Sejarah Indonesia di Luar Kepala Peter Carey

Jakarta, CNN Indonesia—Sudah meneliti Indonesia sejak 1970, membuat Peter B.R. Carey “ngelotok” sejarah negeri berjuluk Zamrud Khatulistiwa ini, terutama Jawa. Sejarawan berusia 66 tahun ini menyayangkan, 90 persen jurnal tentang Indonesia justru ditulis oleh orang asing, bukan orang lokal.

Dalam suatu kesempatan bertemu 400-an guru sejarah di Jawa Tengah, Carey bertanya adakah di antara para guru yang tahu Mpu Tantular, dan hanya dua orang yang mengacungkan tangan. Sementara dirinya sangat hafal, khususnya sejarah Pangeran Diponegoro.

“Ingat kata-kata Bung Karno, ‘Jasmerah: Jangan sekali-kali melupakan sejarah.’ Kalau kita tidak tahu sejarah, kita tidak punya pegangan atau kiblat ke masa depan,” kata Carey saat ditemui di Goethe Institut Jakarta, beberapa pekan lalu.

Dalam pandangan Carey, ketika suatu bangsa melupakan sejarahnya sendiri maka sangatlah berbahaya. “Kita boleh jadi bangsa yang kaya raya. Tapi semua itu percuma kalau tidak paham jati diri bangsa sendiri, tidak ada identitas.”

Hidup di alam modern, menurut Carey, tak berarti luput memaknai warisan leluhur yang luar biasa hebat. Carey mencontohkan Korea Selatan dan Jerman yang terpuruk pasca Perang Dunia II, kemudian bangkit dan maju tanpa melupakan jati diri dan sejarahnya.

“Sementara di Indonesia, banyak sejarah yang tidak benar, banyak yang tidak tahu, banyak yang tidak boleh tahu, banyak tahun-tahun dilupakan sebagaimana terjadi di Aceh, Papua, Timor Leste. Ini situasi yang tidak menguntungkan,” katanya.

Kecintaan Carey pada Jawa dan Diponegoro berawal dari membaca buku-buku sejarah semasa sekolah di Inggris. Bagi Carey kecil, sosok Pangeran Diponegoro yang dekat dengan rakyat ini tak ubahnya superhero.

Niatan meneliti terwujud saat bermukim di Indonesia era 1971-1973 untuk menggarap tesis Diponegoro. Sekembalinya ke negara asal, ia merilis sejumlah buku, dari menerjemahkan Babad Diponegoro (1981) sampai menulis Diponegoro, Kuasa Ramalan (2007).

Pada 2008, ia kembali ke Indonesia untuk menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Belum lama, ia merilis buku Takdir: Kehidupan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta (2014) bersama salah seorang keturunan Diponegoro.

Lalu, Carey membocorkan debut kiprahnya sebagai salah satu kurator pameran Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa. Pameran ini siap digelar pada 5 Februari-8 Maret 2015 di Galeri Nasional Jakarta.

“Ini kesempatan yang jarang diberikan kepada peneliti. Jadi tantangan, karena saya belum pernah jadi kurator.” Kelak dipamerkan objek dan artefak yang menggambarkan Diponegoro, baik milik negara maupun pribadi (dikumpulkan via Open Call per Oktober).

Di antara sejumlah koleksi yang siap dipamerkan, salah satu yang terkenal yaitu lukisanPenangkapan Diponegoro karya maestro Raden Saleh. Kelak juga ada ruang pusaka yang memamerkan jubah, pelana, tombak warisan Diponegoro.

Diponegoro, menurut Carey, adalah tokoh yang menarik. Ia  hidup di empat dunia: keraton, desa, pesantren dan kancah perang. Tiga kali mengalami tsunami dalam hidupnya: saat diadopsi, rumahnya dibumihanguskan oleh Belanda, dan diasingkan dari keluarganya.

Dengan adanya pameran tersebut, Carey berharap, orang Indonesia mengetahui kesejatian sejarah sang pahlawan nasional. “Selama ini sejarahnya diselimuti oleh Belanda, dan saya akan singkap selimut ini.”


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20141028172319-269-8553/sejarah-indonesia-di-luar-kepala-peter-carey

Vega Probo

Jurnalis cnnindonesia.com