Kekasih Muda Sukarno Mengisahkan Pengalamannya

Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno memang dikenal sebagai sosok pemimpin paling berpengaruh di dunia pada masanya. Tak hanya itu, ia juga dikenang sebagai “kekasih yang hebat” bagi banyak orang. Semasa hidupnya, Sukarno yang jugadipanggil Bung Karno menikah dengan setidaknya tujuh perempuan. Bahkan, beberapa sumber mengatakan bahwa ia memiliki setidaknya sepuluh istri.

Biografi yang baru-baru ini terbit dengan judul Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA oleh jurnalis veteran Kadjat Adra’I mengangkat kisah asmara antara Sukarno dan istri ketujuhnya, Yurike Sanger. Istri ketujuhnya ini berusia 47 tahun lebih muda daripada Sukarno.

Isinya diambil dari wawancara Kadjat dengan Yurike untuk kisah majalah eksklusif pada 1978, delapan tahun setelah meninggalnya Sukarno. Di dalamnya memuat bagaimana keduanya bertemu, jatuh cinta, dan menikah. Yurike berusia lima belas tahun ketika pertama kali bertemu Sukarno pada 1963 dalam kegiatan resmi di Stadiun Gelora Bung Karno, Senayan. Saat itu ia bergabung dalam Barisan Bhinneka Tunggal Ika, kelompok pemuda-pemudi yang menerima Sukarno serta tamu-tamu kenegaraan mengenakan pakaian tradisional. Pada hari pertama Yurike sebagai bagian dari Barisan Bhinneka Tunggal Ika, Sukarno langsung memberikannya perhatian khusus. Ia berhenti persis di depan Yurike ketika melewati kelompok pemuda-pemudi tersebut. Sukarno menanyakan nama serta apakah Yurike adalah mahasiswi.

Setelah interaksi singkat tersebut, mereka beberapa kali bertemu sebelum Sukarno melamar Yurike. Mereka menikah pada 1964. Usia Sukarno saat itu sudah 63 tahun, lebih tua daripada ayah Yurike.

Buku ini diceritakan dari sudut pandang pertama oleh Yurike. Di dalamnya memuat pengalaman-pengalaman kedua pasangan, baik yang penuh humor maupun sentimental. Latar belakang mereka sangat berbeda, mengingat Yurike datang dari keluarga kelas menengah yang apolitis. Begitu juga dengan generasi mereka. Tak ayal Yurike menganggap mereka berdua sangat berbeda seperti “surga dan bumi.”

Kisah ini tidak sepenuhnya romantis bak dongeng. Yurike harus mengikuti protocol resmi bahkan di dalam rumahnya sendiri. Dalam salah satu ceritanya, Yurike sedang ingin makan bakso keliling dekat rumah. Akan tetapi, ia dilarang untuk keluar rumah oleh Sukarno tanpa izin. Oleh karena itu, ia meminta salah seorang pengawal untuk membelikan satu porsi bakso. Penjaja bakso keliling tersebut dilarang masuk ke halaman maka sang pengawal memanjat tembok tinggi dan menurunkan helmnya dengan tali sehingga si penjaja dapat meletakkan bakso di dalam helm. Si penjaga lalu menarik helm tersebut dan membawakan bakso tersebutkepada Yurike.

Mereka juga tidak lepas dari rasa cemburu. Sukarno merasa jengah atas perhatian yang terkadang diterima istrinya dari laki-laki lebih muda. Sementara itu Yurike tak suka ketika suaminya berdansa dengan kekasih-kekasihnya yang lain.

Pasangan ini tidak memiliki anak. Yurike pernah hamil sekali, tapi ia mengalami keguguran. Walaupun begitu, Yurike menggambarkan Sukarno sebagai ayah yang penyayang kepada anak-anaknya dari istri ketiganya, Fatmawati.

Buku ini tidak banyak memuat mengenai istri-istri lain Sukarno, atau pun reaksi mereka terhadap pernikahan Sukarno dengan Yurike. Kajat menggambarkan Sukarno sebagai laki-laki yang tahu caranya memperlakukan istrinya sehingga mereka merasa paling disayang.

Yurike mengenang Sukarno sebagai suami yang hebat. Sukarno mencurahkannya kasih sayang dan perhatian, meskipun Yurike harus belajar untuk berbagi suaminya dengan sosok-sosok penting lain dalam kehidupan Sukarno. Yurike juga sangat mengagumi cinta Sukarno yang tulus kepada negara dan masyarakatnya. Cinta ini tetap bertahan meskipun ia telah lengser.

Buku ini juga memuat salinan surat-surat dan catatan Sukarno pada Yurike, yang menurutnya membuatnya sangat bahagia sampai-sampai serasa “melayang”.

Yurike saat ini tinggal di Amerika Serikat bersama suaminya yang berasal dari sana.

Deskripsi Yurike yang begitu hidup menguak detil-detil menyentuh mengenai Sukarno, pemimpin Indonesia yang hebat ini. Sosoknya mungkin telah wafat, tetapi memoar Yurike seakan-akan kembali menghidupkan presiden pertama Indonesia ini.


Ade Mardiyati, Kontributor Jakarta Globe

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *