Umat Islam dan Tradisi Ziarah

Fenomena pengeramatan para wali telah membentuk suatu peta religius, dan juga membentuk umat baru yang timbul dari suatu sumber induk. Konsep pembaiatan memenuhi kebutuhan misteri akan hasrat. Gerakan-gerakan mistis memenuhi hasrat akan ritus disamping sembahyang. Kunjungan kolektif ke makam wali sering diadakan pada kesempatan upacara pribadi keluarga, kelahiran, khitanan, pernikahan.

Oleh karena peristiwa-peristiwa itu dianggap sebagai tahapan-tahapan yang menentukan dalam kehidupan seseorang, maka yang bersangkutn merasa membutuhkan restu dari wali pelindungnya. Makam-makam itu adalah tempat pengungkapan semua dambaan hatinya, tempat pelarian, tempat orang merasa bebas dari berbagai paksaan dan tekanan dan sempat merenungkan nasibnya. Di tempat suci itu, perbedaan sosial mengabur dan hubungan antarmanusia berlangsung dalam suasana kemurahan hati dan persaudaraan.

Ziarah makam merupakan suatu titik temu yang istimewa antaragama. Hampir di mana-mana di dunia Islam terdapat makam-makam khusus yang dikunjungi baik oleh orang Islam maupun bukan Islam. Pengeramatan wali-wali di dunia Islam memiliki banyak segi yang sukar dinilai, karena bukan hanya merupakan gejala sosial tetapi juga gejala batiniah yang tergantung pada keyakinan masing-masing orang. (h 6)

Berbagai generasi wali telah membentuk suatu jaringan yang tersusun sedikit demi sedikit. Ada kalanya jaringan itu melemah, ketika makam tidak lagi diziarahi. Tetapi ada kalanya menguat, ketika muncul keramat baru, ketika orang suci dijadikan sasaran ziarah masyarakat. Tidak jarang penduduk-penduduk desa memutuskan untuk bergabung selama beberapa hari dalam suatu wisata rohani dari keramat ke keramat lainnya. Bahkan ini telah menjadi suatu pasar baru yang menguntungkan untuk perusahaan-perusahaan angkutan umum.

Tradisi ziarah hanyalah salah satu segi dari kehidupan Islam setempat. Para “wali” hanyalah salah satu sarana perantara guna mencapai Allah di antara sarana yang lain, yaitu malaikat, jin, pemanjatan doa, kurban, dukun dan jimat. Tradisi kewalian juga hidup berdampingan dengan praktik-praktik sufi-sufi murni, serta dengan ritus shalat berjamaah dan ibadah setempat yang dimonopoli  para imam, guru pengajian, Sultan atau Emir pewaris dinasti negara-negara Islam yang lain.

Konsep haram dan halal tak lagi secara kaku digunakan dalam praktek-praktek keagamaan seperti ziarah, zikir, doa untuk orang mati, penggunaan sajadah bergambar dan sebagainya. Ziarah dianggap halal karena mengagungkan  keesaan Allah dan Rosulnya di bumi. Kenyataan bahwa praktek itu sudah lama berlangsung dan dibenarkan oleh ulama-ulama tua dan terhormat juga merupakan dalil kehalalannya. (h 116)

Keuntungan yang didapatkan pada galibnya merupakan dampak dari suaru berkah yang efisien yang terpancar dari orang yang dikeramatkan, itu karena hubungannya yang dekat dengan Tuhan, garis keturunan, atau kedekatan dengan keluarga, tubuh atau makamnya. Bukti tanda kewalian dan pengungkapan sifat sang wali itu adalah karomah (keajaiban) yang diyakini yang dilakukan olehnya berupa perbuatan yang luar biasa yang menunjukan bahwa ia terpilih dan mempunyai berkah. (h 124)

Memang semua ritus ziarah yang tersebar dalam masyarakat berkembang berdasarkan suatu proses rekomposisi yang terus berkelanjutan dan berada di luar ruang otodoksi dogmatis yang dikuasai sepenuhnya oleh ulama-ulama dan juru interpretasi mitos-mitos lainnya. Tampaknya ritus ziarah Islam juga mendapat hikmah dari merosotnya ritus-ritus kesurupan yang lalu sebagai pengganti leluhur yang hilang. Dalam garis besarnya, sang wali memanglah menggantikan itu yang makamnya dulu merangkap sebagai altar.

Tradisi ziarah ke makam wali terkait secara langsung pada persepsi tentang hubungan manusia dengan Allah. Wali menyampaikan pada kita sesuatu tentang Allah: modelnya yang sempurna dalam Islam adalah Nabi Muhammad, sebagaimana Nabi isa (Yesus) dalam agama Nasrani. Wali juga merupakan orang yang dapat menyampaikan pesan kita kepada Allah, karena dengan diangkat (sebagai wali) di alam gaib, dia berhak menempati posisi yang baik di dekat hakim yang tertinggi. (h 145)

Sumbangan yang diberikan oleh para peziarah ke makam didahului dengan nazar dan janji (niyat). Peziarah bernazar dan berniat memberikan jumlah uang tertentu pada makam apabila permohonannya dikabulkan. Nazar-nazar itu, sejauh diketahui, amat beragam dan dapat menyangkut penyelesaian masalah pribadi apa pun, seperti penyembuhan penyakit, masalah keuangan, masalah keluarga atau rumah tangga, sukses dalan ujian atau pada seleksi masuk ke universitas, dan sebagainya. (h 159)

Di Iran orang-orang lebih suka dikubur di dekat tempat keramat, kedekatan dengan kuburuan, baik kuburan wali maupun kuburan orang yang akan dikebumikan di kuburan sebelah, dianggap sebagai sumber rahmat dan pengampunan. Orang yang berkecukupan pada umumnya akan membeli tempat kuburan sendri dengan meminta ahli waris atau wakilnya untuk menguburkannya di situ bila meninggal.

Berkah yang terpancar dari makam sang wali tampaknya tidak memadai untuk menjelaskan besarnya kepercayaan akan kekeramatan wali dan ramainya peziarah yang datang berkunjung. Sejumlah tokoh terkemuka, umumnya raja-raja minta dimakamkan dekat wali pujaannya. Makam mereka, terutama yang berbentuk bangunan megah ikut memperindak kompleks makam wali. (Mustaqim)


Sumber: elsaonline.com

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *