Aksiologi Serat Sastra Jendra: Falsafah Wayang sebagai Pandangan Dunia Manusia Jawa

By (author)Sri Teddy Rusdi

Rp250,000

Stok habis

Buku Kang Mbok Dr. Sri Teddy Rusdy yang pasti banyak berguna terutama bagi revolusi mental generasi masa depan ini tak bisa diceraikan dari novelnya Rahwana Putih, dari kertas-kertas kerjanya, kuliah-kuliahnya, maupun obrolan-obrolannya dengan saya terdahulu. Rahwana Putih tentang ajakan untuk tidak melihat hidup secara sepenggal-sepenggal, untuk melihat hidup penuh seluruh laksana Rahwana menghayati hidupnya, kawin dengan buku tentang Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu ini. Demikian juga kertas-kertas kerja maupun kuliah-kuliahnya tentang baik-buruk, salah-benar, yang selama ini disalahtafsirkan orang sebagai dua hal yang tidak manunggal, yang dikotomis, yang terpolarisasi. Obrolan-obrolan Kang Mbok, begitu saya memanggil doktor filsafat wayang ini… Obrolan-obrolannya dengan saya bahwa tanpa orang jelek tak ada orang baik, bahwa Rama jadi tampak baik lantaran ada Rahwana yang tampak buruk, kawin dengan buku tentang Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu yang di beberapa tempat disebut Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diri ini.

Bahkan peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan oleh Kang Mbok, kawin juga dengan bukunya tentang ilmu yang dibabarkan oleh Pandito Bimo Suci di gunung Argo Keloso ini. Suatu hari dalam haul Mas Teddy Rusdy, mendiang suami Kang Mbok, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Nasaruddin Umar bertausiyah bahwa selama ini orang menyangka bahwa pernikahan hanya berlangsung di antara manusia. Orang melupakan pernikahan lain yang juga hakiki, yaitu pernikahan Asmaul Husna. Bagaimana nama-nama suci Tuhan yang tampak seolah saling bertabrakan itu sejatinya padu dan tunggal. Betapa tauhid atau tunggalnya mereka seperti suami-istri antara Tuhan Maha Meninggikan versus Tuhan Maha Merendahkan, Tuhan Maha Mengampuni versus Tuhan Maha Menyiksa, Tuhan Maha Memberi Petunjuk versus Tuhan Maha Menyesatkan … dan lain-lain. Masing-masing itu bukan paradoks. Masing-masing itu adalah pasangan. Dipasangkan atau dibungkus oleh Tuhan Maha Rahman dan Tuhan Maha Rahim. Oleh Rahman-Rahim.

Tantangannya tinggal bagaimana membuat buku amat penting ini tidak malah berdampak negatif terhadap pembaca, seperti impaknya terhadap Raden Prahasto, putra raja Alengka yang semula tampan, berubah jadi raksasa gara-gara turut menyimak Sastro Jendro Hayuningrat Pangruwating Diyu. Bagi jiwa-jiwa yang belum siap, ilmu ini memang berpotensi membuat mereka berpendapat buat apa berbuat baik, toh baik dan buruk sama saja. Tetaplah berbuat buruk, agar sisa manusia lainnya tampak berbuat baik. Salah-salah, buku ini akan membuat jiwa-jiwa yang belum siap akan bersikap, buat apa membasmi kejahatan, toh tanpa kejahatan dunia ini tidak akan berjalan. Sama halnya kehidupan tidak akan berjalan bila manusia cuma punya siang tanpa punya malam.

Semoga tantangan tersebut bisa ditanggulangi dengan penyelenggaraan diskusi-diskusi kecil, sarasehan, jagong, angkringan, wayangan, dan lain-lain tentang Sastrojendro Hayuningrat Pangruwating Diyu. Tentu lebih afdol lagi bila di setiap kegiatan tersebut dihadirkan penulis buku ini.

Sujiwo Tejo

Padepokan ST-Art

Lereng Gunung Manglayang, Bandung,

akhir September 2023

 

SKU: 2023-11-2
Categories:, ,
Berat 0.20 kg
Dimensi 15.5 × 24 cm
Penulis Buku

Cetakan

color

hitam putih

Edisi

Ketebalan Buku

154 Halaman

Dimensi

15.5 x 24 cm

Jenis Kertas

Jilid Buku

Penerbit

Tahun Terbit

Ulasan Pelanggan

Belum ada Ulasan.

Be the first to review “Aksiologi Serat Sastra Jendra: Falsafah Wayang sebagai Pandangan Dunia Manusia Jawa”

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *