Sang Maestro Arsitektur Tropis Modern

Selama 25 tahun sejarawan seni dari Universitas Leiden, Belanda, CJ van Dullemen, menelusuri jejak karya maestro arsitektur modern tropis Hindia Belanda, CP Wolff Schoemaker. Kisahnya ia beber dalam buku Tropical Modernity, Life and Work of CP Wolff Schoemaker. Sebuah kisah semangat pembaruan.

Anda tahu apa gunanya dua lampu di tiang teras itu?” ujar Wakil Direktur Erasmus Huis Jeroen Gankema, menunjuk dua tabung kecil di tiang teras miniatur sebuah bangunan vila yang tergantung di ruang pameran Erasmus Huis Jakarta, Senin (11/7). Miniatur abu-abu berdimensi sekitar 50 x 50 x 50 sentimeter (cm) itu adalah miniatur Villa Isola, vila megah di Bandung yang kini menjadi Gedung Bumi Siliwangi di Jalan Setiabudi 229, Bandung.

”Ternyata, lampu itu merupakan tanda si pemilik rumah akan pergi. Jika yang menyala lampu kanan, sopir pemilik rumah akan menyiapkan mobil Mercedes. Jika yang menyala lampu kiri, berarti si pemilik rumah ingin bepergian dengan mobil Aston Martin,” tutur Gankema tertawa.

Villa Isola dibangun tahun 1933 di lahan seluas 120.000 meter persegi di antara Lembang dan Bandung, untuk seorang Indo-Eropa, Dominic Willem Berretty. Gankema menunjuk dua tiang yang ada di halaman belakang vila yang dindingnya melengkung-lengkung seperti dek sebuah kapal itu.

”Konon, tiang itu berfungsi menyemburkan gas sehingga menjadi obor yang menyala di malam hari. Saya bayangkan, pasti pemandangan malam dengan dua api obor itu luar biasa,” ujar Gankema mengomentari rancangan CP Wolff Schoemaker, salah satu arsitek keturunan Belanda yang banyak melakukan lompatan pembaruan arsitektur tropis di Hindia Belanda.

Bangunan bergaya art deco itulah pusaran yang menyeret CJ van Dullemen, sejarawan seni dari Universitas Leiden, memasuki dunia karya Schoemaker. Pencipta pusaran ”Villa Isola” itu adalah pengajar arsitektur di Universitas Leiden, Dr Thomas AP van Leeuwen.

”Di tahun 1986, Dr Thomas AP van Leeuwen menunjukkan slide fotonya, sebuah vila dengan desain modern. Katanya, ’ini bangunan arsitektur Belanda, dan kita tidak tahu apa-apa tentang bangunan itu’. Saat itu, kami bahkan tak tahu namanya. Ternyata itu adalah Villa Isola,” kata van Dullemen dalam peluncuran bukunya, Tropical Modernity, Life and Work of CP Wolff Schoemaker, di Erasmus Huis Jakarta, awal Juli lalu.

Sahabat Soekarno

Van Dullemen mengikuti gairahnya mencari tahu asal-usul bangunan itu. Ditemukannya majalah mingguan Panorama terbitan 1984 yang menyebutkan nama Wolff Schoemaker sebagai perancang vila yang ternyata Villa Isola. Van Dullemen tambah penasaran dengan Schoemaker.

Ia menemui keturunan orang-orang yang pernah terlibat dengan proses kreatif Schoemaker, mencari segala dokumen.

Dalam dua tahun pelacakan dokumen dan berbagai terbitan, Van Dullemen menemukan 18 bangunan rancangan arsitek kelahiran Jawa itu. Pencarian berikutnya menemukan cetak biru asli Grand Preanger Hotel, yang ternyata dijadikan pembungkus sketsa dan gambar karya Van Oyen, rekan kerja Schoemaker.

”Schoemaker adalah lelaki yang unik. Ia seorang Muslim, menjalani ibadah haji. Dia juga seorang seniman, bersahabat pula dengan Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia,” canda Van Dullemen.

Setelah 25 tahun, van Dullemen menemukan lebih dari 50 bangunan rancangan Schoemaker dan beberapa rancangan karya lelaki yang pernah menjadi tentara Kerajaan Belanda itu. Dan Villa Isola memang masterpiece Schoemaker.

Villa Isola yang simetris kiri-kanannya itu tetap merupakan bagian penting dari proses kreatif Schoemaker. Dibandingkan dengan Villa Helly di Semarang (rancangan Schoemaker dan Van Oyen) yang penambahan ruangnya melebar ke samping, penambahan ruang Villa Isola justru dilakukan secara vertikal empat lantai, dengan tangga melingkar di kiri kanan pintu masuk.

Villa Isola bahkan memiliki atap mendatar yang menabrak kelaziman atap mengerucut yang menjadi solusi panasnya hawa daerah tropis. Sebuah perubahan radikal di zamannya.

Van Dullemen menyimpulkan karya Schoemaker yang tersebar di Bandung, Jakarta, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Solo, Medan, dan Makassar dapat dibagi dalam tiga periode.

Pada periode pertama (1918-1921), Schoemaker bersama adiknya, Richard Schoemaker, merancang bangunan yang mengedepankan fungsi sebagai bangunan militer dan memakai ornamen patung figuratif, seperti terlihat di Gedung Jaarbeurs Exhibition Center yang sekarang menjadi Komando Logistik Kodam di Jalan Aceh 50, Bandung.

Pada periode kedua (1921-1924), patung figuratif itu tidak lagi ditemukan. Dari 24 rancangan yang dibuat pada periode itu, tujuh di antaranya memakai ornamen khas Indonesia, ornamen geometris, dan dekorasi bermotif bunga.

Salah satu contoh paling menonjol adalah Majestic Cinema yang dibangun pada 1922 yang kini terletak di Jalan Braga Nomor 1, Bandung.

Masjid Cipaganti

Pada periode itu, Schoemaker juga merancang renovasi Gedung Concordia, yang sekarang menjadi Gedung Merdeka di Jalan Asia-Afrika 65, Bandung. Desain dan pilar pintu masuk mencirikan gaya Schoemaker. Pada masa itu, ia juga menjadi salah satu poros utama dalam perdebatan seni arsitektur Hindia Belanda.

Lelaki Belanda kelahiran Banyubiru, Salatiga, Jawa Tengah, pada 1882 itu diangkat menjadi guru besar arsitektur di Technische Hoogeschool Bandung (Institut Teknologi Bandung) pada 1924, yang menjadi awal periode ketiga karyanya (1924-1940).

Ia merancang Observatorium Bosscha pada 1925. Tahun 1927, ia merancang bangunan depan Grand Hotel Preanger di Jalan Asia Afrika 81, Bandung. Bangunan bergaya art deco geometric itu kuat dipengaruhi rancangan arsitek Frank Lloyd Wright.

Pada 1932 ia merancang mahakaryanya, Villa Isola. Setahun kemudian, ia merancang Masjid Raya Cipaganti di Jalan Cipaganti 85, Bandung, yang mengaplikasikan prinsip tradisional arsitektur Jawa. Hal itu, antara lain, atap tajuk tumpang dua limasan, empat kolom tiang utama, dan detail ornamen masjid.

Pada 1933 pula ia merancang Gemeenshappelijk Electriciteitbedrijf Bandoeng Omstreken yang sekarang menjadi Gedung PLN di Jalan Asia-Afrika 63, Bandung. Periode ketiga itu ditandai pengaruh gaya rancangan Wright dan berkurangnya imbuhan ornamen dalam rancangan Schoemaker. Karya-karya terakhir lelaki yang meninggal di Bandung pada 1949 itu akhirnya tak lagi berornamen. Ia meninggal pada usia 67 tahun, dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Kristen Pandu, Bandung.


Aryo Wisanggeni G

Jurnalis kompas.com

Sumber: https://properti.kompas.com/read/2011/07/24/0312357/sang.maestro.arsitektur.tropis.modern.

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *