Soekarno: Hari Terakhir atau Hari-hari Diakhiri

Nur Iman Subono
identitas prismajurnal.com


Teka-teki Tidak Akan Selesai

Buku berjudul Hari-hari Terakhir Sukarno ini adalah salah satu dari tulisan-tulisan Soekarno dengan berbagai sudut pengamatan dan periode tertentu. Ini berarti, saat-saat paling kritis dalam perjalanan bangsa Indonesia di mana pemimpinnya yang bernama Soekarno tinggal menghitung hari karena kuat tapi pasti kekuasaannya, pengaruhnya, dasar pendukungnya, dan juga seluruh jabatannya yang lebih besar daripada statusnya. .

Apakah ini kehebatan atau kenaifan Soekarno yang sebetulnya masih bisa melakukan kebalikan dalam saat-saat kritis politik itu, karena nyatanya masih banyak pendukungnya, termasuk kesatuan dan individu-individu dalam karya militer, tidak bisa mengambil kesempatan itu. Tidak mau terjadi perang saudara, tetaplah dengan pendiriannya bahwa komunisme sebagai ideologi atau kekuatan politik harus ada di bumi Indonesia sebagai respons atas desakan untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh berada di balik peristiwa G-30-S, atau bahkan masih sangat yakin dengan kharisma dan kekuatan dirinya untuk bisa menyelesaikan tragedi politik G-30-S.

Apa istimewanya semua pencahayaan di atas? Apa yang sudah pernah diungkap dan dipaparkan dalam berbagai tulisan, seminar dan juga diskusi politik? Apakah sebetulnya masih ada sisi lain yang selama ini belum pernah bisa diungkapkan atau dikuak? Harus diakui, setelah membaca buku ini, kita tidak dapat menemukan “sesuatu” yang sama sekali baru tentang Soekarno, katakanlah hal yang menimbulkan kontroversial atau kontroversial.

Namun, ada dua hal saling mengait yang bisa diangkat. Pertama, penulisnya, Peter Kasenda, dan saya kenal baik mencampur-mencampur sama-sama mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia, meskipun berbeda fakultas. Peter memang salah seorang sejarawan yang spesialisasinya tahanan dalam pemerintahan bangsanya sendiri yang untuk waktu sekian lama diperjuangkan selama hayatnya. Bung Karno di masa jaya- jayanya oleh pelbagai kelompok masyarakat, dan juga pemerintah, diberi berbagai gelar serba agung. Sebut saja, misalnya, Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Presiden Seumur Hidup, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata atau Paduka Yang Mulia dan Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Namun, lagi-lagi kita bisa mencatat, dia pula yang kemudian dihujani pelbagai praduga, hinaan dan cercaan hingga hari-hari akhir sampai meninggalnya. Tragedi Kemanusian! Kata-kata sangat tepat yang disebut gambarkan sosok Sang Proklamator itu. Pada 1970, tepat 21 Juni, hari Minggu, sekitar pukul 07.07, Soekarno, Sang Putra Fajar, kembali ke pangkuan-Nya. Kita pun menyaksikan dan mengetahui bagaimana jutaan orang dari pelosok Indonesia memberikan penghukuman terakhir terhadap tokoh nasional itu, di luar segala kesalahannya, yang memang banyak orang dan bangsa ini. Belum lagi penghormatan dari negara-negara sahabat, kepala negara, dan kepala pemerintahan negara, dan banyak media massa asing.

Upaya untuk menghapuskan jasanya, dan ini kemudian dilakukan Orde Baru melalui proses “de-Soekarnoisasi”, niscaya akan sia-sia. Ternyata, tepat sewindu setelah kepergiannya, nama Bung Karno kembali disebut- sebut dengan segala pro dan kontranya. Kita jadi ingat apa yang dikatakan oleh Tilak, “Tokoh sejarah tidak akan selamanya lenyap.” Sudah lama, dalam sebuah kesempatan, Soekarno pernah mengatakan, “Hanya bangsa yang tahu segalanya pahlawan-pahlawannya bisa menjadi bangsa yang besar.” Sampai di sini kami tentu bisa mengatakan siapa yang akan menolak atau menafikan bahwa Soekarno adalah pahlawan nasional. Jika mau dikalkulasi secara kuantitatif, misalnya, secara akal sehat kita bisa mengatakan bahwa jasanya terlampau besar buat bangsa ini atas kesalahannya.

Mengkaji dan menulis beberapa tokoh politik nasional, seperti karyanya tentang Tahi Bonar Simatupang, Sarwo Edhie Wibowo, dan lain-lain. Namun, Peter lulus sangat terobsesi dengan tokoh Soekarno. Beberapa skripsi S1-nya pun – sudah dibukukan dengan revisi di sana- sini – bayangan Soekarno. Kedua, meskipun sebagai pengagum Soekarno, jika tidak mau berpikir sebagai Soekarnois, Peter masih menulis sebagai sejarawan yang terkait, dan berlaku segala aturan, etika dan nilai-nilai profesional sejarawan masih dapat dicoba dengan baik. Hal itu terlihat dalam buku ini. Tidak ada kalimat-kalimat atau analisis yang berkesan sloganis, subjektif dalam, atau tidak terlihat dalam bentuk pamflet. Kekagumannya pada Soekarno tidak lantas membuat dia tidak berpikir tentang kemiskinan dan perilaku politik Soekarno.

Bahkan, salah satu kelebihannya, Peter sangat tekunarikan pelbagai bahan yang berhubungan dengan Soekarno, baik berupa buku, artikel, stensilan, dan sumber-sumber lain yang ditulis oleh siapa saja, tidak pernah penulis terkenal, yang bicara tentang Soekarno. Dia pun sangat peduli dengan detail kejadian atau kejadian yang bisa jadi sangat melelahkan sebagian besar orang yang membaca tulisannya. Dia pun selalu berusaha merangkum dan menuliskannya dengan sangat komprehensif, sebagaiman tulisan Peter lainnya yang bicara tentang tokoh-tokoh politik nasional.

Soekarno laksana Sebuah teka-tekiyang tidak selesai, dan memang tidak akan pernah selesai. Meski demikian, Peter Kasenda dalam buku-buku Soekarno ini mengumpulkan semua teka-teki dalam menuntaskan teka-teki tersebut. Begitu padat dan juga menyebabkan pembicaraan tentang hari-hari terakhir Soekarno. Untuk itu, dia menggunakan berbagai sumber yang ada. Upaya yang ditempuhnya itu memang “luar biasa”, tetapi ujungnya mudah ditebak. Dia sering kali dalam “pengulangan” jawaban yang jelas atau terjadi karena ada sesuatu yang layak untuk tertuang dalam bukunya ini. Soekarno, PKI dan Angkatan Darat: Tidak Hitam-Putih! Menulis tentang Soekarno, era pertama sejak “Demokrasi Terpimpin” hingga awal kebangkitan Orde Baru, 

Dianggap diutarakan orang Indonesia asal Australia, Herbert Feith, sebagai “kekuatan segitiga” (segitiga politik) yang diwarnai dengan relasi tarik-ulur dan bahkan penuh ketegangan di antara Soekarno, PKI, dan Angkatan Darat. Di dalam “kekuatan segitiga” tersebut, Soekarno yang bertindak sebagai penjaga garis antara Angkatan Darat dan PKI. Kita tentu saja paham bahwa bandul politik seperti ini tidak bisa bergoyang permanen, pasti ada batas atau titik ledaknya.

Dalam “Demokrasi Terpimpin”, ketiga kekuataan itu dengan Soekarno sebagai aktor sentral, yang memiliki peran yang sama dalam setiap jam. Namun, sekali lagi kita menemukan banyak tulisan tentang Soekarno dalam era Demokrasi Terpadu, dalam pertempuran seperti itu. Suasana keluarga itu ibarattaka peperangan dan pertanda seperti “zero-sum.” Namun, apakah benar demikian? Saling berhadapan dan tidak ada sama sama sekali untuk bertemu.

Peter Kasenda membuat tulisan tentang Soekarno di saat-saat terakhirnya Demokrasi Terpadu, juga tidak bisa lepas dari kewajiban segitiga politik seperti itu. Namun, Peter bisa membuat nilai. Dia tidak melihat semua itu secara hitam-putih. Memang benar, seperti dipaparkan dalam Bab 2, ba- gaimana PKI melakukan unjuk kekuatan sebagai kekuatan politik dengan basis massa, baik jumlah anggota dan organisasi- organisasi bawahannya maupun simpatisannya. Namun, ironisnya, karena peran dan posisi Soekarno sebagai presiden seumur hidup dan sebagian dukungannya antikomunis, baik dari golongan Islam maupun nasionalis, membuat lingkungan politik saat itu tidak kondusif bagi PKI untuk bisa duduk dalam kekuasaan formal.

Posisi dan peran PKI sendiri, meskipun telah menjadi bagian dari Uni Soviet dan RRT, ternyata jauh dari solid, khususnya dalam diri mereka sendiri. Sebagai partai massa, PKI memang mengaku, tapi ternyata kekuatan rielnya, seperti disampaikan sejarawan Perancis Jaques Leclerc, laksana tanah lempung yang mudah hancur. Ada banyak informasi dan proses yang bisa menguak lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi saat menjelang akhir September 1965, yang dikenal dengan politik wajah Indonesia dengan drastis dan “hilang” -nya ratusan bahkan ribuan orang Indonesia dalam tempo relatif singkat singkat, dan ini yang menarik, Ada bagian dari buku ini yang memperlihatkan kekuatan Angkatan Darat sendiri tidak sekukuh sering digembor-gemborkan selama ini dalam Wajah Soekarno. Sebagian dari mereka terdiri dari individu dan kelompok-setia setia Soekarno. Sebagian lagi “golongan” antikomunis yang tidak rela Soekarno diberlakukan atau “dilengserkan” secara tidak adil. Tidak terlalu salah, seperti pernah dipaparkan dua bahasa Indonesia dari Amerika Serikat Benedict Anderson dan Ruth T McVey, yang menyebutkan bahwa itu adalah komponen “internal Angkatan Darat.”

Simak paparan Peter Kasenda tentang Keluarga Besar Brawijaya yang melibatkan beberapa jenderal dengan Kolonel (Purn.) Bambang Supeno sebagai penggeraknya yang tetap berada di belakang Soekarno. Demikian pula Pelindung Inti Revolusi (Petir) yang terdiri sekelompok perwira Muda. Belum lagi masalah soal pendirian Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) dan juga Angkatan Udara yang masih setia di belakang Soekarno. Kita juga melihat beberapa jenderal yang memiliki hubungan dekat dengan Soekarno, yang tidak nyaman dengan tindakan yang terlampau keras terhadap Soekarno dan saat ini semakin bertambah kuatnya Suharto.

Sebut saja beberapa perwira tinggi seperti Letnan Jenderal Mokoginta, Walikota Jenderal Ibrahim Adjie, dan Walikota Jenderal Suryosumpeno, yang semuanya tersingkir dari lingkar Kekuatan Angkatan Darat setelah Orde Baru di bawah Suharto tingkat kukuh. Malah, Peter Kasenda mengungkapkan bagaimana “kudeta merangkak” sejak akhir 1965 hingga pertengahan 1967 itu bisa terjadi karena beberapa petinggi Angkatan Darat, khususnya Jenderal AH Nasution, tidak mau kehilangan Soekarno, dan bahkan tetap harus tetap di jalan legalistik. Hal ini berbeda dengan Suharto, meskipun sangat rendah, tetapi melakukan sejumlah tindakan dalam banyak hal di luar hukum dalam manuver politiknya.

Para Istri dan Anak di Balik Saat Kritis Soekarno

Cerita-cerita besar dalam politik Indonesia saat itu kerap dipecahkan dalam cerita para pemenang, sejarah politik yang diwarnai antara elit, konflik dan konsensus, intrik-intrik politik dalam istana, dan lain-lain yang sejenis. Dalam buku ini, Peter Kasenda memasukkan cerita tentang orang-orang yang secara pribadi memiliki ikatan “batin” dengan Soekarno, para istri dan anak-anaknya. Memang sudah pernah diperiksa dalam jumlah buku, tetapi banyak barang yang dapat digunakan sebesar Rp1. Bagaimana kita melihat Fatmawati tetap keukeuh tidak mau menjenguk Soekarno karena masuk teguh prinsip tidak mau dimadu, dan karena Hartini sudah lebih dulu ada di sana.

Namun, pada saat bersamaan, karena cintanya tak kunjung padam, Fatmawati masih berharap saat akhirnya Soekarno meninggal bisa disemayamkan terakhir kali di rumah jalan Sriwijaya tempat dia tinggal setelah meninggalkan istana. Ternyata keinginan terakhir ini pun tak bisa dipenuhi negara. Saat bersamaan kita juga melihat bagaimana Hartini tetap setia menemani hari-hari terakhir Soekarno di paviliun Istana Bogor, dan tempat ini kemudian menjadikan “cairnya” hubungan Hartini dengan anak-anak Soekarno (Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh, kecuali Guntur), yang secara rutin menjenguk ayahnya ke Bogor. Memang hanya Guntur yang berkeras dalam pendiriannya untuk tetap memboikot “Keluarga Bogor.”

Kita juga menyaksikan negara yang lain, Yurike Sanger, mempelajarinya dengan cepat birokrasi untuk bisa menjenguk Soekarno. Hatinya teriris melihat keadaan Soekarno. Sang Proklamator dengan semua jasanya sekarang hanya tidak lebih dari seorang pesakitan. Wajahnya pucat, gemuk penyakitan, dan seluruh tubuh limbung dan gemetar. Hal yang tidak kalah menarik, lebih tepat disebut mengharukan, negara bagian lain, Ratna Sari Dewi, yang saat itu tidak masuk ke dalam, karena tidak ada politik, tidak ada yang baru, yang hanya dikenal dengan nama Kartika, yang kelak akrab disapa Karina, tanpa kehadiran Soekarno di sampingnya.

Ratna Sari Dewi dan Kartika memang bisa dilakukan ke Indonesia, dan hanya bisa menyaksikan Soekarno yang sudah menjelang sakratul maut. “Karina ke sini. Ini Bapak, ini ayahmu, Karina. ”Soekarno tersugesti oleh ucapan Ratna Dewi, tetapi tidak berdaya. Ini termasuk kompilasi Haryatie dan Inggit Garnasih, mantan istri Soekarno yang hadir dalam persemayaman Soekarno di Wisma Yasso. Apalagi, cerita soal mantan presiden RI, yang tidak mungkin uang sepeser pun di kantongnya, satu hal yang tidak mungkin terjadi pada presiden-presiden Indonesia berikutnya, termasuk Mega-wati. Dalam konteks kekinian, sungguh sangat tidak masuk akal jika kita memperlakukan presiden sekaligus proklamator itu sebagai seorang pesakitan yang terus-menerus didera berbagai duka hingga titik akhir nafasnya.

Seperti adegan di belakang layar , kita bisa menyaksikan drama kemanusiaan dengan se gala proyeknya. Peter Kasenda cukup berhasil saat ini dalam buku ini. Namun, tepatnya di sini letak permasalahannya. Dengan obsesi pada detail kejadian dan menggunakan banyak sumber seperti yang telah disinggung sebelumnya, Peter Kasenda mungkin tidak atau tidak pernah melakukan pengulangan detail cerita saat-saat akhir tersebut seperti misalnya permintaan Fatmawati agar jenazah Soekarno disemayamkan di Jalan Sriwijaya No. 26, atau usulan keluarnya Soekarno dalam hitungan jam dari paviliun Bogor. Demikian pula dengan informasi tentang isi berita nasional yang dipaparkan berulang kali dalam beberapa bagian.

Hari-hari Diakhiri?

Jika kita membaca bab-bab terakhir buku ini, terutama Bab 6 tentang Tahanan Politik, pasti kita memilik dan bahkan dapat sebagai kesimpulan, yaitu hari-hari terakhir Soekarno yang lebih tepat sebagai hari- hari diakhiri. Siapa yang diakhiri? Sudah pasti Soekarno sendiri.

Setelah seluruh elemen kekuatan pendukungnya, khususnya PKI dengan segala organisasi dibebas habis dengan penahanan, penculikan, penghilangan dan pencurian yang sebagai “sejarah hitam” di Indonesia, kemudian jabatan dan segala atributnya sebagai presiden dan dicopot satu persatu. Orang-orang yang setia pada dirinya di sekitar kabinet dan pemerintah juga diciduk satu persatu. Soekarno sendiri kian tak berdaya menghilangkan mereka, bahkan untuk memandang dirinya sendiri.

Sebagai seorang pembuat solidaritas , informasi tip Herbert Feith, Soekarno yang selalu ingin berbicara dengan pidato-akbarnya, yang gandrung dengan persatuan dan kesatuan, yang terobsesi dengan waktu Nasakom dalam masyarakat Indonesia, tiba-tiba saja semua orang hilang dengan sekejab. Semua akses Soekarno ke public ditutup, dan real sebagai simbol pun sudah berakhir. Dia tidak lebih dari tahanan politik. Sendiri dan kesepian , barangkali ini dua kata yang tepat menggambarkan Soekarno saat itu. Penderitaan kepala belum berakhir.

Sakit fisik yang dideritanya semakin parah, terutama fungsi-fungsi yang belum maksimal dan juga jantungnya serta penyakit lainnya. Hal ini semakin diperparah dengan berbagai tindakan terhadap dirinya yang sudah benar-benar tidak berdaya. Pelayanan kesehatan yang diberikan dari cukup dan sangat kuat memang disengaja. Anak-meditasi yang diusir dari istana. Dia bersama Hartini yang memerintahkan keluar dari paviliun di Bogor hanya “berbusana” piyama dan kaos oblong dan beralas sandal. Kepindahannya ke Batutulis Ternyata juga masih diwarnai dari tetek-bengek yang pada dasarnya semakin memperburuk kondisi fisik dan mentalnya.

Tubuhnya sudah renta, tidak berdaya, dengan segala penyakit yang menumpuk, dan kotoran tidak sewajarnya sebagai tahanan, pesangan dan mantan presiden yang melenyapkan segalanya. Mungkin tidak terlalu mahal jika dikatakan bahwa Soekarno memang telah “diakhiri” secara sengaja di hari-hari terakhirnya. Beberapa Catatan Merangkum semua bahan dan menjelaskan semuanya memang tidak perkara mudah, heran tidak akan mungkin. Karena itu, sejarawan atau peneliti berikutnya mungkin dapat melihat celah-celah yang sudah dilontarkan Peter Kasenda dalam buku ini. Sebut saja, misalnya, soal aksi-aksi pertama terhadap PKI dimulai di Aceh (hal. 106), yang kemudian pindah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Laporan tentang penggalian kubur jenazah orang-orang yang dianggap simpatisan dan anggota PKI sudah banyak.

Namun, sependek pengetahuan saya, korban-korban aksi kekerasan yang serupa terjadi di Aceh sampai sekarang belum pernah ada laporannya yang relatif luas, jumlah, sebab- musabab, dan lain-lain. Ini tentu menjadi tantangan bagi para aktivis HAM di Indonesia, khususnya di Aceh. Kami sering atau pernah membaca laporan tentang fanatisme orang Islam dalam membantai “orang-orang” PKI saat itu, tetapi kami belum terlalu banyak, lagi-lagi sependek pengetahuan saya, mendengar atau membaca tentang status pemuda di Sumatera Utara dan Nusa Tenggara dalam mengeliminasi kekuatan PKI (hal. 116). Hal ini bukan masalah untuk membuka luka lama, sampai saat tindakan balas dendam. Jauh dari itu semua. Semua yang ada dalam rangka untuk kita bisa lebih jujur,

Dari sudut Hak Asasi Manusia, satu orang meninggal sudah merupakan tragedi, dan selebihnya hanya angka-angka. Selain itu, negara-negeri “asing” seperti Amerika Serikat, khususnya CIA, dan Inggris, tentu M16, pada saat-saat terakhirnya telah terpisahkan banyak dalam berbagai literatur. Tentunya akan menjadi lebih lengkap dalam era Perang Dingin yang juga dipaparkan identitas Uni Soviet melalui KGB-nya atau intelijen RRT di Indonesia, khususnya saat hari-hari terakhir Soekarno.

Menutup jumlah buku ini dengan mengutip kata-kata bijak, “Manusia menciptakan sejarahnya sendiri, tetapi manusia tidak bisa membuat sejarah persis seperti yang dikehendakinya.” Soekarno menanam sejarah, tetapi sejarah yang dibuatnya tidak seperti yang dikehendakinya.

Ironisnya, itu menjadi sejarah tentang hari-hari yang diakhirinya sebagai presiden. Sebagai buku yang berbicara tentang Soekarno, Peter Kasenda cukup berhasil merajut informasi dan analisis tentang Soekarno menjadi sebuah baju yang relatif utuh. Namun, kami tetap menunggu untuk itu, dan lebih jauh lagi dari itu kami perlu untuk lebih memahami, mengerti, dan mencari Soekarno. 

Sumber: http://www.prismajurnal.com/issues.php?id=%7BC1244728-3C77-6C21-0785-5B2DA28CC14A%7D&bid=%7B0327B60F-DE6E-539B-9979-18978AD362C0%7D

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *