Para pengusaha lokal menjadi dasar bagi pergerakan nasionalis anti- Belanda yang pertama dan utama, Sarekat Islam (SI), yang didirikan pada 1912. Organisasi ini diawali dari perhimpuan para saudagar batik yang dibentuk untuk mencoba menghadapi persaingan dari para pengusaha Cina. Pada 1918, SI mengklaim telah memiliki anggota sebanyak lebih dari 2 juta orang, dengan cabang-cabangnya di seluruh Hindia Belanda. Salahsatunya untuk menanggapi tuntutan pemerintahan-sendiri yang diajukan SI, Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) pada akhir Perang Dunia I. Tetapi, sedikitnya anggota pribumi dalam badan penasihat ini hanya memiliki pengaruh kecil.
Organisasi-organisasi lainnya yang mempersoalkan kekuasaan Belanda juga berkembang selama dasawarsa 1910-an. Organisasi terkuatnya adalah Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV— Perserikatan Sosial Demokrat Hindia) yang umumnya beranggotakan para intelektual Belanda, Eurasia, dan Indonesia. Anggota-anggota ISDV melihat ajaran sosialis sangat relevan untuk situasi kolonial yang mereka temukan di Hindia Belanda. Pada waktu itu adalah mungkin menjadi anggota lebih dari satu partai politik, sehingga para tokoh radikal ini juga menjadi unsur berpengaruh dalam SI.
Pada 1920, ISDV menjadi Perserikatan Komunis di Hindia yang nantinya berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Konflik antara aliran Komunis dan Islam dalam SI semakin besar, hingga kaum Komunis dikeluarkan dari seluruh cabang partai pada 1923. Karena menjadi sangat lemah akibat pertentangan ini, Sarekat Islam tidak pernah lagi mencapai kepaduan, antara ukuran dan kesatuannya. Perpecahan tajam juga berkembang di dalam Partai Komunis Indonesia.
Upaya untuk melakukan revolusi antikolonial di seluruh Nusantara pada 1926 hanya menghasilkan sejumlah pemberontakan terpisah-pisah, terutama di Banten dan Sumatera Barat. Belanda dengan mudah memadamkan pemberontakan ini dan kemudian mengambil tindakan tegas untuk menghilangkan pengaruh komunis dan kelompok antikolonial lainnya dari Hindia.
Sejak saat itu, pergerakan politik anti-Belanda di Indonesia dipimpin oleh para pemimpin yang tidak dikaitkan secara erat dengan komunisme atau Islam. Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir muncul sebagai pemimpin nasionalis terkemuka. Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927, sebuah organisasi yang menuntut kemerdekaan penuh dari Belanda. Pada Oktober 1928, sebuah kongres pemuda menyatakan aspirasi bangsa Indonesia dengan slogan, “Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia” dan mengambil bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Karena mengkhawatirkan kekuatan pengikut Sukarno, Belanda menangkapnya bersama dengan tujuh pemimpin partai lainnya pada akhir 1929. Para pemimpin PNI yang tersisa membubarkan partai dan menerapkan kebijakan yang lebih hati-hati. Walaupun Sukarno dibebaskan pada 1931, dia kembali ditangkap dua tahun kemudian dan dikirim ke pengasingan hingga Jepang membebaskannya pada 1942.
Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir—yang melihat penangkapan Sukarno pada 1929 sebagai bukti pendapat mereka bahwa partai massa di bawah kepemimpinan kharismatis mudah diserang oleh Belanda—berusaha melatih sejumlah kecil kader pemimpin potensial di banyak tempat di Indonesia. Namun, upaya ini juga gagal dan kedua pemimpin ini juga ditangkap pada 1934. Mereka tetap diasingkan hingga menjelang pendudukan Jepang.
Setelah penangkapan-penangkapan ini, barulah muncul para pemimpin dan partai moderat yang bersedia bekerja dalam parameter-parameter yang ditentukan oleh pemerintah kolonial. Mereka mendasarkan program-program partai mereka pada kerjasama dengan Belanda dan pencapaian pemerintahan sendiri secara bertahap, tetapi hanya menarik sedikit pengikut. Pemerintah Belanda bahkan menolak usulan-usulan sederhana seperti permintaan Volksraad untuk membentuk parlemen Indonesia dan Petisi Soetardjo (pertengahan 1936) yang meminta perkembangan bertahap menuju pemerintahan mandiri. Baru pada 1941, setelah Jerman menduduki Belanda, Ratu Belanda menjanjikan pengurangan sejumlah kewenangan politik.
Jepang mengalahkan Belanda secara memalukan pada awal 1942, Pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun menghancurkan struktur kekuasaan Belanda dan membagi Nusantara menjadi tiga pemerintahan militer terpisah. Dari ketiga pemerintahan ini, rezim Jepang di Jawa adalah yang paling bersimpati terhadap para nasionalis Indonesia. Mereka mengizinkan Sukarno, Hatta, dan para pemimpin kemerdekaan sebelum perang lainnya untuk berpidato di hadapan massa dengan imbalan membantu memobilisasi dukungan bangsa Indonesia terhadap upaya perang Jepang. Di luar Jawa, pemerintah militer Jepang sangat represif, memberikan kelonggaran yang sama seperti Belanda terhadap kaum nasionalis.
Sejak September 1943, Jepang membentuk milisi “sukarela” di Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan untuk membantu mengusir pendaratan Sekutu yang diperkirakan akan terjadi. Pada Oktober 1944, dalam upaya untuk mengumpulkan dukungan terhadap serangan yang diantisipasi ini, Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia dan melonggarkan kendali terhadap aktivitas para pemimpin nasionalis di Jawa; tetapi sebelum menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, Jepang hanya memberikan janji-janji pemerintahan mandiri.
Pada 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sehari kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dibentuk Jepang memilih mereka menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang baru. Pada akhir September, ketika pasukan Inggris atas nama komando Sekutu mulai mendarat di Jawa dan Sumatera untuk menerima penyerahan diri Jepang, pemerintah Republik yang berfungsi sudah ada di sebagian besar wilayah kedua pulau ini.
Ketika Inggris berupaya mengambil alih pemerintahan atas nama Belanda, mereka menghadapi perlawanan keras di banyak daerah di Jawa dan Sumatera. Tetapi di Nusantara bagian timur, pasukan Australia sudah menancapkan kakinya di Papua dan sebagian Kalimantan sebelum Jepang menyerah, dan mereka mampu mengembalikan kekuasaan Belanda secara relatif mudah di sebagian besar wilayah tersebut.
Kekuatan semu Republik di Jawa dan Sumatera dan kekuatan Belanda di Nusantara bagian timur dengan enggan diakui oleh kedua belah pihak. Jadi, sebelum penarikan mundur mereka pada November 1946, Inggris mampu membujuk Belanda dan Indonesia untuk melakukan perjanjian Linggajati yang mengakui kewenangan de facto Republik hanya di Jawa dan Sumatera dan merencanakan pendirian sebuah sistem federal untuk seluruh Indonesia.
Kepergian Inggris memicu pertarungan militer langsung dan diplomasi antara Republik melawan Belanda. Sejak 1946, Belanda mulai mendirikan wilayah-wilayah otonom di daerah-daerah yang mereka kuasai yang akan membentuk bagian dari Negara Indonesia Serikat yang ingin mereka bentuk dan memiliki ikatan kuat dengan Negeri Belanda. Belanda juga berupaya menerapkan kembali kekuasaan mereka di daerah-daerah yang dikendalikan Republik melalui dua operasi militer, yang disamarkan menjadi “aksi polisionil”, pada Juli 1947 dan Desember 1948.
Dalam aksi kedua ini, mereka merebut ibukota Republik di Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pemimpin tertinggi Republik, termasuk Sukarno dan Hatta. Namun, kuatnya perlawanan gerilya Republik dan tekanan dari komunitas internasional akhirnya memaksa Belanda menerima bantuan, dan setelah pembicaraan yang berpuncak pada perjanjian Roem–Roijen, Sukarno dan Hatta diperkenankan kembali ke Yogyakarta pada Juli 1949. Sebuah Konferensi Meja Bundar diadakan di Den Haag sebulan kemudian.
Sejumlah negosiasi antara Belanda, negara-negara bentukan Belanda, dan Republik membuat pada akhirnya pemerintah Belanda setuju untuk menyerahkan kedaulatan seluruh wilayah Indonesia pada akhir 1949, kecuali Irian barat, kepada Republik federal yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS atau RUSI) yang terdiri dari Republik Indonesia dan negara-negara bentukan Belanda.
Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Robert Cribb & Audrey Kahin, Kamus Sejarah Indonesia, hlm. lv-lvii. Buku tersedia juga di, Tokopedia, BukaLapak, atau kontak langsung ke WA 081385430505
Comments (0)