Sejarah Kelam Bangsa dalam Pembunuhan Massal 1965-1966

Tulisan ini adalah sebagai resensi dari buku “Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966” yang terbit bulan Oktober 2018 ini. Buku ini mengungkap mengenai sejarah pembunuhan massal pada tahun 1965-1966 menyusul peristiwa G30S PKI. Pada peristiwa ini, diperkiran paling sedikit 500 ribu orang mati menjadi korban pembunuhan massal dan sistematis. Inilah sejarah paling kelam pertama yang muncul setelah kemerdekaan kita.

Geoffrey B. Robinson, sang penulis mempunyai tesis bahwa pembunuhan massal mempunyai kesepadanan dengan Genosida. Keduanya menurut Robinson, merupakan tindakan politik secara inheren. Genosida, dilaksanakan oleh aktor atau lembaga yang tidak begitu saja terjadi, atau bukan merupakan produk sampingan alami dari sebuah konflik ekonomi dan budaya, melainkan hasil dari tindakan disengaja serta sadar dari para pemimpin politik serta militer.

Dalam konteks G30S PKI ini, peristiwa yang kemudian menyertainya menyebabkan dua hal. Pertama, pemenjaraan massal dan kedua, pembunuhan massal. Tindakan politik dilakukan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang, yang kemudian mampu menggerakan partisipasi serta persetujuan pasif dari rakyat dalam pembunuhan massal tersebut. Sementara karakter negara dan lembaga negara adalah dua hal yang juga mampu menciptakan rencana pemenjaraan massal. Kemampuan negara dalam menggerakan dukungan untuk dua agenda di atas ada dalam bentuk logistik, serta propaganda secara sistematis.

Dari sini Robinson melihat lembaga yang paling penting dalam prosesi pemenjaraan massal dan pembunuhan massal adalah lembaga militer Angkatan Darat, kepolisian, paramiliter dan milisi. Kekerasan kemudian dilakukan secara sistematis dan terorganisasi dengan kelengkapan sarana logistik.

Dalam upaya menyepadankan Genosida dengan pembunuhan massal ini, maka literatur sejarah mengenai Genosida dijadikan sebagai pendekatan oleh Robinson. Pertama, adanya ideologi yang berakar pada rasisme, nasionalisme dan modernitas berserta ancaman ketakutan akan eksistensi negara. Kedua, literatur yang terkait dengan konteks dan kondisi lokal. Para aktor lokal akan memainkan peran krusial dalam menerapkan rencana dan perintah yang diinisiasi oleh para pemimpin nasional dengan membantu upaya pengidentifikasian, menahan, mengkategorikan dan membunuh orang yang disebut sebagai musuh.

Pendekatan yang dimunculkan sama halnya pendekatan dalam kondisi berperang. Artinya kemudian muncul sebuah penekanan dalam bentuk pengkubuan perang “kami melawan mereka”. Pengkubuan dua kutub ini dilatari dengan rasa takut atas ancaman eksistensi terhadap bangsa yang menjadi dasar atas retorika kekerasan massal dan pembunuhan.

Namun dalam spektrum yang lebih luas, hukum internasional dan jaringan internasional dalam membatasi atau bahkan memfasilitasi kekerasaan massal tersebut juga mempunyai perannya. Dengan kata lain aktor dan konteks internasional dapat berkontribusi pada genosida dan kekerasan massal tersebut.

Nah, dalam ruang lingkup inilah kemudian, Robinson melihat lahirnya peristiwa pembunuhan massal yang menimpa para aktivis dan simpatisan kelompok kiri di Indonesia, menyusul peristiwa G30S PKI. Ada tiga klaim dari Robinson mengenai aktor dan konteks yang melatari kekerasan massal dan pembunuhan massal.

Klaim Pertama, Angkatan Darat

Kekerasan 1965-1966 tidak akan dapat dipahami dengan baik tanpa mengakui peran penting Angkatan Darat dalam memprovokasi, memfasilitasi serta mengorganisasinya. (h.22). Namun demikian angkatan darat tidak berarti melakukan hal ini sendirian. Adapula kontribusi tekanan dari berbagai kelompok sosial, agama dan politik untuk melakukan “tindakan tegas” terhadap kelompok kiri.

Angkatan darat kemudian mengembangkan dan menyebarluarkan diskursus ancaman terhadap eksistensi bangsa yang memicu tindakan kekerasan terhadap mereka yang diduga atau memang benar sebagai kelompok kiri (PKI).

Kampanye dan propaganda membuat sosok PKI seperti sebuah setan bukan lagi manusia, yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. (h.23) Berbagai peran dilakukan dalam memobilisasi jaringan kelompok masyarakat atau milisi sipil yang sangat luas baik dari kalangan berlatar agama maupun nasional. Mereka mampu diarahkan untuk melakukan dari mulai identifikasi, penahanan, pengangkutan hingga pembunuhan. Bahkan sebagian bertindak melampui atau di luar kendali angkatan darat.

Klaim kedua: Konteks Internasional

Seperti diketahui pada periode tahun 1960-an terjadi apa yang disebut perang dingin. Tercipta pembagian kelompok negara-negara berdasarkan ideologi, Kiri-Kanan. Indonesia saat itu menjadi salah satu medan perang tarik-menarik ideologi di kawasan Asia Tenggara. Dengan disertai adanya kecenderungan pemerintahan Soekarno yang lebih berat ke Tiongkok pada saat itu, memperkuat dorongan peran negara-negara barat untuk mengintervensi politik di Indonesia. Belum lagi perang Amerika di Vietnam dan juga politik konfrontasi Indonesia-Malaysia turut mendorong campur tangan Amerika dan Inggris dalam upaya meminggirkan Soekarno dan menghabisi kelompok kiri/PKI.

Dalam konteks internasional tanpa dukungan kekuatan asing, terutama dari Amerika dan Inggris, maka tidak mungkin juga akan terjadi pemenjaraan massal dan pembunuhan massal. Negara-negara ini juga memberikan bantuan ekonomi, militer dan logistik rahasia kepada pimpinan angkatan darat, memberikan jaminan keluar dari rasa takut dikritik dan disorot. Kondisi ini pulalah pada akhirnya, bisa dipahami bahwa dukungan negara-negara tersebut menyebabkan kebungkaman dan ketiadaan tindakan terhadap aksi pemenjaraan dan pembunuhan massal oleh dunia internasional.

Klaim Ketiga: Kondisi Historis

Ada beberapa kondisi histroris yang mendorong pembunuhan massal, yaitu adanya pembagian kelompok kiri-kanan. Kelompok komunis atau PKI digambarkan sebagai antitesis Islam. Kondisi kedua, sejarah peristiwa Madiun yang dilatari tuntutan politik otonom di kota tersebut. Hal ini kemudian dijadikan narasi bahwa PKI adalah ancaman bagi keutuhan bangsa sekaligus ancaman terhadap persatuan angkatan darat. Hal ini juga menjadi titik tolak pemersatu dalam memberantas PKI pasca peristiwa 1 Oktober 1965. Maka ada narasi nasionalis versus komunis di sini.

Kondisi historis lainnya adalah doktrin angkatan darat dan praktik mobilisasi pasukan milisi sipil untuk melawan musuh di dalam negeri. Praktek ini yang kemudian dikenal dengan perlawan rakyat semesta, setidaknya menjadi inspirasi bentuk mobilisasi milisi sipil yang setipe dalam aksi pembersihan kelompok kiri/PKI pada tahun 1965-1966.

Pada akhirnya buku ini bisa menjadi gambaran yang relevan pada masa sekarang ini. Bagi kita yang hidup di alam demokrasi liberal saat ini menjadi penting untuk memetik pelajaran dari sejarah hitam bangsa ini. Kontestasi politik saat ini mempunyai kecenderungan yang mirip. Yaitu terjadi pengkubuan atas dasar narasi ideologis, Islamis-transnasionalis versus Islamis-hypernasionalistik. Berhati-hatilah, bila pengkubuan ini ada pada titik kritis, maka siapa yang kuat dan menguasai narasi dan alat kekuasaan maka dapat mengulang sejarah hitam kita di tahun 1965-1966.

Jangan sampai sejarah kelam kita terulang. Jangan sampai narasi yang seolah menyatukan tetapi sesungguhnya membelah dilestarikan tanpa disadari. Kesadaran yang terlambat akan semakin sulit dikendalikan. Manakala propaganda yang cenderung hypernasionalitik atau transnasionalitik menjelma menjadi sifat militeristik, maka dia akan mencampakan nilai kemanusiaan, keadilan dan demokrasi dalam kubangan hitam sejarah bangsa.

Demikianlah kira-kira gambaran penghantar dalam membaca buku ini. Informasi jauh lebih detail akan tersaji lengkap dalam buku yang dibundel sebanyak 488 halaman terbutan Komunitas Bambu . Geoffrey Robinson, penulis buku ini pernah bekerja di department riset Amnesty Internasional dan memperoleh PhD dari Cornell University. Seperti diketahui, cornell university kaya akan arsip tentang sejarah Indonesia dan pernah mempunya Indonesianis terkenal macam Prof. George Kahin, Ben Adersen dan Audrey Kahin yang menjadi editor jurnal presitisius Cornell “Indonesia”.

Buku ini oleh penulisnya diperkirakan akan banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan akademisi, politisi dan telebih di militer. Ada banyak detail yang selama ini tabu dibicarakan diungkap dalam buku ini dengan gamblang oleh Robinson. Tetapi apapun itu, buku ini akan memperkaya khasanah literatur sejarah kita. Ada pelajaran yang kita bisa petik agar tidak terulang.


Sumber: penarudikdahlan.wordpress.com

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *