Ringkas Tetapi Membekas

Damar Djuniarto
Pemimpin Redaksi Alinea TV


INILAH biografi pendek dari penyair Danau Toba yang pada tanggal 20 Desember 2014 wafat dan
menjadi sastrawan angkatan ’45 paling akhir yang tutup usia. Ditulis oleh sejarawan JJ Rizal, yang
mulai dekat dengan sosok sastrawan ini karena tugas skripsinya, dan menurut keterangannya
sendiri, ia menulis buku ini tanpa henti selekas ia mendengar berpulangnya Sitor Situmorang di
Apeldorn, Belanda. Kurang lebih hanya dua minggu waktu yang dibutuhkan oleh JJ Rizal dan
penerbit Komunitas Bambu untuk menyelesaikan pembuatan buku yang digadang oleh JJ Rizal
sebagai biografi pendek dari Sitor Situmorang.

Biografi Pendek?
Kata “pendek” di judul buku ini mungkin dimaksudkan JJ Rizal sebagai sebuah awalan. Sebuah versi
ringkas. Mungkin, suatu hari nanti akan ada versi panjangnya. Namun saat pembaca mulai
mendalami isi tulisan biografi pendek karya JJ Rizal kita akan tahu bahwa yang sebenarnya
dimaksudkan pendek itu sebenarnya panjang (kompleks) juga.

Sebagai pembaca misalnya, saya sempat bertanya-tanya begitu tahu bahwa Sitor Situmorang adalah
anak tokoh Batak yang sangat terkenal. Ia anak dari Ompu Babiat, tangan kanan Si Singamangaraja
yang dianggap sebagai Raja Batak. Itu artinya, setelah kita pahami posisi Ompu Babiat dalam adat
istiadat Batak, ikatan tradisional Batak seharusnya melekat kuat pada diri Sitor. Tapi sebagaimana
kita tahu, Sitor adalah orang Indonesia. Ia menjadi orang Indonesia yang tidak hanya dimiliki oleh
suku Batak tetapi oleh banyak orang dari beragam suku bangsa.

Persoalan dengan Biografi Pendek
Namun ada persoalan juga bila kita elu-elukan perihal pendeknya buku ini. Meskipun JJ Rizal
berusaha meringkas apa yang terjadi pada puncak karir Sitor pada periode 1957-1967, kita tahu
sebenarnya pada dekade itu banyak sekali terjadi peristiwa politik yang tidak bisa disingkat begitu
saja menjadi beberapa halaman. Pilihan Sitor untuk belajar dunia film di AS di tengah suhu politik
yang masih gonjang-ganjing pasca merdeka, yang bisa kita baca dari beragam sumber sejarah lain,
itu masih perlu dijelaskan secara lebih lugas. Benarkah ia ingin berkecimpung dalam dunia film?

Kalau benar, mengapa tak cukup banyak jejak Sitor dalam film nasional? Apa peran yang ia mainkan
dalam posisinya sebagai Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional untuk perfilman nasional?

Atau adakah cerita versi lain yang bisa dikumpulkan lewat proses penulisan sejarah yang barangkali
bisa segera dipikirkan oleh JJ Rizal mulai sekarang. Ini baru satu catatan saja dari setiap perikop
hidup Sitor yang ia beberkan dalam buku ini.

Namun sebagai pembaca, saya boleh sedikit merasa puas pada buku tipis ini. Paling tidak, ia
melengkapi pembacaan-pembacaan atas diri Sitor Situmorang yang selama ini masih tercecer. Pada
akhirnya, saya mengamini pandangan JJ Rizal bahwa Sitor Situmorang, memang tidak bisa hanya
disematkan jasanya sebagai sastrawan angkatan ’45, tetapi ia punya banyak peran yang perlu digali
dan bisa disebarkan sebagai inspirasi bagi orang Indonesia zaman sekarang.

Sumber: rumahpembaca.com

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *