Lembaga agama dan kepercayaan merupakan lembaga peredam konflik. Pada zaman pra-Kristen, bius merupakan organisasi keagamaan yang amat efektif meredam konflik. Ketika bius menyelenggarakan upacara tahun baru yang dinamakan mangase taon, maka semua konflik harus dilupakan. Ritus tersebut menciptakan rekonsiliasi. Setelah memeluk agama Kristen, akibat persaingan dan perebutan kekuasaan di dalam organisasi gereja, justru agama itu menjadi sumber konflik serta melumpuhkan perannya sebagai peredam. Memang ada beberapa ritus agama Kristen yang dapat dipakai sebagai lembaga peredam misalnya Natal, Paskah maupun perjamuan kudus (marulaon na badia) namun hanya temporer dan kurang efektif. Bahkan kalah efektif bila dibandingkan dengan ritus mangase taon pada organisasi kepercayaan bius pada zaman pra-Kristen.
Kegagalan institusi tradisional maupun agama sebagai lembaga pencegah atau pengambil solusi penyelesaian konflik disebabkan tiga faktor. Pertama institusi tersebut tidak mempunyai sanksi (terutama fisik) yang kuat sehingga dapat memaksa untuk melakukan dan mematuhi perdamaian. Kedua kemajuan pendidikan menimbulkan kesadaran terhadap peranan peradilan negeri sebagai lembaga penyelesaian konflik terpercaya. Ketiga semakin merosotnya nilai sosial religius pemimpin gereja akibat ulah pemimpin itu sendiri, sehingga kepercayaan umat berkurang drastis terutama belakangan ini. Buku ini hadir sebagai referensi atas konflik-konflik yang terjadi dalam struktur masyarakat Batak Toba. Buku ini menjadi penting bagi studi konflik sosial religius untuk siapa saja.
Be the first to review “Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba”