100 Tahun Penemuan Sriwijaya

JJ Rizal, Sejarawan


Namanya berbeda-beda Srivijaya, Srivisaya, Shilifoshi, Foshih, Sanfoqi, Sribhoja, Sribuza, Zabag,  Zabaj, Swarnabhumi, tetapi sami mawon yang dibicarakan: Sriwijaya. Harap diketahui juga itu bukan nama seorang raja, tetapi sebuah kerajaan.

Demikianlah George Cœdès (1887-1969) hampir 100 tahun yang lalu mengoreksi kekeliruan JHC Kern, arkeolog Belanda yang pada 1913 salah menafsir prasasti Kota Kapur yang bertitimangsa 28 Februari 686. Kelak para arkeolog mencanangkan hari Cœdès mengoreksi itu sebagai hari kelahiran “Kerajaan Sriwijaya”.

Cœdès memproklamasikan kelahiran kerajaan niaga maritim itu melalui eseinya “Le Royaume de Çrivijaya” yang diterbitkan pertama kali pada 1918 dalam Bulletin de l’École française d’Extrême-Orient. Kerajaan itu ditemukan Cœdès melalui pembacaan sumber prasasti-prasasti, 23 di Palembang dan Semenanjung Melayu. Ia perbandingkan dengan prasasti di Tamil dan teks-teks Cina serta Arab. Penemuan ini segera disambut perdebatan mengenai letak ibukota atau pusat Kerajaan Sriwijaya.  Sebagian bilang itu ada di tempat lain di Sumatera dan genting tanah di Semenanjung Melayu. Di sebelah menyebelah perbatasan antara Thailand dan Malaysia yang terdapat situs-situs purbakala yang lebih kaya dari Palembang.

Cœdès memasukkan semua situs itu ke dalam sejarah Sriwijaya, namun sampai meninggal ia tetap meyakini ibukotanya Palembang. Meskipun dibandingkan tempat lain daerah itu miskin peninggalan purbakala, tetapi tidak bisa dipungkiri Palembang yang paling besar kemungkinannya telah menyaksikan kelahiran Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Teorinya ini hampir saja dilupakan dan dikesampingkan untuk selamanya saat Ben Bronson, seorang Amerika penanggungjawab proyek penggalian di Palembang menyatakan tidak terdapat sesuatu yang berasal dari masa sebelum abad ke-14 yang patut diperhatikan. Lantas ia menyusun suatu teori mengenai urbanisasi di Asia Tenggara kepulauan yang tidak mungkin berkembang sebelum abad ke-15.

Belakangan terbukti Cœdès benar. Penggalian arkeologis sejak 1979 di Palembang dan sekitarnya memang terganggu. Ada kekurang pahaman pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya pelestarian peninggalan masa lalu mereka yang jaya. Bahkan di daerah yang disinyalir sebagai situs Kerajaan Sriwijaya malah didirikan Universitas Sriwijaya. Tetapi, bukti-bukti bahwa di Palembang ada kota yang lahir di abad ke-7 berhasil dikumpulkan. Belasan candi membuktikan agama Budha dan Hindu berkembang di sana antara abad ke-6 sampai ke-13.

Ada pameo di antara sejarawan. Beruntunglah mereka yang muda sebab dapat berdiri di atas “pundak para raksasa” dalam menjalankan kerja akademiknya. Cœdès adalah salahsatu raksasa itu. Sejarawan Pierre-Yves Manguin dan Soeroso MP mengungkapkan bahwa pada 1979 tidak akan dimulai penelitian arkeologi intensif di kawasan Sumatra, khususnya di bagian selatan dan sekitarnya, jika tidak ada esei menggetarkan Cœdès pada 1918 tentang Sriwijaya.

Pernyataan itu telah membuat Cœdès benar dengan pernyataannya dalam Les États Hindouisés d’Indochine et d’Indonésie bahwa “dalam waktu sekitar 15 tahun bukunya itu akan tinggal jadi barang afkir”. Mungkin benar demi melihat perkembangan kajian arkeologi, penemuan sumber-sumber baru, teknik dan metode penelitian mutakhir, termasuk orientasi dalam interprestasi data juga mengalami perubahan. Perkembangan itu membuat membaca kembali karya Cœdès segera merasakan ia hanya ribet dengan hal-hal yang berkisar pada soal “kepastian sejarah” (historical certainty).

Tetapi, Cœdès bukan tak sadar itu. Di usia senja ia masih sempat melihat datangnya corak baru penulisan sejarah. “New History” begitu kata Arthur Marwick dalam The Nature of History (1985). Para peneliti tidak hanya puas dengan “kepastian sejarah”, tetapi juga mencoba menentukan struktur sejarah atau sebuah kontruksi analitis yang sengaja dibuat yang akan lebih memudahkan untuk memahami gejolak peristiwa kekinian dari masa lalu suatu kawasan. Tanpa usaha itu—kata Taufik Abdullah—sejarah tak ubahnya dengan air yang mengalir tak berarah.

Tetapi, bagaimana pola atau struktur sejarah akan dibangun kalau masih gelap ihwal “apa”, “siapa”, “bila” dan “dimana”. Disinilah peran penting Cœdès. Ia telah menggunakan keahliannya yang luar biasa dalam epigrafi, arkeologi, linguistik, filologi dan sejarah untuk menjawab unsur-unsur yang paling esensial itu. Cœdès bukan saja berhasil mengenalkan Sumatra yang pada awal abad ke-20 masih merupakan terra incognita, lantaran keasyikan ilmuwan Belanda dengan Jawa. Sebab itu Cœdès tetap mendapat pengikut. Ia menjadi “raksasa” untuk banyak orang sebaik dan sekreatif mungkin menggunakan kesempatan untuk berdiri di atas pundaknya.

Tetapi, di pundak Cœdès bukan hanya sejarawan dan arkeolog yang berdiri di atas pundaknya. Para politisi pergerakan nasional pun ikut seraya menggunakan sejarah Sriwijaya untuk “menciptakan bangsa Indonesia”. Tahun 1930-an para politisi pergerakan kebangsaan Indonesia tak kalah meriah dengan para arkeolog menyambut penemuan Cœdès. Sukarno dan Mohammad Yamin adalah di antara yang paling serius memanfaatkan Sriwijaya sebagai lambang keagungan masa lampau Indonesia. Karena lambang baru ini kerajaan yang berpusat di Sumatera, otomatis memberikan semacam keseimbangan untuk menangkis kritik-kritik tentang dominasi Jawa dalam mengimajinasikan bangsa yang hendak dibentuk karena kekayaan pengambaran Majapahit.

Sriwijaya menyusul Majapahit dalam menginspirasi Indonesia. Inilah yang akan ditemui saat membuat rekonstruksi kultural dan situasi intelektual di sekitar proses lahirnya nasionalisme serta pembentukan bangsa Indonesia. Sukarno berada di garis terdepan mempertahankan pendapat bahwa secara politis bangsa Indonesia baru lahir, tetapi secara kultural ia sudah ada sejak lama. Pada 1932, di dalam pidato Indonesia Menggugat yang dibacakan di depan pengadilan kolonial di Bandung, Sukarno menempatkan Sriwijaya dalam trilogi sejarahnya di posisi pertama: “zaman lampau yang gemilang”.

Sukarno menegaskan kembali konsepnya ini saat pidato Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Dikatakannya sebelum ada negara nasional Indonesia “kita hanya dua kali mengalami nationale staat”. Sriwijaya adalah nationale staat yang pertama dan Majapahit yang kedua. Sukarno menyebut ini senapas dengan persetujuannya kepada Ernest Renan bahwa unsur terbesar terbentuknya bangsa ialah le desir d’etre ensemble alias kehendak akan bersatu. Kehendak Indonesia bersatu bukan unsur-unsur hakiki dan primordial, seperti landasan cita-cita “Jerman Raya” misalnya, tetapi bertolak dari dorongan sejarah.

Cœdès digelari sebagai le doyen. Dialah towering figure yang bukan saja telah bekerja penuh tanggungjawab untuk memberi “kepastian sejarah”, tetapi juga sekali waktu–pinjam ungkapan Onghokham–“banyak menimbulkan pemikiran (thought-provoking)”. Tak salah lagi Cœdès sukses dengan idenya memprovokasi pikiran para ilmuwan, bahkan para politisi pergerakan nasional yang hasilnya sangat jelas sebuah bangsa merdeka dengan sederet bukti historis kegemilangnya di masa lalu.

Kini dekat waktu peringatan 100 tahun esei menantang itu, pinjam istilah Cœdès, “poin d’appui” atau nilai terkuat apa yang hendak dirayakan? Terbentanglah suatu peluang memanfaatkan sejarah Sriwijaya sebagai strategi budaya yang berbeda dari yang sudah dilakukan oleh para pendiri bangsa. Sebab dunia terus berubah dan menemui hal serta tantangan baru yang menuntut strategi budaya baru yang salah satu unsur terkuatnya adalah ihwal bagaimana membentuk fakta atau kronologi masa lalu dengan pemaknaan yang baru.


Tulisan ini semula adalah bahan pemikiran yang mendasari pameran Pameran Kedatuan Sriwijaya : The Great Maritime Empire di Museum Nasional, Jakarta, 4-28 November 2017. Lantas dimuat sebagai kolom di tirto.id pada  20 November 2017, “100 Tahun Penemuan Sriwijaya”, https://tirto.id/100-tahun-penemuan-sriwijaya-cAmQ

 

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *