Sebelum perang, produksi padi di Jawa pas-pasan untuk konsumsi lokal. Namun tentara Jepang mengambil hasil panen padi untuk kebutuhan pasukan Jepang, bukan hanya untuk yang tinggal di Jawa, tetapi juga untuk yang tersebar di Indonesia Timur dan pulau-pulau di Laut Pasifik Selatan. Gudang padi di Asia Tenggara, seperti Thailand, Birma, dan Vietnam terletak di bagian barat Asia Tenggara. Di antara daerah yang menghasilkan padi cukup banyak di Asia Tenggara, Jawa terletak di paling timur serta diharapkan menyumbang peranan besar.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan, pemerintahan militer Jepang di Jawa mewajibkan petani menyerahkan sebagian hasil panen padi. Kantor Urusan Pangan di bawah Gunseikanbu menghitung jumlah padi yang harus diserahkan oleh masing masing shu (provinsi) sesuai dengan jumlah produksi zaman sebelum perang. Kemudian pemerintahan shu mengalokasikan jumlah itu ke kabupaten di bawahnya. Kabupaten lantas mengalokasikannya ke kecamatan untuk kemudian dihitung ke desa. Setiap desa mengalokasikannya ke petani. Di daerah subur kadang-kadang persentase yang diwajibkan ke masing-masing petani mencapai 30-50 % dari panen.
Ukuran sawah yang digarap oleh petani Jawa rata-rata kecil karena kurang dari 0.5 hektare. Hasilnya pun hampir semua untuk konsumsi sendiri. Mereka hanya menjual sebagian hasilnya untuk membayar pajak dan membeli kebutuhan sehari-hari. Kalau dipaksa menjual 30-50% ke pemerintah militer Jepang, mereka pasti mengalami kekurangan pangan. Mengapa jatah penyerahannya begitu tinggi? Kemungkinan besar prosentase menjadi semakin besar di tingkat bawah. Pemerintah daerah di tiap tingkat khawatir jatahnya tidak dipenuhi. Karena itu, mereka menambah jatah yang diperintahkan dari atas. Yang jelas, di tingkat paling bawah, yaitu di desa, jatahnya jauh lebih besar dibanding yang ditentukan oleh Kantor Urusan Pangan di pusat.
Harga padi yang diwajibkan jual ke pemerintah militer sangat murah. Meskipun makanannya kurang, petani tidak bisa membeli kembali karena hampir tidak ada beras yang dijual di pasar. Karena itulah para petani berusaha menyembunyikan padi mereka semaksimal mungkin. Contohnya, mereka melakukan panen pada tengah malam agar aparat tidak bisa mengetahui hasil panen. Di lain pihak, kepala desa giat mengontrol kegiatan petani dan mewajibkan petani melapor bila hendak panen. Panen diawasi oleh petugas dan pembeli padi.
Padi yang dipotong langsung ditimbang di sawah dan jatah wajib serah padi langsung dibawa ke tempat pengumpulan padi. Beras yang diterima Kantor Urusan Pangan tentara militer Jepang sebagian diedarkan di pasar di daerah perkotaan untuk kebutuhan penduduk dan sisanya diserahkan untuk konsumsi pasukan militer.
Tonarigumi yang didirikan di seluruh Jawa pada awal 1944 berperan penting dalam usaha mengumpulkan hasil panen padi. Tonarigumi di Jawa, yang dibentuk mengikuti contoh di Jepang, terdiri atas 10 dan 20 KK dan diketuai oleh seorang kumicho (kepala tonarigumi). Menurut anggaran dasar yang ditentukan oleh Gunseikanbu, tonarigumi antara lain berperan mempertahankan keamanan lingkungan, seperti mencegah bahaya udara, memadamkan api kebakaran, dan mencegah mata-mata. Selain itu, tonarigumi juga berperan untuk menyampaikan pesan dan program pemerintah ke penduduk di akar rumput, mengerakkan kebaktian rakyat, serta mengadakan gotong royong antar warga.
Namun peran yang paling utama adalah mengawasi penduduk agar tidak ada anggotanya yang melanggar peraturan. Umpamanya kalau ada yang panen di tengah malam, semua anggota tonarigumi dari yang bersangkutan akan kena hukuman. Kalau ada anggota yang tidak memenuhi jatah padi yang diserahkan, anggota lain harus membantu untuk menghindari hukuman bersama. Sistem tonarigumi ini diteruskan sesudah perang dan sampai sekarang masih beroperasi sebagai RT/RW. Pada zaman Orde Baru, RT/RW juga berfungsi sebagai alat pengawasan dan kontrol penduduk.
Beras yang diambil pemerintah militer Jepang dikirim ke wilayah timur. Namun kapalnya sering diserang oleh pasukan udara Sekutu. Jadi beras yang dikumpulkan dari tangan rakyat hilang di tengah laut. Karena itu, Kantor Urusan Pangan Gunseikanbu menugaskan pemerintah daerah menyetor padi lagi untuk mengganti kehilangan tersebut. Atas perintah itu, pejabat seperti camat dan kepala desa mengadakan razia di rumah-rumah petani untuk mencari sisa padi yang masih disembunyikan. Pada akhir zaman Jepang sudah ada peraturan bahwa petani boleh menahan padi sebatas jatah yang ditentukan untuk kebutuhan keluarganya sendiri, sementara kelebihannya harus diserahkan kepada pemerintah.
Sebagai akibat kekurangan beras, penduduk mengalami kekurangan gizi dan menurun kondisi kesehatannya. Penduduk didorong makan bahan makanan alternatif, seperti singkong, jagung, dan ubi. Ibu-ibu fujinkai (perkumpulan wanita) memperkenalkan resep bubur campuran yang dinamakan “bubur perjuangan”, “bubur Asia Timur Raya” dan lain-lain. Namun, upaya itu tidak cukup untuk mencegah kekurangan gizi yang menyebabkan banyak penduduk mulai kehilangan tenaga dan jatuh sakit. Di Kabupaten Indramayu terjadi pemberontakan petani secara spontan terhadap petugas pemerintah daerah yang datang untuk membeli padi. Perlawanan terjadi di beberapa desa secara berantai dan menimbulkan banyak korban di pihak rakyat.
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Aiko Kurasawaan, Perang Asia Timur Raya: Sejarah Dengan Foto yang Tak Terceritakan, hlm. 145-149. Buku juga terrsedia di Tokopedia, BukaLapak, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505
Comments (0)