Sukarno, Kaum Kiri, dan Film Religi

Pasti Liberti Mappapa
Jurnalis detik.com


Di era Bung Karno, kaum kiri banyak membuat film yang selalu menyinggung tuan tanah dan setan kota. Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri minta film religius untuk mengimbanginya.

Suatu sore pada awal 1963, Misbach Yusa Biran, yang saat itu bekerja sebagai redaktur di majalah Purnama, kedatangan tamu di kantornya. Sang tamu tak lain kawan lamanya, Rempo Urip, sutradara senior di studio Persatuan Artis Republik Indonesia milik Djamaluddin Malik. Melalui Rempo, Djamaluddin meminta Misbach datang ke rumahnya di Jalan Cianjur, Jakarta Pusat. “Pak Djamal mau bikin film,” ujar Rempo memulai pembicaraan, seperti yang dituliskan Misbach dalam biografinya, Kenang-kenangan Orang Bandel.

Mendengar itu, Misbach sontak menolak. Niatnya sudah bulat untuk berhenti bikin film. Lelaki kelahiran Rangkasbitung, Banten, 11 September 1933, itu meminta Rempo menyampaikan kepada Djamaluddin bahwa dirinya sudah tidak mau terlibat dalam pembuatan film. Tapi sahabatnya itu lantas bilang bahwa film yang akan dibuat adalah soal haji, dan pembuatannya di Mekah, Arab Saudi. Artinya, yang membuat juga akan menunaikan ibadah haji. Misbach berubah pikiran. Ia meninggalkan pekerjaannya, lalu bergegas ke rumah Djamaluddin membonceng Rempo.

Pada masa itu, naik haji tidak gampang meski seseorang punya uang sangat banyak. Jemaah haji disubsidi pemerintah dan dibatasi hanya 15 ribu orang. Karena peminat haji sangat banyak, akhirnya harus diundi. Karena itulah Misbach mengaku sangat tertarik mendengar pembuatan film yang direncanakan Djamaluddin. “Langsung terbayang orang tua saya di kampung. Mereka pasti akan sangat terperangah kalau tahu saya bisa naik haji,” tulis suami aktris Nani Wijaya itu.

Sesampai Misbach di Jalan Cianjur, Djamaluddin menyambutnya dengan sukacita. “Nah, kita mau rame-rame naik haji sambil bikin film,” kata Djamal, seperti yang ditirukan Misbach. “Jadi niatnya adalah naik haji. Bikin film itu sambilan.” Djamaluddin menjelaskan proyek pembuatan film tersebut dibiayai oleh Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan. Produksinya diserahkan kepada Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi). “Skenarionya ditulis Asrul Sani, yang juga Ketua Lesbumi. Saya diminta mendampingi Asrul Sani untuk menulis skenario dan penyutradaraan,” ujar Misbach.

Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri meminta harus ada film bertema religius yang diproduksi. Film ini untuk menyaingi film-film yang dibuat golongan kiri. Sebab, film kiri selalu menyinggung tuan tanah dan setan kota. Setan kota adalah bentuk sindiran terhadap kaum ulama. Adapun Menteri Penerangan Ahmadi turut membiayai agar terlihat dekat dengan golongan agama.

Para pimpinan produksi segera menemui Presiden Sukarno untuk meminta restu. Asrul sebagai sutradara menjadi juru bicara rombongan. Bung Karno, kata Misbach, sebenarnya pesimistis insan film Indonesia mampu membuat film agama yang bagus. “Sukarno tidak mau film agama itu kaku, penuh dakwah, dan doktriner, tapi baiknya berisi perenungan pencarian,” ujar Misbach. Sukarno lantas teringat buku yang ditulis orang Yahudi bernama Leopold Weiss, yang masuk Islam dan berganti nama menjadi Muhammad Asad.

Asrul lantas menyebutkan judul buku itu The Road to Mecca. “Itu dia!” teriak Bung Karno dalam bahasa Belanda. Asrul dengan lihai mampu membuat pembicaraan dengan Bung Karno berlangsung lancar, bahkan membuatnya menjadi bersemangat mendukung. Padahal, saat berbicara, Asrul belum menyusun skenario film tersebut. “Akhirnya belakangan kami sepakati film itu berjudul Tauhid,” kata Misbach. Dia memperkirakan proses pembuatan film bakal berlangsung 6 bulan. Perjalanan haji 3 bulan ditambah pengambilan gambar di Tanah Air dan proses penyelesaian.

Apesnya, dua minggu sebelum keberangkatan, datang kabar tak sedap dari Menteri Agama. Rupanya ada menteri yang tak setuju dengan proyek tersebut dan meminta proyek dibatalkan. “Menteri akhirnya memberi jaminan rombongan akan berangkat setahun kemudian,” ujar Misbach. Rombongan akhirnya bisa berangkat pada 25 Maret 1964 menggunakan kapal Ambulombo dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Sosiolog Tanete Pong Masak mengatakan sebenarnya Bung Karno tidak pernah meminta para sineas sowan meminta restu dalam setiap produksi film. Ia menilai langkah yang ditempuh sutradara dan produser film Tauhid sebagai bagian dari strategi politik, mengingat saat itu pengaruh kelompok kiri sedang kuat-kuatnya. “Mereka meminta restu Bung Karno untuk mengamankan proyek itu dari hadangan kelompok kiri,” ujar penulis buku Sinema pada Masa Soekarno itu.

Secara ringkas, film ini berkisah tentang rombongan haji yang hendak ke Mekah, yakni Mayor Udara Mursyid (Ismed M. Noor), guru agama muda (Nurbani Jusuf), dan seorang pengarang (M.E. Zainuddin). Dalam perjalanan, mereka berkenalan dengan Halim (Aedy Moward), dokter kapal, yang sudah sering bertugas dalam perjalanan ke Tanah Suci tapi tak tergetar untuk ikut ibadah haji. Berkat dorongan Mursyid dan kawan-kawan, Halim akhirnya ikut ibadah haji.

Sumber: https://x.detik.com/detail/intermeso/20160808/Sukarno-Kaum-Kiri-dan-Film-Religi/index.php