Mengenal Sejarah Pasar Tanah Abang
Di era Batavia ada tiga pasar yang dibangun Belanda, yakni Pasar Senen, Tanah Abang, dan Pasar Baru.
JAKARTA – Sejarawan Adolf Heuken dalam bukunya Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta menulis, di Batavia terdapat tiga pasar. Pasar itu dimiliki tuan tanah asal Belanda, Justinus Vinck. Ketiga pasar tersebut, Pasar Senen, Tanah Abang, dan Pasar Baru.
Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang dibangun pada 1733. Pasar Baru dibangun pada 1820. Dua tahun setelah membangun Pasar Senen dan Tanah Abang, Vinck kemudian membangun jalan yang menghubungkan dua pasar itu. Jalan itu kini bernama Jalan Kebon Sirih dan Prapatan.
Vinck menamai Pasar Senen lantaran pasar ini dibangun sedikit lebih awal dari Pasar Tanah Abang. Pasar ini awalnya hanya dibuka hari Senin. Secara bertahap, sejak 1766 pasar ini mulai dibuka setiap hari. Pasar Senen telah berkali-kali berganti wajah. Banyak cerita dan sejarah di dalamnya.
Tanah Abang
Sementara itu, Zaenuddin HM, dalam buku karyanya berjudul 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe mengatakan, dahulunya Tanah Abang adalah tempat berjualan kambing, yang kemudian dipugar total menjadi bangunan modern.
Kawasan Tanah Abang yang dahulu memiliki terminal bus dan selalu dipadati kendaraan itu memang mempunyai sejarah yang panjang, usianya sudah ratusan tahun.
Hingga akhir abad ke-19 kawasan itu bernama Nabang. Makanya pada masa itu para kondektur angkutan umum sering meneriakkan jalurnya “Nabang, Nabang, ayo ke Nabang.”
Dalam penulisan formal zaman Hindia Belanda, diberi partikel “De” sehingga menjadi De Nabang. Nabang sendiri adalah jenis pohon yang tumbuh di atas bukit di kawasan tersebut.
Penduduk sekitar menyebut “Tenabang” sebagai plesetan dari De Nabang. Lantaran dikira itu benar Tenabang, maka peusahaan jawatan kereta api pada tahun 1890 mencoba “meluruskan” dengan memberi nama Tanah Abang.
Adapun versi Kedua, dihubungkan dengan penyerangan Kota Batavia oleh pasukan Mataram pada tahun 1628. Serangan dilancarkan ke arah kota melalui daerah selatan yaitu Tanah Abang.
Tempat tersebut digunakan sebagai pangkalan karena kondisinya yang berupa tanah bukit dengan daerah rawa-rawa dan ada Kali Krukut di sekitarnya.
Karena tanahnya yang merah, maka merek menyebutnya “tanah abang” yang dalam bahasa Jawa berarti merah.
Versi Ketiga, menyebutkan bahwa Tanah Abang dari kata “abang dan adik,” yaitu dua orang besaudara kakak dan adik. Karena adiknya tidak mempunyai rumah, dia minta kepada abangnya untuk mendirikan rumah.
Tanah yang ditempati disebut tanah abang, dan populer hingga sekarang dengan sebutan Tanah Abang.
Nama Tanah Abang mulai dikenal ketika seorang kapten China bernama Phoa Bhingam meminta izin ke pemerintah Belanda untuk membuat terusan pada 1648. Dan nama Tanah Abang dikenal sampai sekarang.
Kebun dan Buah-buahan
Dikutip Kompas.com, sejarawan Abdul Chaer yang merupakan orang Betawi asli ini masih ingat betul dua pohon sawo besar yang berdiri di depan rumahnya di Karet Kubur, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tahun 1970. Karet Kubur yang kini dikenal sebagai TPU Karet Bivak menjadi tempat pria yang juga bekerja sebagai dosen linguistik berusia 76 tahun itu menghabiskan masa kecil. “Tanah rumah saya dulu sempit, cuma 40 x 80,” kata Chaer di Jalan Sabeni, Tanah Abang, Sabtu (29/7/2017) malam.
Dulu, kata Chaer, tidak ada rumah di Tanah Abang yang menempel. Semua memiliki kebun dan pekarangan yang bisa ditanami sayur mayur dan buah-buahan untuk makan sehari-hari.
Tanah Abang tempo dulu ini kemudian dia tuangkan dalam bukunya berjudul Tenabang Tempo Doeloe (2017). Dalam buku itu diceritakan bagaimana kawasan Tanah Abang yang kini menjadi pasar pusat grosir tekstil dan rumah-rumah yang padat, dulunya merupakan lahan yang rimbun dan asri.
Tanah di Jakarta dulunya dikuasai Belanda. Tahun 1648, seorang kapitan China bernama Phoa Beng Gam meminta izin dari kongsi dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) untuk membuka lahan di Tanah Abang yang kini masuk wilayah Jakarta Pusat untuk dijadikan kebun.
“Setelah dibuka, dia buat kebun tebu, dengan kanal dan pabrik gulanya. Dulu gula komoditi yang baik dan menguntungkan,” kata Chaer.
Nama-nama jalan yang kini berawalan dengan kata “kebun” di Tanah Abang, disesuaikan dengan identitasnya masa laluny itu. Tanah Abang dulu merupakan hamparan perkebunan mulai dari kacang, jahe, melati, nanas, sirih, hingga kebun sayur-mayur.
Untuk melancarkan bisnisnya, Beng Gam membangun kanal dari Tanah Abang ke Pasar Ikan yang kini mengalir di pinggir Jalan Abdul Muis. Kanal itu digunakan untuk mengangkut komoditi-komoditi dari perkebunan di Tanah Abang ke pusat kota dan pelabuhan di utara Jakarta.
Hasil tanah yang subur mendorong seorang saudagar Belanda bernama Justinus Vinck mendirikan pasar pada 1735. Ia mendirikan pasar di Tanah Abang dan Senen yang terbuat dari tiang-tiang bambu. Sayur mayur dari wilayah timur diangkut dengan perahu melalui Kali Krukut.
Namun aktivitas ekonomi di daerah itu tak bertahan lama. Lima tahun setelah pasar Vinck beridri, tepatnya pada 1740, kerusuhan terjadi. Belanda membantai orang-orang China, merampas harta benda mereka, dan membakar kebun-kebun mereka “Tanah Abang lesu, pasar lesu, hancur semua perekonomian,” kata Chaer.
Perputaran uang di Tanah Abang kembali hidup di abad 20, ketika saudagar China dan Arab banyak bermukim di Tanah Abang yang dikembalikan peruntukannya sebagai pasar oleh Belanda.
Wajah Tanah Abang yang padat saat ini, menurut Chaer, karena ada sarana transportasi kereta yang menghubungkan Tanah Abang dengan pusat perekeonomian lainnya seperti Jatinegara. Sebelumnya, perjalanan dari atau ke Tanah Abang ditempuh dengan delman, oprek, hingga trem.
Proses modernisasi itu, kata Chaer, mengakibatkan pergeseran yang pahit bagi orang Betawi yang dulunya menguasai Tanah Abang. Mereka tertinggal kemajuan zaman, satu per satu leluhur menjual tanah dan bermukim ke Condet, Depok, hingga Bekasi.
Sumber: http://infonitas.com/kebayoran/laporan-utama/mengenal-sejarah-pasar-tanah-abang/46878
Comments (0)