Potret Jagoan dari Pinggir Jakarta

Stefanus Yugo Hindarto

Jurnalis okezone.com


Aksi penangkapan John Kei di Hotel  C’One, Pulomas, Jakarta Timur 17 Februari 2012 menjadi perhatian warga Jakarta. Tokoh pemuda asal pulau Kei itu diduga terlibat dalam pembunuhan bos PT Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono. Belum usai kisruh penangkapan John Kei, warga Jakarta kembali dikejutkan dengan penyerangan sekelompok orang di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD).

Belakangan diketahui motif penyerangan dilatarbelakangi hutang piutang narkoba. Dua perisitiwa itu menunjukkan bahwa dunia kekerasan di Ibu Kota Jakarta memang nyata, bahkan tak jarang kekerasan itu melibatkan kelompok-kelompok penguasa bawah tanah, atau dengan kata lain lebih dikenal dengan sebutan Jagoan.

Istilah Jagoan di Ibu Kota Jakarta bukanlah barang baru. Peran Jagoan dalam sejarah Jakarta banyak dipotret oleh sejarawan Indonesia. Sejarawan Ong Hok Ham (Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, 2002) menyebutkan, jagoan atau jago adalah orang kuat setempat baik secara fisik maupun spiritual dan dikenal kebal. Seorang jagoan dapat menghimpun pengikut, dan kekuatannya bergantung pada jumlah anak buah. Pada masa prakolonial, organisasi jago merupakan satu-satunya alat para penguasa.

Di Ibu Kota, fenomena jago, menurut sejarawan Robert Cribb (Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949) jago dan “dunia hitam” semakin mendapat tempat saat pendudukan Jepang 1942. Dunia hitam di Jakarta mendapatkan kesempatan baru dengan adanya perubahan politik yang besar. Pasca menyerahnya Belanda tanpa syarat dan masuknya Jepang, ketertiban di sebagian wilayah perkampungan Jakarta menjadi kacau balau.

Gerombolan-gerombolan, yang notabene anak buah para jago mendapat celah untuk melakukan penjarahan. Kelompok-kelompok ini yakin aparat  keamanan lebih mementingkan kondisi keamanan negara dan sibuk mengurus urusan politik ketimbang menghentikan aksi gerombolan dan menangkap mereka.

Periode 1942 hingga 1945, saat pendudukan Jepang banyak diwarnai dengan gejolak ketertiban. Kriminalitas dan Patriotisme bercampur baur. Peranan jago kembali muncul saat pendudukan Jepang berakhir di tahun 1945. Seperti kata Ong Hok Ham, gejala Jago erat kaitannya dengan tidak adanya negara sentral (pusat), maka peranan jago kembali mendapat kesempatan di masa kemerdekaan.

Rakyat yang dendam dengan Jepang digerakan oleh para jago untuk  melakukan penjarahan dan balas dendam. Mereka balas dendam atas perlakuan Jepang kepada mereka. Kewajiban kerja paksa dan penyitaan hasil panen membuat rakyat melampiaskan amarahnya. Sasarannya orang-orang keturunan dan para pegawai pegadaian yang korup.

Namun, sejumlah  Jagoan  di wilayah pinggiran Ibu Kota pun memanfaatkan kondisi ketertiban yang karut marut itu, untuk melakukan suatu rencana jangka panjang. Banyak jagoan yang kemudian mengklaim sebagai penguasa lokal. Sebut saja, Bubar, seorang bandit musiman yang  menyatakan diri sebagai bupati dan menduduki kantor Kabupaten di tengah kota.  Nama-nama seperti Bubar itu hanyalah nama samaran yang sengaja mereka ganti, tujuannya agar nama mereka lebih berbau revolusioner. Tak hanya Bubar, nama-nama lain yang terkenal ialah, Ribut, Belah atau Gembel.

Jagoan lain yang berjaya, di masa itu ialah, Haji Masum di Cilincing, dan Haji Eman di Telukpucung yang mengambil alih kantor perkebunan swasta. Selain mengambilalih sejumlah perkebunan, jago-jago  di pinggir Jakarta, juga membentuk kelompok besar, seperti Barisan Rakyat Indonesia yang dibentuk Haji Darip. Pria kelahiran 1900 itu memiliki massa yang banyak di sekitar Klender hingga Pulogadung. Haji Darip yang mengeyam pendidikan di Arab Saudi sejak berusia 11 tahun itu bermukim di Klender dan bekerja sebagai perusahaan kereta api. Lambat laun dia pun dikenal sebagai pedagang dan juragan  yang terkenal. Nama Haji Darip disegani karena dia memiliki kekuatan yang bisa diberikan kepada para pengikutnya.  Dia menarik sejumlah penjahat jalanan dan memberikan mereka jimat kekebalan.

Haji Darip dan pengikutnya di Barisan Rakyat Indonesia  kemudian menguasai Pulogadung, Bekasi dan Jatinegara. Dia juga memberlakukan pengawasan ketat atas lalu lintas di jalan utama yang dia kuasai. Orang-orang kulit berwarna harus membayar uang setara dua gulden untuk melintasi wilayah yang dikuasasi Barisan Rakyat Indonesia. Tak hanya itu, selain membayar, orang-orang kulit berwarna itu juga harus memekikkan kata “Merdeka” bila ingin lewat jalan utama tersebut.

Jual Jimat

Lain Haji Darip, lain pula dengan jagoan yang satu ini. Pak Macan, demikian sebutannya. Dia dikenal sebagai penguasa wilayah Cibarusa. Wilayah perdikannya, dijadikan sebagai lumbung utama mendapatkan penghasilan. Bersama kelompoknya dia kerap menjarah dan melakukan teror terhadap warga. Salah satu cerita yang menarik dari Pak Macan ialah caranya menjual jimat kepada anak buahnya. Bila ingin kebal, setiap orang harus menyerahkan uang sekira  11,11 gulden kepadanya.

Di wilayah Tangerang, di masa periode 1945 tercatat nama Haji Akhmad Kaherun. November 1945 di Curug Tangerang, Akhmad Khaerun mengklaim sebagai bapak Rakyat. Dia menggerakan pemberontakan rakyat, seluruh pejabat pemerintah dia bantai. Pengikutnya yang bersenjata disebut laskar ubel-ubel.

Kehadiran jagoan dalam dunia kriminalitas di pinggiran Ibu Kota ini dinilai telah banyak memainkan peran bagi kemerdekaan Republik Indonesia.  Di luar aksi kriminalitas yang dilakukan, mereka memiliki nasionalisme yang tinggi, mereka menyadari bahwa nasib mereka tergantung pada Republik. Musuh mereka hanyalah orang-orang yang nasionalismenya diragukan. Siapa pun yang melintas wilayah mereka dan tak meneriakKan kata merdeka maka mereka anggap musuh yang layak dibinasakan.

Sumber: https://news.okezone.com/read/2012/03/05/502/587317/potret-jagoan-dari-pinggir-jakarta

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *