Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847
Perang Paderi Bukan Perang Jawa

Basyral Hamidy Harahap

Pemerhati Sosial Budaya Mandailing dan Penulis Greget Tuanku Rao


Apa dan Siapa Christine Dobbin

Buku Christine Dobbin (1941-), Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph Series No. 47 pada tahun 1983. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Nordic Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) tahun 1992, di bawah judul Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847. Enam belas tahun kemudian, 2008, Penerbit Komunitas Bambu di Depok menerbitkan lagi edisi bahasa Indonesia buku ini di bawah judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847.

Judul karya Christine Dobbin tersebut, menegaskan bahwa Christine Dobbin adalah sarjana sejarah yang mengenal dan benar-benar memahami Islam. Saya telah membaca seluruh halaman buku Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 termasuk kickers. Kalimat panjang 56 kata Prof.Dr. Taufik Abdullah pada halaman kulit IV itu, adalah kutipan dari kumpulan esai Prof.Dr. Taufik Abdullah Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh LP3ES 1987.

Setelah membaca dengan tekun buku Christine Dobbin itu, saya berkesimpulan bahwa Perang Paderi sangat sarat dengan perilaku dagang semasa kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Itu sebabnya judul resensi buku Christine Dobbin tersebut yang dimuat KOMPAS, 27 Juli 2008, menjadi Perang Dagang di Sumatera Barat.

Disertasi Christine Dobbin sendiri adalah tentang kepemimpinan di Kota Bombay, India Barat di bawah judul Urban Leadership in Western India: Politics and Community in Bombay City 1840-1885, diterbitkan di London oleh Oxford University Press, 1972. Sebelumnya, Christine Dobbin sudah menulis sejumlah buku, di antaranya Basic Documents in the Development of India and Pakistan di terbitkan di London oleh Van Nostrand, 1970. Asian Entrepreneurial Minorities: Conjoint Communities in the Making of the World Economy, 1570-1940 diterbitkan di London oleh Richmond, Surrey (Curzon Press Ltd.) yang juga diterbitkan dalam terbitan berseri Scandinavian Monograph Series No. 71, 1996.

Pada tahun-tahun terakhir, Christine Dobbin melakukan riset tentang sejarah gagasan-gagasan (history of ideas) di dunia Timur dan dunia Barat, dan juga tentang hubungan agama dan pembangunan ekonomi. Kini Christine Dobbin adalah salah seorang peneliti di Australian National University di Canberra dan menjadi penasihat Departemen Luar Negeri Australia dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan di Indonesia.
Sejumlah artikelnya yang lain adalah: “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement 1784-1830” diterbitkan dalam majalah terkemuka tentang studi Indonesia, Indonesia (Cornell University), vol. xxiii (1970). “The Exercise of Authority in Minangkabau in the late 18th Century” yang dimuat dalam buku suntingan Anthony Reid dan Lance Castles, Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia diterbitkan di Kuala Lumpur, 1975. “Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth Century” yang dimuat dalam Modern Asian Studies, vol. viii (1974) di London. Kemudian artikel “Tuanku Imam Bonjol (1772-1864)” yang dimuat dalam majalah Indonesia (Cornel University) vol. xiii (1972).

Bedah Buku di Unimed

Buku Christine Dobbin Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 ini dibedah di Unimed pada 14 Oktober 2008. Ikut berbicara dalam seminar itu sebagai pemakalah pertama Prof. Usman Pelly, dan Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis sebagai pemakalah kedua. Sedangkan Prof. Antonius Bungaran Simanjuntak bertindak sebagai pembahas.

Harian KOMPAS Edisi Sumbagut, 15 Oktober 2008 memberitakan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis menyimpulkan bahwa Christine Dobbin kurang memahami Islam. Saya mendapat kesan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis belum membaca buku itu secara tuntas. Karena kesimpulan itu tidak akan muncul dari orang yang sungguh-sungguh membaca buku itu. Pasalnya, kata kunci Islam yang dimunculkan pada judul dan pembahasannya di dalam buku, adalah tentang sejarah masuknya Islam dan keberagamaan orang Minangkabau. Hal itu cukup membuktikan bahwa Christine Dobbin memahami Islam dengan baik.

Apakah dalam setiap pembicaraan tentang pergerakan Islam itu harus disertai keharusan menuliskannya dalam kisah-kisah heroik yang gegap gempita, dan jika tidak, penulisnya jadi kurang memahami Islam?

Sosiolog Prof. Usman Pelly lebih memandang gerakan radikal Padri sebagai suatu yang positif. Katanya, gerakan radikal Paderi tidak hanya mampu mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial, tetapi juga memberikan perlindungan dan pengayoman kehidupan ekonomi baru yang mulai berkembang pada saat itu. Dan bahwa, kaum Padri merasa mendapat tugas sejarah untuk memulai sebuah perubahan radikal dari bawah.

Kesimpulan Prof. Usman Pelly ini bukan saja keliru tetapi juga sangat gegabah. Karena ia telah menafikan tragedi kemanusiaan yang luar biasa yang dilakukan oleh kaum Padri, bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di Tapanuli. Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah Indonesia abad XIX. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat.

Kalau begini cara berpikirnya, apakah kita harus memuji Daendels, penguasa yang telah membangun jalan ekonomi dari ujung ke ujung Pulau Jawa dari Anyer ke Panarukan, sementara proses pembangunannya sendiri menimbulkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa?

Penghancuran Tamadun Batak

Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857), Alexander Philippus Godon, memperlihatkan kepada Dr. Herman Neubronner van der Tuuk ―ketika berkunjung ke Panyabungan bulan Maret 1852―, dua buku besar naskah Mandailing. Buku itu berhasil diselamatkan orang Mandailing dari kebringasan kaum Paderi yang membakari buku-buku di wilayah Tabagsel. Padahal, buku-buku itu berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, pengobatan dll.

Apa motivasi pemusnahan itu belum jelas, bisa saja disebabkan kebodohan kaum Paderi yang tidak mampu membaca aksara Mandailing, sehingga mereka ingin memusnahkannya. Ini merupakan bagian dari tragedi dan upaya penghapusan tamadun Mandailing. Maklumlah, sampai kini kita belum pernah membaca buku yang beraksara Minangkabau, karena mungkin mereka tak memiliki aksara sendiri.

Menarik penuturan Dr. Herman Neubronner van der Tuuk dalam Een Vorst Onder de Taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk Taalafgevaardigde voor Indië van het Nederlandsch Bijbelgenootschap 1847-1873: Een bronnenpublicatie bezorgd door Kees Groeneboer. . – Leiden: KITLV, 2002. – p. 123, bahwa dalam perjalanannya ke Panyabungan pertengahan Maret 1852 itu, ia beristirahat di warung kopi di Aek Sijorni di tepi Batang Angkola di dekat simpang ke kampung Bulu Gading. Van der Tuuk melihat seseorang membaca bagian dari satu buku beraksara Mandailing dalam bahasa Melayu berjudul Hikajat Toeankoe Orang Moeda. Halaman judul buku itu ditulis dengan aksara Arab gundul sedangkan isinya dengan aksara Mandailing berbahasa Melayu.

Beruntung, kecerdasan lokal ini tidak punah secara total, karena masih ada buku beraksara Mandailing yang selamat dari kezaliman kaum Paderi. Sehingga tradisi menulis buku dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan humaniora pada orang Mandailing masih berlanjut.

Perang Dagang

Saya sependapat dengan antropolog Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak yang mengatakan, bahwa Perang Paderi bukanlah perang agama. Menurut penelitiannya, serbuan kaum Paderi ke Tapanuli Selatan adalah karena habisnya logistik di Sumatera Barat.
Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh Christine Dobbin secara gamblang. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 280, 281 sbb.:

Pada kira-kira tahun 1812, Bonjol mulai menarik penduduk dari tempat-tempat lain di Minangkabau. Mereka datang untuk mengkaji ajaran Padri maupun untuk ikut serta dalam perdagangan desa yang sedang berkembang. Sama seperti pemimpin utama Padri lainnya, Imam Bonjol ingin membuat kampung halamannya menjadi pusat dagang yang penting. Dalam memoarnya disebutkan bahwa segera setelah ia mendirikan tempat pemukiman itu, ia menanam padi dan pohon buah-buahan dan mendirikan tempat peternakan sapi dan kuda. Selanjutnya, ia berkata bahwa kira-kira pada tahun 1812, Bonjol “begitu makmur berkat meningkatnya industri dan perdagangan sehingga banyak orang datang ke situ karena tertarik pada murahnya harga bahan makanan sebab beras, ternak, dan kuda tersedia berlimpah”. Tambahan lagi, setelah benteng desa lebih disempurnakan dan penduduknya dipersenjatai dengan layak, “mereka memusatkan diri sepenuhnya pada perdagangan. Dengan menikmati keadaan damai dan bersatu, kemakmuran nagari Bonjol makin lama makin bertambah dan pedagang-pedagang dari tempat lain banyak yang datang ke sini” (hal. 260).

Walaupun sulit dibedakan antara yang suci dan yang duniawi, keadaan menjadi lebih mudah oleh kenyataan bahwa Imam Bonjol dengan cepat menjadi pemimpin perang dan perhatiannya tertuju pada hal lain. Kepada murid-muridnya yang berbondong-bondong datang ke Bonjol, ia memberikan latihan silat. Kemudian, ia membentuk pasukan khusus setelah kedudukannya di lembah cukup kuat untuk menyatakan jihad kepada daerah sekitarnya. Ia lalu mengembangkan pola serbuan tahunan ke daerah-daerah sekitarnya dan pasukan Bonjol selalu kembali dengan hasil rampasan yang cukup banyak. Setelah menang perang, mereka beristirahat untuk bercocok tanam selama satu tahun sebelum melakukan serbuan lain. Serbuan-serbuan ini biasanya dilakukan atas permintaan salah seorang pemimpin Padri. Pada diri mereka bercampur erat semangat agama dan keserakahan manusiawi. Diberitakan pada suatu penyerbuan di Agam, orang Bonjol tidak saja kembali dengan membawa ternak rampasan, melainkan juga piring, cangkir, kuali, dan alat keperluan rumah tangga lainnya (hal. 261).

Kebanyakan perdagangan produk Batak pun berada di tangan orang-orang Minangkabau. Oleh sebab itu, serbuan pasukan Padri ke Mandailing dan hulu Barumun hanya merupakan satu tahap lain dalam pembebasan yang terus menerus dari dunia Minangkabau ke dunia Batak yang telah berlangsung berabad-abad (hal. 280).

Tidak mengherankan jika Imam Bonjol memalingkan matanya ke utara, ke arah tetangganya

yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Lembah yang panjang dan sempit di sebelah lembahnya menampakkan kemakmuran yang cukup besar. Para pemimpin masyarakat Padri di Alahan Panjang menyadari bahwa kepemilikan atas tambang emas Rao pasti akan memberikan dimensi ekstra pada jaringan dagang yang hendak mereka ciptakan. Selain itu, tenaga kerja dari lembah itu juga merupakan tambahan yang sangat diharapkan. Imam Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah (hal. 281).

Tuanku Imam Bonjol Ingin Bebas

Dua kalimat terakhir Christine Dobbin dalam buku ini pada halaman 379 edisi bahasa Indonesia dan halaman 244 teks aslinya, sbb.: “Lebih dari segalanya, sejarahnya telah mencerminkan keinginannya. Hal itu telah diungkapkan oleh Imam Bonjol sebelum ia ditangkap, yakni menjadi “seorang Melayu yang bebas” (hal. 379). [More than anything his history has reflected his wish, expressed by Imam Bonjol before his capture, to be “a free Malay”].

Wallahualam bis sawwab (Dan Allah Maha Tahu sesungguhnya).


Sumber: http://www.basyral-hamidy-harahap.com/blog/index.php?itemid=43

Comments (0)


Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *