengetahui cara melawannya secara faktual. Maka jelas, gaung Indonesia melawan korupsi dapat kembali digaungkan (bukan seperti iklan salah satu Partai politik: katakan tidak pada(hal) Korupsi).

Maka dari itu, sudah selayaknya, rasa terima kasih terucap untuk Peter Carey yang mau membukukan pikirannya terkait korupsi. Oleh karenanya, kita menjadi tahu bahwa korupsi sudah lebih dulu menjangkiti negeri ini sedari era kolonial (bahkan di era sebelumnya).

Kita juga menjadi paham bahwa korupsi tak melulu dilakukan pejabat hindia-belanda saja, tetapi pribumi juga melakukan hal yang sama (sesuai situasi dan kondisi pada masa itu). Dan dari-nya juga kita menjadi tahu bahwa korupsi dapat diselesaikan (jika ada kemauan). Semangattt..

“Kebenaran adalah apa yang bermanfaat.” — William James (Filsuf)


Detail

Judul Buku: Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia
Penulis: Peter Carey
Terbit & Cetakan: Cetakan Kedua (Oktober 2017)
Penerbit: Komunitas Bambu
Jumlah Halaman: 278

Sumber Tulisan: Kompasina.com

Seri Pertama Reformasi Dikorupsi, Bedah Buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *