Tinjauan Buku Involusi Pertanian Karya Clifford Geertz

Harry Fajar Surya
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, akademi.edu


Ekologi pertanian di Jawa nampak berubah setelah adanya Cultuurstelsel (sistem penanaman) yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem tanam paksa. Hal tersebut tampaknya menimbulkan Involusi Pertanian. Clifford Geertz oleh konsep-konsep yang berbeda-beda di Indonesia saat itu. Dalam penelitian dan buku ini, Geertz melihat keberadaan Involusi atau kebalikan dari Evolusi. Involusi berarti kemunduran dalam bidang pertanian terutama di Jawa. Buku ini membahas tentang pertanian di Jawa dengan definisi penunjang dari penjelasan Involusi pertanian.

Hal utama dalam buku ini mengatakan bahwa sistem pendidikan pertanian modern yang digunakan oleh pihak kolonial Hindia-Belanda ke Jawa tidak akan berubah menjadi lebih baik, linearitas yang terjadi di sana, namun melahirkan keadaan yang involutif karena jumlah penduduk terus bertambah. Geertz menonton hubungan ekologi dan masyarakat Jawa. Dalam bukunya hal tersebut meneradukan ekosistem yang berada pada inti pola masyarakat Jawa. Hal itu mencakup tidak-lagi sosial, politik, dan kepercayaan. Aspek masyarakat adalah hasil dari hubungan manusia dengan alam. Namun selalu ada aspek budaya yang secara fungsional oleh alam.

Atas dasar dasar pandangannya Mengenai Perilaku ‘masyarakat Yang dipengaruhi Oleh alam Beroperasi Fungsional maupun adanya Verifikasi ekologis Beroperasi kultural, Geertz membedakan doa tipe pertanian gede di Indonesia, Yaitu ANTARA pertanian sawah di Jawa ( inner Indonesia ) Dan perladangan di Luar Jawa ( luar Indonesia). Mengatur ia bedakan dalam beberapa ciri, yaitu; ladang memiliki ciri-ciri tumbuhan yang heterogen seperti hutan, tanah tertutup dan keras, kondisi tanah rentan, serta pengelolaannya tidak membutuhkan banyak tenaga. Sedangkan, sawah memiliki ciri-ciri ekologi buatan manusia, produktivitasnya stabil, rumit dan kompleks pada tekniknya, sehingga membutuhkan tenaga yang banyak dalam pengelolaannya. Maka dengan ekspresi ekologis yang disebut bahwa pulau-pulau luar Jawa yang relevan jika penduduknya sedikit karena menggunakan pola pertanian ladang. Sedangkan di Pulau Jawa memiliki jumlah populasi yang sangat padat karena merupakan lumbung sawah yang ref banyak tenaga. Dalam wujud kulturalnya hantu seperti ungkapan ‘banyak anak banyak rezeki’ pada orang Jawa.

Pada awalnya kebijakan kolonial Hindia-Belanda adalah membawa produk pertanian Indonesia yang subur ke pasar dunia, dimana pada saat itu produk dari Indonesia ini sangat dibutuhkan dan laku keras dalam pasaran, tanpa perubahan struktur ekonomi masyrakat. Pemerintah Hindia-Belanda setelah masuk dan resmi mendirikan koloninya di Hindia-Belanda pada tahun 1830 untuk menguasai dunia, dan mengembangkan ekonomi negara koloni untuk pertimbangan kas Belanda. Upaya lain untuk mendapatkan pasar internasional adalah mempertahankan pribumi tetap pribumi, dan terus mendorong mereka untuk berproduksi bagi Kebutuhan Dunia Dunia. Keadaan inilah mewujudkan ekonomi yang secara intrinsik tidak seimbang, yang oleh JH Boeke (1958) disebut dualisme ekonomi.

Selanjutnya di sektor yang ada di dalam negeri, ada satuan pertanian keluarga, industri rumah tangga, dan perdagangan kecil. Jika pada sektor ekspor terjadi peningkatan yang dipicu oleh harga dunia, maka sektor-sektor domestik justru menambah kemerosotan dan kemunduran. Tanah dan petani semakin terserap ke sektor pertanian komersial yang dibutuhkan Pemerintah Hindia-Belanda untuk perdagangan dunia. Saat ini adalah semakin banyak anggota yang melakukan pembayaran uang. Hal ini semakin dimantapkan menjadi kebiasaan-dengan intensifikasi produksi pertanian subsisten. Proses pemiskinan di Eropa Jawa Geertz dalam konteks ini.

Kemiskinan di Jawa adalah produk interaksi antara penduduk pribumi terutama petani dan struktur kolonial pada tingkat ekonomi dalam konteks ekonomi dan politik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola masyarakat yang membentuk sesuatu yang definitif, yang terus berkembang menjadi lebih dalam. Pertanian dan keuangan secara khusus, dan kehidupan sosial orang-orang, harus dilakukan untuk menghadapi berbagai macam kegiatan dan internal.

Pada waktu itu hampir 70 persen dari Pulau Jawa ditanami setiap tahun. Di Jawa, hampir separuh dari tanah pertanian tidak menerima irigasi, boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Di daerah yang ada irigasi, tanah pertanian berupa sawah, kira-kira setengahnya diusahakan dua kali, atau ditanami padi lagi, atau digilir dengan salah satu atau beberapa jenis palawija. Di daerah yang tidak ada irigasi, tanah untuk palawija itu (jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang, padi, gaga, sayuran dan sebagainya) diusahakan bergiliran ( rezim tanaman dan bera ). Statistik produksi juga memberikan yang sama, kira-kira 63 persen dari hasil beras, 74 persen jagung, 70 persen ubi kayu, 60 persen ubi manis, 86 persen kacang, dan 90 persen berasal dari Jawa.

Dalam konsepsi-konsepsi yang diutarakan oleh Geertz ini mengarah pada konsepsi subsisten, istilah substantivis sendiri mendasarkan pengertiannya pada ekonomi sebagai upaya manusia guna memenuhi kebutuhan hidup di tengah lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Geertz menggunakan paradigma substantivisme. Aliran ini yakin bahwa tindakan-tindakan ekonomi tidak sepenuhnya ditentukan oleh individu yang mendasarkan pada pertimbangan ekonomis yang rasional. Kondisi ekologis, organisasi sosial, demografis, dan juga budaya Jawa harus melakukan berbagai adaptasi agar mereka tetap mampu memenuhi kebutuhan subsistennya.

Mekanisme adaptasi petani Jawa yang digambarkan oleh Geertz adalah dengan melakukan intensifikasi dengan menggunakan sebanyak mungkin tenaga dalam setiap kegiatan produksi tanaman dalam hukum membagi-bagikan rejeki yang ada hingga semakin sedikit yang diterima. Geertz memebutkan ini dengan Shared Proverty atau kemiskinan yang membagi rata, secara gampangnya berbagi kemiskinan dengan sesama anggota keluarga. Kerumitan dan kesengsaraan petani Jawa dalam memunculkan kondisi involutif yang menurut Geertz terjadi pada dua sistem. Pertama, terjadi involusi pada sistem pertanian, yaitu sistem yang bertumbuh baik cara bertani maupun irigasi. Sistem bagi hasil yang kompleks dan ruwet, misalnya tanah sepetak yang kecil dari keluarga petani harus dipotong lebih kecil untuk dibagikan ke anak-anak yang banyak. Sistem yang sangat rumit karena bertujuan mengakomodasi keluuarga yang semakin meningkat banyak agar kebagian makanan. Inilah yang dimaksud Geertz sebagai kemiskinan bersamaatau kemiskinan terbagi. Implikasinya dari kerumitan sistem pertanian ini menurut Geertz tidak muncul kelas-kelas sosial yang tajam, seperti tidak ada batasan yang jelas antara tuan tanah dan buruh karena semua orang mendapat bagian yang kecil. Tuan tanah tanah pun masih ikut mburuh di tani tani orang lain untuk mencukupi kebutuhan subsistennya. Menurut Geertz, struktur sosial masyarakat yang digunakan adalah ekonomi padat modal yang menjadi satu patron yang sempurna. Jika ada keinginan untuk menjadi pelindung, maka masih ada sistem yang memungkinkan struktur masyarakat tetap egaliter.

Sistem tersebut merupakan apa yang disebut Geertz pada implikasi kondisi involutif yang kedua, yaitu sistem budaya. Sistem budaya masyarakat Jawa dari involusi pertanian mereka juga ikut menjadi rumit, terklasifikasi dengan kompleks dan menjunjung semangat tinggi komunal. Manifestasi dari sistem budaya yang ada dan egaliter dan komunal seperti upacara selametan, gotong royong, sistem kekerabatan, dan tata politik masyarakat Jawa. Bisa dikatakan bahwa pola-pola yang ada dalam lingkungan ekonomi tersebut, atau disebut Geertz sebagai pandangan hidup abangan.

Demikian cara Geertz menyampaikan sebuah pikiran tentang pola pertanian di Jawa dan pengaruhnya bagi masyarakat yang mengalaminya. Salah satu jenis Geertz menerangkan Involusi dalam arti para petani yang menggarap sawah hanya membagi populasi dan tidak berevolusi seperti para petani di luar Jawa. Mereka hanya membuat keadaan terbalik dan tidak menunjukkan kemajuan linear. Hal tersebut tergambar dari paparan Geertz yang didukung oleh berbagai teori dari beberapa Antropolog untuk memperkebar isi buku ini.

Sumber: https://www.academia.edu/11595656/REVIEW_BUKU_INVOLUSI_PERTANIAN_KARYA_CLIFFORD_GEERTZ

 

Comments (0)


Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *