Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer
Pram: “Penantang Abadi”

Bandung Marwadi
Pendiri Kabut Institut


Buku Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir menjadi pengulangan dari pembicaraan mengenai biografi dan teks-teks sastra Pramoedya Ananta Toer. August Hans den Boef dan Kees Snoek menjadi juru bicara Pram dalam suatu pesona biografi kesusastraan dan politik. Pesona itu justru membuat buku ini kurang memberikan sesuatu yang lain (greget) untuk pembaca.

August Hans den Boef mengungkapkan kisah di balik publikasi esainya dengan dramatis: “Ketika saya mendengar dari Kees Snoek bahwa Pramoedya meninggal dunia, maka saya pun sibuk mencari sigaret kretek di Amsterdam, tetapi baru di Den Hag saya menemukannya. Sambil menikmati sigaret kretek itu, saya mulai mengaktualkan esai yang versi aslinya saya tulis tahun 1992”. Kisah itu hendak memberi penguatan bahwa esai yang ditulis August Hans den Boef memiliki nilai lain karena peristiwa kematian Pram dan peniruan laku merokok sigaret kretek seperti kebiasaan Pram untuk mencari dan menemukan efek tertentu.

Pengalaman unik muncul dari laku August Hans den Boef yang mengaku merasakan kesenangan ketika membaca kembali novel dan cerpen Pramoedya. Kesenangan itu menular dalam esainya yang membahas sekian buku Pramoedya dengan suatu kesadaran bahwa “saya bukan pembaca Indonesia”. Kesadaran itu mengesankan bahwa pembacaannya berbeda dengan pembacaan yang dilakukan oleh orang Indonesia, Amerika, Australia, Jerman, atau Perancis. Perbedaan itu karena faktor bahasa, kultural, politik, ideologi, atau sistem sastra.

August Hans den Boef percaya bahwa dalam membaca dan menilai buku-buku Pram tentu melibatkan kecenderungan dua faktor: politik dan teknik sastra. Kecenderungan itu ingin dikritisi dalam batas tertentu dengan pembuktian sebuah esai panjang yang masih menunjukkan pembacaan dalam kecenderungan politik dan teknik sastra. Esai August den Boef menghadirkan biografi Pram dalam politik dan sastra secara kronologis. Pembicaraan itu dikuatkan dengan penilaian terhadap buku-buku Pram yang erat mengungkapkan biografi Pram dan biografi Indonesia. Pembabakan biografi dan tulisan-tulisan Pram dalam esai itu kentara hendak mengesankan suatu pembacaan komprehensif dengan deskrispi dan analisis mumpuni.

Penempatan esai August Hans den Boef berjudul “Penulis Kronik Rakyat Kecil – Tentang Karya Pramoedya Ananta Toer” pada bagian pertama memang layak. Namun konsekuensinya terjadi pengulangan pada bagian kedua dalam tulisan Kees Snoek mengenai wawancara dengan Pram berjudul “Satu-satunya Harapan Saya adalah Ingin Menyaksikan Akhir Semua ini”. Tulisan Kees Snoek pun kentara mengandung pesona terhadap biografi politik dan sastra Pramoedya. Pertanyaan-pertanyaan untuk Pram memakai teknik yang hati-hati dengan pertimbangan menghindari sensitivitas dan sikap reaksioner terhadap tema-tema biografi dan politik. Teknik itu justru mengurangi eksplorasi atas kemungkinan menemukan informasi baru atau perubahan pemikiran Pram atas hal-hal tertentu. Hal itu membuat hasil wawancara Kees Snoek mirip dengan publikasi wawancara-wawancara yang dilakukan orang lain. Barangkali hal itu terjadi karena keterlambatan penerbitan dalam edisi bahasa Indonesia. Penerbitan buku ini dalam edisi Belanda pada tahun 1990.

Kisah di balik penulisan dan publikasi wawancara dari Kees Snoek pun mirip dengan kisah August Hans den Boef. Kees Snoek mengaku: “Sekarang Pramoedya telah tiada, waktunya sudah tepat untuk publikasi baru dari wawancara tersebut.” Pengakuan itu mengesankan suatu kepentingan momentum suatu publikasi tulisan untuk menemukan kesesuaian atau efek tertentu. Pengakuan Kees Snoek yang lain: “Beberapa bagian wawancara yang pada terbitan pertama, dalam bahasa Belanda, dihilangkan sepertinya sekarang telah ‘memenangkan kepentingannya’ sehingga akhirnya bagian-bagian tersebut masih diperlihatkan kepada pembaca”. Pengakuan itu kurang menjadi kejutan lagi karena pada tahun-tahun lalu telah terbit sekian buku dan publikasi esai dengan motif yang mirip.

J.J. Rizal (2008) menulis bahwa Pram adalah pengarang yang “terbakar pesona revolusi”. Hal itu berlaku pada August Hans den Boef dan Kees Snoek yang menulis dengan tendensi “terbakar pesona Pram”. Pesona itu dikuatkan dengan pengakuan dua penulis dalam kata pengantar bahwa Pram adalah “wajah berbeda dari Indonesia”. Pesona itu justru membuat tulisan August Hans den Boef dan Kees Snoek kurang mengandung greget. Pesona itu lumrah karena kebesaran tokoh Pram dan perspektif orang Belanda terhadap seorang Indonesia yang memiliki biografi kontroversial dalam sastra dan politik. Biografi kontroversial itu mungkin menjadi alasan penting untuk pesona dan kelahiran suatu tulisan dari pembaca-pembaca Belanda.

Tulisan August Hans den Boef dan Kees Snoek menjadi juru bicara ampuh untuk pengisahan bahwa selama ini Pram adalah korban dari kepentingan kekuasaan Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru. Posisi sebagai korban itu adalah pembenaran untuk perlawanan dan bantahan dengan perspektif Pram dalam pelbagai kasus dan peristiwa masa lalu. Perspektif Pram itu justru membuat kontroversi terus bersambung dan meminta perhatian untuk percaya dan memihak perspektif dari Pram atau orang lain.
Pram dalam buku ini adalah sosok yang dimenangkan dengan pencapaian tertentu untuk sastra di dunia internasional dan revisi terhadap biografi politik. Kemenangan Pram dari kekalahan-kekalahan tentu memberi konklusi atas optimisme dan pembuktian kebenaran atau keadilan dalam konteks sejarah kekuasaan dan kesusastraan. Perkara kemenangan itu berbeda dengan pandangan Ignas Kleden (1999) mengenai biografi Pram dan tokoh-tokoh dalam teks sastra Pram: “Tokoh-tokoh Pramoedya memang kalah dilanda sejarahnya, tapi sekaligus juga sanggup mengalahkan kekalahannya sendiri dengan mengatasi baik ketakutan maupun kesombongan untuk tidak menang.” Penilaian dari Ignas Kelden itu sopan ketimbang perspektif August Hans den Boef dan Kees Snoek.

Kehadiran buku Saya ingin Lihat Semua Ini Berakhir memberi kontribusi untuk kepustakaan mengenai Pram. Buku ini mengandung harapan untuk bisa memberikan perspektif yang tendensius terhadap Pram tapi kurang kritis dan argumentatif. Harapan dari penulis dalam buku ini padahal mirip dengan pengakuan Pram: “Saya berharap bahwa pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani”.

Membaca Pramoedya Ananta Toer adalah membaca pokok dan tokoh yang tak sepi dari kontroversi dan polemik. Goenawan Mohamad (2005) bahkan menyebut Pram sebaga “penantang abadi”. Pramoedya Ananta Toer adalah simbol perbenturan dan pertautan antara ide dan kekuasaan. Selamat membaca dan menilai dengan sekian perspektif dan kritik. Begitu.

Sumber: Lampung Post (24 Agustus 2008)

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *