Sebuah Catatan Orang Film

Achmad Sunjayadi
Pemerhati budaya


Dunia film sering dimaknai oleh sebagian orang awam sebagai dunia gemerlap bak mengawang di langit. Tak banyak orang yang tahu ada apa di balik dunia itu. Sepertinya apa yang terjadi di sana tak akan dapat diketahui tanpa adanya catatan para pegiat di dunia tersebut yang menggelutinya selama bertahun-tahun.

Buku ini, seperti pengakuan penulisnya, semula dibuat untuk konsumsi keluarga tetapi ternyata nilai yang terkandung di dalamnya bermanfaat untuk masyarakat, khususnya penikmat film Indonesia. Sehingga sayang sekali jika catatan ini hanya dapat dinikmati kalangan terbatas.

Memang tak semua orang mengenal sosok ini. Sosok yang juga menjadi pelaku sejarah perfilman Indonesia. Dunia perfilman yang mungkin dalam pandangan masyarakat awam sebagai dunia gemerlap, glamour, serta penuh kemewahan.

  1. Misbach Yusa Biran mengawali karir di dunia film sebagai tukang skrip di PERFINI, pernah menjadi sutradara dan jatuh bangun karena ‘kebandelan’nya mendirikan pusat dokumentasi film Indonesia (sinematek).

Kita beruntung karena H. Misbach seperti yang diakuinya adalah sosok yang ‘bandel’ sehingga ada banyak hal menarik yang dapat disimak dari buku ini. Jika ia tidak ‘bandel’ tentu kenangan yang digoreskannya terasa datar, biasa-biasa saja. Tidak mengherankan jika kelak Misbach juga ‘dekat’ dengan dua tokoh perfilman nasional Indonesia, Usmar Ismail dan Djamaludin Malik.

Melalui buku ini H. Misbach menceritakan kehidupan masa kecilnya hingga berusia senja (70 tahun). Dalam buku ini terungkap pula kehidupannya sebagai orang Banten (mengikuti ibunya) meskipun ayahnya berasal dari Sumatra (Minang). Misbach sendiri lahir di Rangkasbitung pada 1933. Bisa jadi ‘kebandelan’nya berakar dari sini. Seperti yang ditulisnya dalam bab pertama ‘Turunan Pemberontak’.

Nama Misbach pun ada kisahnya. Sebenarnya ia akan diberi nama Efendi, nama yang terdengar modern pada masa itu. Namun, sang ayah bersikeras memberinya nama Misbach. Seperti nama yang populer pada masa itu, H.M Misbach. Nama seorang pemberontak yang baru digantung oleh Belanda dan dikenal sebagai haji ‘merah’. (hal.16). Nama adalah doa ternyata benar. Sang ayah yang menginginkan Misbach kelak menjadi pejuang dan haji benar-benar terwujud. Misbach menjadi haji sekaligus ‘pejuang’ sinematek Indonesia.

Ketika usia Misbach sekitar tiga bulan, orang tua H. Misbach pindah ke Batavia (Jakarta). Mereka tinggal di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kehidupan prihatin dijalani keluarga ini. Pada bagian ini H. Misbach memberikan gambaran Jakarta pada 1930-an. Misalnya pergi berlibur ke Wilhelmina Park (sekarang Mesjid Istiqlal) sambil makan ketoprak dekat pintu air atau naik trem (hal.22-23).

‘Kebandelan’ dan keprihatinan di jaman Jepang dan revolusi ini pula yang menempa Misbach muda menjadi pribadi yang seolah sulit diatur dan tidak mau menerima begitu saja aturan. Misalnya pengalamannya ketika duduk di bangku SD Taman Siswa. Ketika semua orang membungkuk ke arah Istana Merdeka (kantor penguasa Jepang) dan utara (Istana Kaisar Jepang di Tokyo), Misbach kecil tidak ikut membungkuk lantaran ingin melihat pemandangan banyaknya orang yang membungkuk (hal.31).

Keberanian yang juga dimiliki oleh sebagian anak remaja yang ikut bertempur pada masa revolusi juga dimiliki Misbach ketika SMA sehingga ia dikenal oleh gurunya sebagai trouble maker (biang kerok). Bersepeda ke sekolah dengan sepeda balap dengan setang melingkar dan mengenakan blue jeans ke sekolah. Pakaian yang tidak lazim dikenakan oleh anak sekolah pada masa itu karena hanya dipakai oleh tukang berantem (hal.71)

Hal menarik lainnya adalah cerita tentang Chairil Anwar yang menurut kabar yang beredar selalu berpakaian lusuh, kekurangan uang, kurang ajar. Menurut Misbach hal itu keliru. Chairil selalu berpakaian necis dan celananya licin disetrika (hal.76)

Atau kisah tentang salah seorang temannya di Pasar Senen yang senang wayang dan gemar menyanyikan lagu-lagu ludruk. Temannya ini kelak akan menjadi salah seorang menteri di masa Soeharto yang kerap muncul di televisi dan berkata “Atas petunjuk Bapak Presiden.” Tentu kita tahu, dialah Harmoko.

Meskipun Misbach memilih jurusan paspal (ilmu alam) karena dianggap lebih bergengsi dibandingkan jurusan budaya, namun kegiatan berkesenian inilah yang justru menjadi pilihan karirnya kelak.  Ia menjadi sutradara sandiwara Liburan Seniman karya Usmar Ismail di sekolahnya. Bersama dua temannya, Sjumanjaya dan Ardan, Misbach nekad melamar menjadi peserta kursus menjadi asisten sutradara, asisten juru kamera dan asisten editor di PERFINI pimpinan Usmar Ismail meski ia belum lulus SMA. Ketiganya ditolak. Salah satu di antara para peserta ujian yang lulus adalah Nya’ Abbas Accup  (hal.82)

Karir Misbach di dunia film ternyata sudah diatur olehNya. Setelah berhari-hari ia berkeliling dari satu studio ke studio lainnya, mencari kesempatan bekerja di dunia film,  ia dipanggil oleh PERFINI. Rupanya Usmar Ismail senang pada tulisan Misbach yang menulis kritik film ‘Meratjun Sukma’ (1953) di majalah Aneka (hal.93).

Selain terlibat dalam produksi film, rupanya Misbach memiliki cita-cita mendirikan sinematek, mendokumentasikan film. Pada 1972 ia sempat diminta meninggalkan pekerjaan ini dan mencari pekerjaan yang lebih berguna oleh Tio Tek Djien (T.D. Tio Jr) alias Oom Tio, tokoh pembaharu teater dan pimpinan Miss Riboet Orion. Ketika itu Misbach sedang mengumpulkan data untuk sinematek (hal.231)

Hingga kini di usia yang merayap senja Misbach tetap istiqomah terhadap dunia yang digelutinya. Lurus tak bergeming akan godaan harta untuk membuat film-film kacangan yang merusak moral. Meskipun dia tahu dan sebenarnya bisa mendapatkannya jika dia mau. Suami dari artis Nani Wijaya, tokoh emak dalam serial Bajaj Bajuri dan Salon Oneng ini pun sadar untuk madhep pandhita dan naik maqam berupaya menjadi orang tua yang bijak. Walau untuk itu ia harus mengurut dada dan menaikkan tensi kesabarannya karena rupanya itu sangat sulit. Namun, memang itu lah bayarannya. Harimau mungkin dikenang karena kulitnya yang belang dan manusia karena nama dan perbuatannya. Misbach ternyata juga bercita-cita membuat buku sejarah perfilman Indonesia (yang telah diselesaikan sampai periode tertentu).

Buku ini adalah sebuah catatan. Sebuah catatan adalah ingatan yang diceritakan dalam tulisan. Catatan itu akan berguna jika berisi kejujuran, kebenaran tanpa niat untuk berbohong atau membesar-besarkan sesuatu. Demikian pula otobiografi tokoh film Indonesia, H. Misbach Yusa Biran ini. Benar, seperti kata Ayip Rosidi dalam pengantar buku ini, memoar adalah kenangan seseorang akan hidupnya sendiri dan bersifat subyektif. Semua pengalamannya ditulis sesuai dengan pikiran dan ingatannya. Namun, belum tentu orang yang mengalami pengalaman yang sama dengan sang penulis memiliki pendapat dan ingatan yang sama. Di sini jelas kita perlu membandingkan dengan cerita orang lain tentang suatu peristiwa yang sama supaya didapat peristiwa obyektif yang pernah terjadi. Oleh karena itu catatan serupa dari mereka yang bergelut dunia film akan menjadi sumber berharga.

Sumber: https://sunjayadi.com/sebuah-catatan-orang-film/

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *