Sukarno, Tokoh Persilangan Beragam Identitas

Sukarno adalah satu figur yang secara baik menggambarkan persilangan dari banyak identitas. Setiap orang pada dasarnya memiliki beragam identitas, seperti Sukarno tidak hanya memiliki satu identitas tokoh nasionalis yang mampu merangkul berbagai elemen bangsa.

Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Prof Yudi Latief mengungkapkan saat ini muncul fenomena di ruang publik semacam tarik menarik antar dua kutub. Yaitu harus memilih kubu Islam atau harus memilih kubu nasionalis.

“Kita cenderung mentasbihkan seseorang dan memojokkannya kepada satu identitas. Akan tetapi faktanya manusia itu agen dari banyak identitas,” tutur Prof Yudi Latief dalam Kajian Buku Sukarno dan Islam; Dialog Pemikiran Modernisme Islam di Indonesia, yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rabu (20/1/2021).

Menurut Prof Yudi Latief, manusia adalah agen multi identitas. Ada identitas suku, organisasi, agama, politik, hingga identitas kebangsaan. “Yang menjadi masalah adalah ketika kita memilih satu identitas dan dimampetkan serta dipolitisasi sehingga itulah satu-satunya identitas diri kita,” tambah Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tersebut.

Sukarno dan Muhammadiyah

Prof Yudi Latief menyebut Sukarno sebagai satu figur baik yang menggambarkan persilangan dari banyak identitas. Di dalam buku Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno mengakui mendapatkan berbagai ajaran mulai dari kakek, bapak, ibu, hingga fase ketika sekolah menengah dan bermukim di rumah Cokroaminoto.

Di depan rumah Cokroaminoto ada masjid Muhammadiyah, yang setiap bulan selalu ada pengajian termasuk pengajiannya kerap diisi langsung oleh KH Ahmad Dahlan. Di pengajian tersebut membahas berbagai hal, tentang tauhid, amal, ibadah, dan muamalah. Di situlah Sukarno mulai belajar tentang agama Islam dalam arti yang sesungguhnya.

“Pada usia 15 tahun itulah, dia mulai mengenal ajaran Islam dari Muhammadiyah. Jadi dia ketika pertama kali belajar Islam secara sesungguhnya itu memang Sukarno langsung kepada jaringan-jaringan dakwah Muhammadiyah,” ungkap Prof Yudi Latief.

Politik Identitas

Sementara itu, terkait politik identitas, Prof Yudi Latief menyebut ada tiga bentuk politik identas, yaitu good, bad, dan ugly. Salah satu identitas yang baik (good) yaitu Muhammadiyah. “Meskipun membawa bendera (identitas) Muhammadiyah, dia terbuka untuk kemungkinan dialog antar kultural, itu identitas yang sehat, karena setiap orang tidak bisa melampaui identitas,” kata Prof Yudi Latief.

Ada politik identitas yang buruk (bad) yaitu antar identitas tidak saling berhubungan meskipun tidak saling menggangu. Sementara itu, ada juga politik identitas yang busuk (ugly), yaitu mengutamakan satu identitas, sementara identitas lain harus dihabisi. (Riz)

Sumber: suaramuhammadiyah.id

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *