Tionghoa Harus Bagaimana?

Mengapa orang Tionghoa yang sudah sejak beberapa generasi tinggal di sini, dengan cara hidup yang juga tidak sama dengan orang Tionghoa di Tiongkok – tetapi juga tak 100% sama dengan penduduk bumiputra – masih tetap saja merupakan satu minoritas dan tidak dilebur (hal. 29)? Pertanyaan ini sering diajukan oleh berbagai pihak.

Onghokham menyatakan bahwa kondisi sosial dan politiklah yang menyebabkan hal tersebut terjadi. VOC-lah yang menyebabkan proses asimilasi peranakan Tionghoa terputus.

Onghokham berteori bahwa Belandalah yang menyebabkan peranakan Tionghoa di Jawa tetap dianggap minoritas dan tidak terlebur. Dalam buku ini Ong menggambarkan bahwa di Jawa sebelum abad 19, sudah terjadi proses asimilasi yang natural orang-orang Tionghoa. Namun sejak datangnya Belanda, proses asimilasi ini mandeg. Politik kolonial pemerintah Belanda memang dengan sengaja memisahkan golongan-golongan rasial di Indonesia (hal.2).

Sebelum kehadiran Belanda (abad 19), proses asimilasi antara peranakan Tionghoa ke dalam masyaraat Jawa dan Madura berjalan dengan baik. Ong memberi banyak contoh tentang Tionghoa yang berasimilasi tersebut. Diantaranya adalah banyaknya Tionghoa muslim di Jawa pada era 1766 sehingga mereka diperintah oleh kapiten Cina Muslim. Di Sumenep Madura ada warga negara “asli” peranakan Tionghoa yang secara fisik dan nama sudah tidak lagi bisa dikenali ke-Tionghoa-annya. Bukti lainnya adalah tidak banyak keturunan Tionghoa yang ingat lebih dari 4 generasi di atasnya.

Onghokham menyimpulkan bahwa orang-orang Tionghoa yang datang lebih dari 4 generasi yang lalu telah melebur menjadi bagian dari penduduk dimana mereka tinggal. Dalam buku ini Onghokham juga memberikan contoh asimilasi keturunan Tionghoa di Filipina yang berhasil dengan baik.

Onghokham juga membahas budaya peranakan Tionghoa di Jawa yang dipengaruhi oleh tiga budaya, yaitu budaya Tionghoa, budaya Jawa dan budaya Belanda. Percampuran ketiga budaya ini membuat peranakan Tionghoa di Jawa mempunyai cara hidup yang berbeda dari cara hidup orang Tionghoa di Tiongkok. Dalam hal menempatkan meja sembayang dan aturan tentang rumah sembayang misalnya, sudah sangat berbeda dengan apa yang biasa dilakukan di Tiongkok.

Dalam hal perayaan tahun barupun telah digunakan makanan-makanan Jawa. Dalam perayaan-perayaan di keluarga Tionghoa dipertontonkan kesenian Jawa seperti gamelan dan tandak. Sedangkan budaya Belanda masuk dalam bentuk perabot rumah tangga dan budaya berdansa dan

hidangan pesta di kalangan orang Tionghoa kaya. Budaya Belanda juga merasuki peranakan Tionghoa dalam bentuk bahasa dan pendidikan (sekolah). Para keluarga Tinghoa kaya banyak mengirim anak-anaknya ke sekolah Belanda dan menggunakan Bahasa Belanda dalam percakapan di rumah. Selain dari Bahasa Belanda, Bahasa Melayu yang juga digunakan oleh orang Belanda mulai menggantikan bahasa Jawa yang dulunya dipakai sehari-hari oleh keluarga Tionghoa.

Onghokham berpendapat bahwa sistem hukum yang diterapkan oleh VOC-lah yang menyebabkan asimilasi peranakan Tionghoa tidak berlanjut di Jawa. Sistem hukum dimana masing-masing suku/ras harus memakai hukum mereka sendiri, membuat para peranakan Tionghoa kebingungan. Sebab mereka ini sudah tidak lagi mengenal hukum Tiongkok, sedangkan mereka belum memiliki hukum yang baku. Pada akhirnya, orang-orang peranakan Tionghoa menggunakan hukum Belanda. Selain dari sistem hukum, sistem kewarganegaraan keturunan Tionghoa ini akhirnya juga menjadi masalah. Sebab mereka memiliki dua kewarganegaraan. Status dwi warga negara ini menyebabkan hubungan antara peranakan dengan penduduk asli menjadi semakin renggang.

Ketika kesadaran berorganisasi timbul, para peranakan Tionghoa ini menjadi terpecah pemikirannya. Ada golongan yang menganjurkan untuk berasimilasi dan melebur kepada bangsa Indonesia, ada yang beorientasi kepada Belanda, ada pula yang berorientasi ke tanah leluhur.

Ada kelompok lain yang menganjurkan integrasi, yaitu statusnya sebagai etnis peranakan Tionghoa tetap diakui apa adanya dan siap bergabung dalam bernegara di Indonesia.

Adanya minoritas di suatu negara akan menimbulkan persoalan. Apalagi kalau minoritas ini asalnya adalah pendatang. Persoalan prasangka antara minoritas dan mayoritas bisa tiba-tiba memuncak dan mengakibatkan kerusuhan. Menurut Onghokham, asimilasi adalah satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan minoritas. Namun gagasan integrasi, dimana peranakan Tionghoa diakui sebagai etnis apa adanya juga sebuah pemikiran yang layak untuk diperhatikan. Selanjutnya terserah kepada masing-masing individu untuk menentukan bagaimana  pilihan mereka ke depan.


Sumber: iki.or.id

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *