Thaucang, Kwa-Thaucang, dan Plaatgramophone
TIO Tek Hong, pria Tionghoa peranakan biasa kelahiran Pasar Baru yang sudah mengirup udara Batavia sejak 7 Januari 1877. Ia bukanlah siapa-siapa, sebelum akhirnya meluncurkan karya kisah kenangan, Kenang-kenangan: Riwajat-hidup Saja dan Keadaan di Djakarta dari Tahun 1882 sampai Sekarang. Karya itu terbit tahun 1959. Melalui karya itu, ia seperti mengizinkan generasi di masa kini bahkan mendatang, meminjam matanya untuk melihat Jakarta di abad 19 hingga pertengahan abad 20. Lebih tepat lagi, menengok bagaimana warga Tionghoa peranakan menjalani hidup di masa itu.
Masa kecil Tek Hong dihabiskan layaknya anak lain, bermain di sungai, mengadu gundu, dll. Di masa kecilnya, ia menggambarkan, kali yang mengalir di Pasar Baru sebagai kali favoritnya untuk berenang hingga ke Gunung Sahari. Tak hanya Batavia yang diceritakan Tek Hong, tapi juga sebagain Jawa, kota-kota di mana ia pernah singgah berlibur.
Ada satu kisah yang menarik ihwal perbedaan warga Tionghoa peranakan di Surabaya dan Betawi di tahun 1905. Menurut Tek Hong, Tionghoa peranakan di Surabaya mengungguli Tionghoa di Betawi dalam banyak hal. Sebut saja dalam hal berupaya, berusaha sehingga di Surabaya ia kagum bisa bertemu pemimpin muda yang sudah punya toko besar. Kaum pria Tionghoa di Surabaya sudah mengenakan jas buka dan dasi serta pandai berbahasa Tionghoa dalam dialek Hokkian. Pada saat yang sama di Batavia, pria Tionghoa masih memakai baju tuikhim (baju tanpa kerah) dan celana komperang. Di baju tuikhim itu ada kantong titou yang biasa untuk menyelipkan kuncir rambut (thaucang).
Thaucang adalah rambut di bagian belakang kepala anak laki-laki yang dipelihara dalam bentuk bundar. Bundaran itu diberi nama serabi. Sejak usia 10 tahun anak laki-laki memelihara “serabi” tadi dan jika rambut “serabi” sudah panjang, rambut itu dikepang menggunakan sutera kuncir berwarna merah.
Tradisi thaucang, menurut Tek Hong, dimulai tatkala orang Manchu menduduki Tiongkok pada 1644. Kaisar Manchu mewajibkan orang Tiongkok memakai thaucang, mengenakan pakaian yang ujung lengannya berupa kaki kuda sehingga saat berlutut orang-orang ini bagaikan kuda. Sebuah penghinaan. Jadi thaucang sejatinya adalah sebuah penghinaan tapi kemudian menjadi tradisi yang bertahan selama tiga abad. Di Batavia, tulis Tek Hong, potong thaucang terjadi pada 1911.
Kwa-thaucang atau potong thaucang terjadi setelah terbentuk perkumpulan Tiong Hoa Bin Kok pada 1911. Sebelumnya sudah ada pesan dari Peking bahwa memotong kuncir tidak diizinkan tapi tidak dilarang.
Tio Tek Hong tak lupa menceritakan perihal pas jalan yang berlaku bagi orang asing. Ini menyulitkan karena warga selain Eropa diwajibkan membawa pas jalan jika bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Maka warga Tionghoa terpelajar minta persamaan hak dengan warga Belanda, setelah dapat persamaan, di zaman Belanda mereka kembali menjadi “Tionghoa” karena takut diganyang Jepang.
Ia juga terkenal dengan plaatgramophone. Pasalnya, di tahun 1902 bersama saudaranya, tio Tek Tjoe, ia membuka toko di Pasar Baru dengan nama NV Tio Tek Hong. Mulai tahun 1904 toko ini sudah mendatangkan phonograph memakai rol lilin dan setahun kemudian plaatgramophone dari toko Tio Tek Hong sudah mengisi ruang-ruang se-Indonesia memperdengarkan lagu-lagu Melayu, keroncong, stambul, dan lain sebagainya.
Barangkali, menjelang Imlek, ada yang ingin bernostalgia ke Pasar Baru? Masih banyak bangunan lama, toko lama dari zaman Tio Tek Hong. Sebut saja Toko Lie Ie Seng, toko peralatan kantor dan tulis menulis; Toko Sin Lie Seng, toko sepatu tenar di masanya; Toko Jamu Nyonya Meneer; dan Toko Kompak yang adalah bekas toko Tio Tek Hong. Selain toko dan bangunan tua, di Pasar Baru ini terdapat satu kelenteng tua yang mungkin kurang beken dibandingkan beberapa vihara lain di kawasan Kota Tua, Kelenteng atau Vihara Sin Tek Bio.
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2010/02/13/12160739/thaucang.kwa-thaucang.dan.plaatgramophone.
Comments (0)