Revolusi Sosial di Sumatra Timur

Handoko Widagdo


Revolusi sosial yang terjadi di Sumatra Timur telah mengubah bentuk hubungan antara rakyat jelata dengan para elite (bangsawan) di wilayah tersebut. Anthony Reid mencoba mencari jawab apakah kesetiaan rakyat terhadap para pemimpinnya berubah setelah terjadi revolusi ini? Faktor apa saja yang membuat hubungan tersebut berubah setelah revolusi sosial terjadi?

Pertama-tama harus didiskusikan mengapa terjadi revolusi sosial di Sumatra Timur dan tidak terjadi di seberang selat (Malaya) yang masyarakatnya pada mulanya sama-sama sangat patuh kepada bangsawan? Reid membeberkan bahwa peran Belanda yang menggunakan para elite untuk mendapatkan konsesi lahan perkebunan, kehadiran Jepang yang menginginkan Sumatra Timur menjadi bagian dari Negara Jepang dan bukan bagian dari Republik Indonesia, dan pergerakan nasional yang puncaknya adalah proklamasi di Jakarta adalah faktor-faktor yang menimbulkan revolusi sosial tersebut.

Belanda memakai para penguasa (ulee balang di Aceh dan para bangsawan di Sumatra Timur) untuk mendapatkan konsesi lahan dalam pengembangan perkebunan. Belanda memberikan legitimasi kepada para elite dengan gelar sultan (hal. 27) dan memberi proteksi kepada para sultan dan keluarganya dari rongrongan rakyat. Mereka menggunakan para sultan untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian dari para produsen di pedalaman. Pada era yang kemudian Belanda memanfaatkan para sultan untuk mendapatkan hak hukum atas pemanfaatan lahan untuk perkebunan.

Ketidak-sukaan rakyat terhadap Belanda di Aceh sudah terjadi pada akhir abad 19 (tahun 1873). Saat terjadi agresi Belanda I ke Aceh, masyarakat Aceh melakukan perlawanan keras. Meski pada tahun 1913 akhirnya Belanda mampu menguasai Kutaraja (hal.31), namun perlawanan rakyat terus terjadi melalui penyerangan-penyerangan sporadis. Saat pada akhirnya Belanda bekerjasama dengan para ulee balang, perlawanan rakyat yang dipimpin oleh ulama semakin gencar terjadi.

Sedangkan di Sumatra Timur perlawanan kepada Belanda setidaknya sudah mulai terlihat pada tahun 1865. Orang-orang Karo melakukan penyerangan terhadap Belanda karena merasa hak atas tanahnya diserobot begitu saja. Bahkan gangguan terhadap kekuasaan Belanda yang pada mulanya sporadis, akhirnya menjadi sebuah pemberontakan yang terorganisir di bawah Sultan Sunggal (orang Karo) kepada kekuasaan Belanda melalui Kesultanan Deli (hal. 27). Kebencian rakyat kepada Belanda dan para bangsawan terus berlangsung karena politik kapitalis perkebunan yang mengambil lahan rakyat dan mendatangkan penduduk baru dari luar sebagai pekerja.

Pengaruh Pergerakan Nasional

Pada awalnya gerakan nasional yang diprakarsai oleh orang luar tidak terlalu berjalan di Aceh. Hal ini disebabkan lapisan terbesar rakyat Aceh masih jauh dari memahami gerakan Muhammadiyah dan nasionalisme yang diwakilinya. Seseorang uleebalang muda terpelajar di Koraraja umpamanya akan lebih mementingkan dukungan lapisan rakyat ini daripada dukungan orang-orang “asing” Minangkabau atau Jawa (hal. 51). Itulah sebabnya organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Sarekat Islam, Boedi Oetomo dan Taman Siswa yang masuk dengan pendekatan pendidikan (membangun sekolah) tidak terlalu berhasil di Aceh. Namun secara perlahan, saat kepemimpinan organisasi-organisasi tersebut beralih ke orang lokal, maka pergerakan nasional mulai berjalan baik di Aceh.

Sebaliknya di Sumatra Timur pergerakan nasional mendapat sambutan yang cukup baik. Sekolah-sekolah Muhammadiyah, Boedi Oetomo dan Taman Siswa berkembang cukup baik di kalangan imigran dari Jawa yang banyak tinggal di perkebunan-perkebunan.

Peran pergerakan nasional di Aceh dan Sumatra Timur membangkitkan tokoh-tokoh intelektual dan organisasi perjuangan rakyat di Aceh dan Sumatra Timur. Di Aceh muncul Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pada tahun 1930-an di Sumatra Timur muncul Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Partai Indonesia Raya (Parindra) dan organisasi-organisasi yang berafiliasi gerakan-gerakan nasional dari Jawa dan Sumatra Barat seperti Muhammadiyah, Parindra dan PKI.

Setelah proklamasi dikumandangkan di Jakarta, lambat laun peran Republik menjadi semakin nyata di Aceh dan Sumatra Timur. Meski prosesnya penuh liku, namun akhirnya orang-orang Republik ini memiliki posisi politik yang semakin kuat.

 Jaman Jepang dan awal kemerdekaan

Jepang mulai memberi pengaruh melalui gerakan “F-kikan” (organisasi “F”) sebelum datang ke Aceh dan Sumatra Timur. Fujiwara menjanjikan niat baik kepada para pemuda untuk melawan Belanda (hal. 150). Setelah masuk ke Aceh dan Sumatra Timur, Jepang memiliki rencana memisahkan Sumatra Timur dari Republik dan menjadikannya sebagai wilayah persemakmuran. Rencana Jepang ini adalah karena melihat Sumatra Timur memiliki kekayaan yang luar biasa, terutama minyak dan karet. Upaya ini membuat hubungan antara Sumatra Timur dengan pergerakan nasional di Jawa saat jaman Jepang menjadi agak tersendat. Namun saat Jepang kalah, para tokoh pergerakan mulai menjalin hubungan kembali dengan Jakarta.

Alih-alih memenuhi janjinya kepada pemuda, Jepang mulai membawa kembali raja-raja untuk berkuasa. Hal ini menimbulkan ketidak-senangan PUSA di Aceh (hal. 163) dan para pemuda di Sumatra Timur.

Salah satu sumbangan Jepang dalam terjadinya revolusi sosial di Sumatra Timur adalah pelatihan militer yang dilakukan kepada para pemuda. Para pemuda yang awalnya dipersiapkan untuk tujuan menjadikan Sumatra Timur sebagai wilayah Jepang ini pada akhirnya menjadi kelompok bersenjata yang kurang terorganisir. Berbeda dengan Aceh yang memiliki PUSA yang sangat ditaai oleh rakyat, kelompok-kelompok pemuda bersenjata di Sumatra Timur tidak menyatu. Itulah sebabnya aksi-aksi premanisme oleh kelompok-kelompok pemuda bersenjata terjadi di banyak tempat, khususnya di Medan dan Pematangsiantar. 

Kembalinya Belanda ke Hindia Belanda

Tokoh-tokoh Sumatra Timur takut dengan kembalinya kolonialisme Belanda sehingga ragu-ragu mendukung kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamirkan (hal. 264). Bahkan Sultan Deli mengirim surat kepada Ratu Belanda untuk menyatakan kesetiaannya (hal. 272). Di Aceh tidak berbeda. Ketika mendengar bahwa tentara Chiang Kai Shek akan masuk Indonesia, para ulebalang bersemangat untuk mendukung Belanda (hal. 312). T.M Daud Cumbok, ulee balang dari Pidie mengirim utusan kepada pejabat Belanda (hal. 325).

Para elite yang lebih mendukung Belanda daripada mendukung NKRI ini menyebabkan para pemuda marah dan akhirnya terjadi revolusi sosial yang memakan korban dari para ulee balang (di Aceh) dan para sultan (di Sumatra Timur) dan keluarganya. Sebenarnya para tokoh Republik berupaya untuk memposisikan para sultan sebagai bagian dari pemerintahan Republik. Namun karena prosesnya lambat dan para pemuda bersenjata tidak yakin akan kesetiaan para sultan kepada Republik, maka pada tanggal 3 Maret 1946 terjadilah pembantaian keluarga sultan-sultan dan para raja-raja di banyak wilayah di Sumatra Timur yang dianggap pro-Belanda (hal. 373). Banyak korban akibat dari gerakan Revolusi Sosial ini. Diantaranya adalah Tengku Amir Hamzah, sang penyair yang ikut terbunuh pada tanggal 19-20 Maret oleh Pesindo (hal. 385).

Revolusi sosial yang sangat masif ini menyebabkan struktur sosial di Sumatra Timur berubah. Hubungan antara rakyat dengan elite berubah sama sekali. Rakyat tidak lagi percaya kepada para sultan.

Kesimpulan

Perubahan sosial di Sumatra Timur dari masyarakat yang tunduk dan taat kepada para elite menjadi masyarakat yang tidak lagi menghargai para elite adalah akibat dari proses yang panjang. Kapitalisme Belanda yang memanfaatkan para elite untuk mengeksploitasi sumber alam yang ada di Sumatra Timur menjadi penyebab utama perubahan sosial tersebut. Kekuatan internal rakyat dalam bentuk agama (Islam) di Aceh dan kekuatan pemuda di Sumatra Timur adalah sebuah kekuatan yang awalnya kurang dipertimbangkan, namun ternyata menjadi penggerak perubahan sosial yang kuat. Pengaruh Jepang ada pada idenya untuk menjadikan wilayah ini sebagai bagian dari negara Jepang dan pelatihan militer kepada para pemuda. Sedangkan pengaruh Republik tidak terlalu kuat di Aceh, sementara di Sumatra Timur pengaruhnya bervariasi. Para tokoh Republik pada umumnya konservatif dan berupaya mengakomodasi kepentingan elite, sementara semangat kemerdekaan memicu sikap radikal para pemuda.

Berbeda dengan yang terjadi di Malaya, dimana sultan-sultan yang mengkhianati rakyatnya bisa disingkirkan secara politik (hal. 417), di Sumatra Timur rakyat mengalami keterputusan yang lebih tajam dari masa lalunya (hal. 419). Akibatnya dinasti-dinasti tua dengan hak-hak istimewanya diruntuhkan, sifat-sifat khas kedaerahan disingkirkan, kesetiaan dan kepatuhan lama dihancurkan (hal. 419).

Sumber: https://indonesiana.tempo.co/read/107697/2017/02/09/handokowidagdo

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *