Profesor Australia Tulis Buku Soal Angkot dan Bus Minangkabau

New South Wales – Profesor Madya di Universitas New South Wales di Sydney David Reeve hari Kamis (9/11/2017) meluncurkan buku terbaru berjudul Angkot dan Bus Minangkabau: Budaya Pop dan Nilai-nilai Budaya Pop.

Buku setebal 360 halaman itu diterbitkan dalam dua bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, yang diterjemahkan oleh Iskandar P Nugraha.

Ini adalah buku pertama yang membahas keunikan dari angkot dan bus yang beroperasi di Minangkabau, dari sisi gambar, tulisan dan juga musik yang digunakan oleh berbagai angkot tersebut ketika beroperasi guna mencari penumpang.

Buku ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu di Jakarta dan secara resmi diterbitkan bulan Maret lalu dan sudah pernah dibedah belasan kali di Indonesia, namun versi lengkap dalam dua bahasa baru diluncurkan di Sydney kemarin.

Dalam percakapan dalam bahasa Indonesia yang fasih lewat telepon dengan wartawan ABC Sastra Wijaya, Prof David Reeve mengatakan bahwa angkot dan bus di Minangkabau merupakan fenomena unik yang dilihatnya, walau pemasangan gambar dan musik di angkot juga ada di kota-kota lain di Indonesia.

“Memang ada tradisi memasang gambar dan tulisan pada bus, becak, angkot di beberapa daerah di Indonesia, tetapi saya kira puncaknya ada di Padang, untuk angkot dan bus.”

“Moda transportasi ini penuh dengan gambar, simbol dan istilah, dan bahasa. Ada angkot yang mungkin berisi 20 istilah dan banyak sekali simbol di dalam angkot tersebut. Ini merupakan hal yang sangat menarik,” kata Prof Reeve yang sudah selama 40 tahun berkecimpung dalam pengajaran dan penelitian mengenai Indonesia.

Menurutnya, dia melihat fenomena angkot di Padang ini sejak dia pertama kali mengunjungi kota tersebut di tahun 2007 ketika menghadiri pernikahan sebuah keluarga campuran Padang-Australia, dan sejak itu selama 10 tahun, dia tertarik untuk mendokumentasikan gambar-gambar di angkot tersebut.

Lalu apa yang ingin dicapainya dengan penerbitan buku tersebut?

“Saya memulai usaha dengan mengoleksi gambar karena sangat menarik, budaya pop yang dinamis, kreatif, asyik, jenaka.”

“Tetapi setelah saya terlibat dalam penelitian saya sadar bahwa budaya pop itu terancam punah. Jadi ada tujuan untuk merekamnya sebelum punah.” kata Prof Reeve.

Dia juga mengharapkan dengan adanya dokumentasi dalam buku yang berisi 350 gambar angkot dan bus tersebut, David Reeve berharap Pemerintah Sumatera Barat dan Pemkot Padang memberikan perhatian terhadap angkot dan seni yang ada di dalamnya.

Menurutnya pemerintah daerah setempat memang tidak menyukai fenomena angkot yang digambari dengan berbagai tulisan dan juga memainkan musik-musik yang keras, sehingga seringkali ada razia terhadap angkutan umum tersebut untuk membuat angkot menjadi bersih, hal yang dikenal dengan istilah gundul.

Sayang kalau punah

Prof David Reeve melihat usaha menertibkan angkot yang ada di berbagai kota di Indonesia sebagai tindakan yang ‘aneh’.

“Kita lihat misalnya tindakan Bu Risma di Surabaya, begitu pula yang di Bandung, ada usaha membuat angkot menjadi lebih bersih, lebih rapi.”

“Saya takut atas nama kebersihan, angkot-angkot yang unik itu akan hilang.” katanya lagi.

Menurut Prof David Reeve dari Universitas New South Wales tersebut, tulisan atau gambar-gambar yang ada di angkot dan bus di berbagai kota di Indonesia ini harus dilihat sebagai kearifan lokal yang selayaknya dipelihara.

“Orang di Indonesia sering berbicara mengenai kearifan lokal, tentang bagaimana kearifan lokal harus dihargai. Saya memang orang asing dan tidak bermaksud menggurui tetapi sayang kalau kearifan lokal ini bakal punah.”

Menurutnya angkot sudah lama menjadi bagian dari kehdupan perkotaan di Indonesia dan munculnya tulisan dan gambar serta musik di angkot tersebut sudah berlangsung selama 30 tahun terakhir.

“Ketika puncaknya tiga tahun lalu, di Padang ada sekitar 2 ribu angkot, yang melintas tiap 7-10 detik, bukan 7-10 menit.”

“Mereka adalah bagian integral dari pemandangan Kota Padang. Pengunjung dari luar Padang selalu kagum dan menyukai mereka.” tambahnya lagi.

David Reeve menyadari bahwa angkot memang terancam menghilang dari kota seperti Padang, karena adanya persaingan kepemilikan sepeda motor, transportasi massal seperti Trans Padang, online dan juga kebijakan pemerintah.

“Yang saya harapkan pemerintah setempat melihat angkot ini sebagai aset. Pemda kan ingin sekali ada lebih banyak turis datang ke sana. Ini sebuah aset untuk dihargai.”

“Memang perlu ditertibkan, sehingga pengemudinya tidak ugal-ugalan tetapi jangan sampai hilang.”

Buku pertama mengenai angkot

Buku mengenai angkot di Indonesia ini merupakan buku pertama yang diterbitkan membahas mengenai hal tersebut.

“Ya ini buku pertama. Ada buku mengenai truk Indonesia yang ditulis oleh seorang penulis asal Jerman yang tinggal di Singapura berjudul In Hindsight. Bukunya bagus sekali, foto-fotonya bagus sekali.”

“Untuk orang dari luar yang melihat ini sebagai sesuatu yang menarik, sementara bagi orang di Padang atau di tempat lain ini dilihat sebagia sesuatu yang sudah biasa.” tambahnya lagi.

Dari hasil pustaka yang pernah dilihat Prof David Reeve, dia menemukan adanya beberapa publikasi skripsi yang dibuat oleh mahasiswa berkenaan dengan angkot.

“Namun kebanyakan laporan wartawan mengenai angkot biasanya menceritakan hal-hal negatif seperti tindakan ugal-ugalan, sopir berkelahi atau tindakan ngebut.”

Selain dari sisi kekayaan budaya, Prof David Reeve mengatakan bahwa femomena gambar, tulisan dan musik di angkot ini juga bernilai ekonomi dan bagi sopir digunakan untuk menarik penumpang.

“Nilai ekonomisnya besar. Kalau ada angkot yang dekorasinya super maka hasil tarikan mereka satu hari bisa dua kali lebih banyak dibandingkan yang lain.”

“Ini cara sopir untuk beriklan dan mendapatkan penumpang setia. Kadang ada penumpang yang memiliki nomor telepon sopir dan hanya naik mobil yang mereka sukai saja.” katanya.

Sumber: https://news.detik.com/australia-plus-abc/d-3721802/profesor-australia-tulis-buku-soal-angkot-dan-bus-minangkabau

Budaya Pop di Angkot Minangkabau

Nabilla Tashandra

Jurnalis kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com – Angkutan Kota atau angkot selama ini kerap dipandang sebagai moda transportasi biasa. Tak ada yang spesial dari transportasi umum yang memuat sekitar 15 orang penumpang ini.

Siapa sangka, ternyata angkot bisa menjadi salah satu simbol kreativitas, penentu kesuksesan, magnet ekonomi, hingga simbolisasi status sosial.

Setidaknya bagi David Revee, seorang sejarawan sekaligus akademisi di bidang bahasa yang juga menulis buku bertajuk Angkot dan Bus Minangkabau, Budaya Pop dan Nilai-Nilai Budaya Pop.

Ribuan angkot dan bus di kawasan Padang dan sekitarnya begitu menarik perhatian David. Transportasi-transportasi tersebut dinilai sarat kosakata yang dramatis.

Ia amat terkesan dengan angkot dan bus di Minangkabau yang kerap dipenuhi kreasi simbol, warna dan kata-kata. Tak ketinggalan, dashboard angkot juga kerap dihiasi boneka-boneka yang dilengkapi lampu hias. Membuat kendaraan tersebut menjadi amat meriah.

“Kelihatannya orang Minang sangat suka dengan dolls (boneka). Sampai enggak bisa lihat jalan. Sering disebut diskotek berjalan,” tutur David dalam acara diskusi bukunya di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (24/3/2017).

David kemudian mengamati angkot-angkot dan bus-bus tersebut, kemudian mulai mencatat satu persatu tulisan yang ada di tubuh kendaraan tersebut serta mengambil gambar dari kendaraan-kendaraan yang menurutnya menarik untuk diteliti.

Ia mencatat setidaknya ada 780 macam “bahasa” angkot dan bus Minangkabau. 58 persennya menggunakan Bahasa Inggris, 31 persennya menggunakan Bahasa Indonesia, dan hanya 12 persen yang menggunakan Bahasa Minang.

Adapun dari 31 persen bahasa angkot yang menggunakan Bahasa Indonesia, mayoritasnya merupakan bahasa gaul.

Sementara untuk tema kreasi, David mencatat tema balap atau racing adalah yang paling banyak ditemukan. Angkot-angkot kerap dimodifikasi bak mobil balap, dengan dekorasi garis-garis di badan mobil serta dijadikan ceper.

Selain tema racing, tema transportasi udara dan laut, luar angkasa, budaya pop internasional atau figur internasional, serta figur kartun juga menjadi tema-tema yang paling banyak dijumpai pada dekorasi angkot Minangkabau.

“Budaya pop yang ada di angkot dan bus di Minangkabau dinamis, lucu, kreatif,” kata David.

Membawa gengsi hingga strata sosial

Tak sekadar menjadi simbol atau “kanvas” kreasi semata, angkot-angkot dan bus-bus di Minangkabau juga membawa nilai ekonomi, gengsi hingga status sosial. David menuturkan, angkot gaul yang betul-betul bagus kerap mendapatkan keuntungan dua kali lebih besar dari angkot biasa.

“Ini semacam mengandalkan seni untuk tujuan mendapatkan duit,” kata David.

Angkot yang supergaul, kata dia, bahkan memiliki penggemar sendiri. Sopirnya juga dituntut untuk gaul. Para penggemar itu dengan semangat srring berkeliling dengan sopir dan angkot favoritnya, kadang tak turun-turun.

Sebagian dari merek juga menyimpan nomor si sopir untuk kemudian dihubungi saat mereka mau naik dan berkeliling. Mereka rela menunggu demi menumpangi angkot favoritnya. Mayoritas penggemar tersebut adalah anak muda.

Karena itu, angkot dengan rute yang melewati sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, menurut David, juga merupakan angkot-angkot yang paling meriah kreasinya.

“Jadi harus laku. Harus disenangi oleh masyarakat muda. Itulah saya berani bilang bahwa nilai-nilai dekotasi harus tak hanya disenangi sopir tapi juga masyarakat,” tutur David.

“Kalau ada yang tidak sukses, turun pendapatannya,” sambung dia.

Mulai punah

David amat menyayangkan, kreativitas yang dituangkan pada angkot dan bus di Minagkabau tersebut nampak tak begitu dianggap oleh masyarakat Minang sendiri. Bahkan kerap dianggap jelek dan mau ditertibkan.

David menuturkan, pertama kali ia ke sana, jumlah angkot mencapai sekitar 2.200 unit dan sekarang berkurang menjadi sekitar 2.000 unit Dua faktor yang menyebabkan angkot kian punah di tanah Minang, yakni karena adanya Transpadang dan kredit murah sepeda motor.

“Banyak yang naik angkot beralih ke kendaraan pribadi. Jadi saya kira angkot terancam,” tuturnya.

Ia mencontohkan di negara lain, yaitu di Manilla, Filipina, angkutan kota justru dihargai dan dijadikan bagian dari atraksi Kota Manilla serta aset turisme.

Sempat mengunjungi sejumlah museum di Indonesia, David juga menyayangkan angkot-angkot dan bus-bus padang yang sarat simbol budaya pop justru tak dipajang.

“Saya ke bagian Sumatera Barat di Taman Mini, ada angkot? Tidak ada. Ada bus Minang? Tidak ada. Sayang sekali. Saya ke banyak tempat dan tidak menemukan apa-apa,” tuturnya.

Sementara itu, di kesempatan yang sama, Sastrawan Seno Gumira Ajidarma menilai fenomena angkot dan bus Minangkabau memiliki nilai seni dan kebudayaan yang tinggi.

Tak berbeda dari para penyair yang membuat syair atau para lukis yang melahirkan lukisan. Sebab, kreasi-kreasi tersebut juga lahir dari ide di kepala seseorang yang kemudian ditumpahkan pada sebuah benda, dalam hal ini kendaraan.

Menurut dia, perlu ada perubahan cara pandang terhadap kebudayaan, bahwa kebudayaan tak mesti adiluhung namun juga seperti karya-karya seni pada tubuh angkot dan bus itu. Bahkan, lukisan-lukisan pada angkot dan bus di Minangkabau terbukti dapat membuat kendaraan tersebut lebih hidup.

“Sama saja. Ini sahih, legitimate. Bukan anak haram, adalah sebuah kebudayaan. Hanya saja mereka sebagai golongan, entah karena muda, entah karena kelas, dia tidak punya bahasa untuk bikin kolom, esai politik,” tutur Seno.

Sumber: https://regional.kompas.com/read/2017/03/25/08104161/budaya.pop.di.angkot.minangkabau.