Rempah-Rempah Mengubah Peta Sejarah Dunia

Oleh: Yudhie Haryono, Ph.D (Direktur Eksekutif Nusantara Centre)


Masa Kejayaan Rempah

Dalam sejarah kolonialisme, kita disajikan penjelasan bahwa salah satu motif kolonial datang ke Nusantara adalah berburu rempah-rempah. Cita rasa yang melayarkan ribuan kapal. Maka dari itu, sungguh tak dapat disangkal jika perubahan sejarah dunia di mulai dari Nusantara. Buku karya Jack Turner ini membuktikannya. Sebab musababnya adalah rempah-rempah. Ia mengisahkan sejarah panjang rempah-rempah dari segi geopolitik, filosofis, dan teologis.

Selain mengupas sejarah perdagangan rempah yang menjadi salah satu faktor penting di balik gelombang imperialisme, ia juga menelaah sisi lain yang menarik dan jarang disorot dari rempah: pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh penting dalam sejarah, kegunaannya dalam berbagai bangsa dan periode, serta mitosnya dengan erotisme percintaan dan alam surgawi.

Ia menapaki sejarah panjang tentang rempah. Ia mengurai rentetan kesalahpahaman ikhwal rempah-rempah yang terjadi di masa lalu dan menceritakan berbagai peristiwa secara dramatik terkait dengan pencarian dan konsumsi rempah-rempah. Narasi itu ia ceritakan, betapa rempah-rempah memengaruhi selera para penguasa dan tokoh sentral dalam sejarah peradaban. Dari Ramses, Yesus, Avisena, Vasco da Gama hingga grup Spice Girl. Pada sisi ini, ia menceritakan rempah-rempah yang berkaitan dengan erotisme; percintaan dan libido seksual.

Rempah dan Erotisme

Ternyata, baik di zaman kuno maupun pada abad pertengahan rempah-rempah dan erotisme tak dapat dipisahkan. Rempah-rempah itu seksi. Itu merupakan pernyataan yang tak satu pun orang ragukan pada saat itu.

Bahkan, kalangan struktural menganjurkan juga mengonsumsi rempah sebagai perangsang vitalitas seksualitas. Berasal dari kalangan gereja atau orang suci, mulai dari Paus hingga biarawan. Skandal-skandal seks yang melibatkan keluarga kaisar atau raja juga selalu terkait dengan rempah. Tak terkecuali juga di dunia Islam. Karya-karya para ilmuwan-filsuf Islam menyangkut seksualitas itu kita ketahui pada penggunaan rempah secara fungsional dan berorientasi pada kesuburan. Namun demikian, substansinya adalah sama: untuk meningkatkan gairah seksual.

Selain berkaitan dengan perangsang gairah seks, rupanya sejarah rempah juga berjalin erat dengan kepercayaan agama-agama kuno bahwa dewa-dewa mencintai aroma wangi, sebagaimana terlihat dalam ritual-ritual mereka. Rempah-rempah dibakar dengan dupa, diusap ke sekujur patung-patung dewa, dan disimpan di sekeliling rumah atau kuil. Festival-festival atau pertandingan-pertandingan besar selalu mengikutsertakan rempah di dalamnya. Orang-orang meminyaki diri mereka dengan kayu manis, narwastu, dan kuma-kuma ketika hendak bertanding. Ini berlaku baik di negeri timur, Arab, Yunani, atau bahkan Romawi. Rempah-rempah dianggap memiliki unsur surgawi.

Namun kemudian praktik tersebut perlahan-lahan pudar saat agama monoteisme lahir—Yahudi, Kristen, dan Islam. Dewa atau Tuhan terdahulu yang digambarkan mencintai wewangian dan diberikan sesajian, misalnya Tuhan masa Kejadian yang cenderung digambarkan berwujud fisik yang datang dan pergi ke taman, kini telah berevolusi. Tuhan kini tersembunyi dalam alam metafisik. Walaupun, pada orang yang meyakininya Tuhan di semua  agama mencintai keindahan dan kesucian.

Pudarnya Rempah sebagai Sentra “Life Style”

Lalu apa yang menyebabkan popularitas rempah perlahan mulai memudar? a) Kebangkrutan VOC; b) Berkurangnya keuntungan perdagangan rempah; dan c) Konstruksi sosial. Setelah beranjak dari klimaksnya cita rasa makanan, maka perkembangan dan pertumbuhan kebudayaan manusia beralih ke dalam kebutuhan relasi sosial lainnya selain dari perjamuan.

Dari perhiasan, musik, pakaian, rumah, dan perangkat transportasi darat (kereta kuda). Dari situlah, sentra gaya hidup perlahan bergeser dan terbagi-bagi. Namun demikian, hal itu tidak membuat positioning perjamuan menjadi menurun. Sebab, semua tak dapat dipisahkan dari eksklusivisme kelas sosial. Termasuk momen perjamuan (yang tak lepas dari komposisi rempah) menjadi sarana penting selain berpakaian dan menunggangi transportasi mewah. Kebangkrutan atau runtuhnya VOC serta berkurangnya keuntungan dalam trade rempah-rempah turut serta mendorong pasokan ke Eropa menjadi berkurang.

Rempah-rempah: Dulu, Kini dan Masa yang akan Datang

Gambar-gambar dan ilustrasi masa lalu menjadi penting karena mengandung berbagai jawaban dalam mengungkap kegiatan-kegiatan transaksional di jalur rempah. Mengulangi kejayaan rempah pada masa lampau, rempah harus dibangkitkan kembali sebagai komoditas unggul.

Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, potensi ekspor rempah seperti tanaman obat, aromatik, dan rempah adalah US$ 504,93 juta. Ini adalah angka yang tak menutup kemungkinan untuk diakumulasikan secara besar-besaran. Tentu saja, proteksionisme perlu diterapkan untuk mengembalikan rempah-rempah menjadi “weapons trade” di kancah internasional.

Jika dulu eksistensi rempah-rempah masuk struktur oligopoli & monopoli perdagangan Eropa, maka kini saatnya rempah dibangkitkan kembali menjadi purwarupa perdagangan Indonesia kini dan masa-masa yang akan datang.

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *