Penghasil Barang Perdagangan di Nusantara

Pada uraian-uraian terdahulu telah disinggung beberapa kali mengenai tempat-tempat di Indonesia yang menghasilkan barang ekspor untuk perdagangan internasional maupun lokal. Pada waktu itu, perdagangan internasional terutama berkisar pada perdagangan rempah-rempah. Jalan pelayaran yang “gemuk” dalam jaringan hubungan maritim Nusantara ketika itu jelas memperlihatkan sebuah garis yang menghubungkan daerah-daerah penghasil rempah-lada di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan; pala di Maluku Tengah; dan cengkeh di Maluku Utara. Pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa mengumpulkan beras dari pedalaman. Oleh karena itu, pelabuhan-pelabuhan ini adalah tempat singgah yang penting, tidak hanya untuk mencukupi bekal pelayaran, tetapi juga untuk dibawa ke daerah rempah yang kekurangan beras. Biasanya kekurangan beras di daerah penghasil rempah lazim terjadi karena tenaga dan ladang setempat dipakai untuk menanam rempah-rempah itu.

Bahan ekspor lain yang juga penting ialah kayu-kayuan dan berbagai hasil hutan, seperti damar, madu, dan sebagainya. Beberapa yang terkenal adalah kayu cendana dari Nusa Tenggara, kayu gaharu dan kelembak dari Sumatra dan Kalimantan, kayu besi dan kayu hitam dari Sulawesi dan Maluku, serta kayu jati dari Jawa. Maka selain di jalan raya laut dari barat ke timur itu, tumbuh pula cabang-cabang jalan yang dilayari perahu setempat dan kadang-kadang juga perahu dari luar untuk mengangkut hasil-hasil hutan ini.

Pada waktu suasana politik berubah, misalnya ketika Malaka diduduki Portugis, jalan sekunder ini berkembang pesat. Misalnya perkembangan jalan laut melalui pantai barat Sumatra yang sudah dipelopori sebelumnya oleh perahu-perahu yang dahulu datang untuk mengambil lada, kayu-kayuan, kapur barus, emas, budak, dan sebagainya. Menurut Tomé Pires, waktu itu Tiku dan Pariaman belum menghasilkan lada, tetapi kemudian sumber Belanda menyebut kedua tempat ini sebagai penghasil lada. Perluasan perkebunan lada di dua daerah itu mendapat dorongan dari pelayaran yang sekarang banyak menggunakan jalan pantai barat Sumatra, di samping sebagai tanggapan terhadap kebutuhan lada di pasaran dunia yang semakin meningkat.

Kita melihat hal serupa di Banten. Kalau permintaan lada bertambah, penduduk mengalihkan pertaniannya pada penanaman lada. Sebaliknya, kalau permintaan berkurang, penduduk menanam bahan makanan. Ketika Belanda mengadakan blokade terhadap Banten sehingga kapal-kapal yang datang ke pelabuhan berkurang, penduduk mulai menanam padi lagi. Malahan ada yang mulai menanam tebu karena gula bisa dijual pada orang-orang Inggris yang tinggal di Banten, lihat Meilink-Roelofsz, Op. cit., hlm. 163, 274.

Menurut sebuah sumber dari 1616, masih dalam sumber yang sama, Meilink Roelofsz hlm. 246, diambil dari H.T. Colenbrander, Jan Pietersz Coen, Bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indië, I, Den Haag, Martinus Nijhoff, 1923, hlm. 163. pada bulan Februari dan Maret jika musim hujan sudah memungkinkan sungai-sungai dilalui perahu, maka penanam lada datang dengan perahu membawa hasil perkebunannya. Di lain pihak, orang-orang Tionghoa yang telah menunggu-nunggu kedatangan lada ini memindahkan kampungnya lebih ke selatan kota Banten supaya bisa mencegat perahu lada yang baru turun dari pedalaman dan memborong semuanya.

Lodewycksz mencatat ketika jung-jung Cina tiba di Banten, harga lada sudah naik dua kali. Oleh sebab itu, penting sekali mendapatkan lada lebih dulu sebelum harganya melonjak sedemikian tinggi. Namun, pengusaha lada sadar akan harga ini sehingga mereka lebih suka menahan barangnya. Terlebih lagi kalau panen tahun itu kebetulan kurang dari yang biasa dipetik. Jika demikian, mereka berharap bisa mendapat harga yang lebih tinggi bagi ladanya.

Akan tetapi, sering juga orang-orang Tionghoa masuk ke pedalaman untuk membeli lada sebelum musim hujan tiba. Meski demikian, jumlah yang biasa dibelinya amat terbatas berhubung fasilitas pengangkutan tidak ada. Jalan darat sangat sukar dilalui, sedangkan jalan sungai belum bisa dipakai. Sebenarnya keuntungan dari perjalanan ke pedalaman besar juga, bisa mencapai 400%. Namun, berhubung dengan banyaknya kesulitan dalam pengangkutan, keadaan ini tidak bertahan lama.

Pada tahun 1619, Belanda menguasai Jayakarta dan mengganti namanya menjadi Batavia (Betawi). Persaingan VOC yang didukung oleh blokade Pelabuhan Banten menyebabkan semakin berkurangnya kapal-kapal yang mengunjungi Banten. Kemudian pada tahun 1634, arsip VOC mengabarkan bahwa sebagian besar perdagangan Banten telah berpindah ke Batavia.

Kedudukan pedagang perantara di Jambi juga berada di tangan pedagang Cina. Petani lada di pegunungan tanah Minangkabau membawa hasil kebunnya dengan perahu ke Jambi. Biasanya 100 sampai 150 perahu kecil datang dari pedalaman dan masing-masing mengangkut kira-kira 150 pikul lada. Pedagang Tionghoa membelinya atau menukarnya dengan kain tenunan yang kemudian dijual lagi oleh penanam lada ini di kampungnya.

Hasil pertambangan yang terpenting adalah timah di Bangka dan Belitung, juga emas di pulau-pulau besar. Namun, pada waktu itu pertambangan timah lebih berkembang di Semenanjung Malaya, sedangkan emas (dan intan di Kalimantan) rupanya hanya mempunyai arti lokal. Hasilnya tidak seberapa sehingga tidak menyebabkan suatu gold rush ke daerah pertambangannya. Emas lebih banyak dipakai oleh penguasa setempat. Contohnya Raja-raja Sumatra memakai emas hasil pulau ini dan Raja-raja Maluku Utara mengambil emas dari Sulawesi Utara. Emas juga diekspor dalam jumlah sedikit oleh kapal Gujarat dan Tionghoa.

Pola perdagangan dan pelayaran yang berlaku di Nusantara dipengaruhi orang-orang Eropa Barat yang datang membawa unsur-unsur baru. Lama-kelamaan, pengaruh dari orang-orang Eropa Barat itu turut mengubah keadaan politik dan ekonomi Indonesia. Pusat-pusat perdagangan menjadi sasaran kapal-kapal Eropa. Dalam hal perdagangan dan pelayaran, kompeni Belanda memegang peranan penting karena mereka berhasil memaksakan sistem monopoli dagang yang ditunjang oleh modal besar, organisasi yang baik, persenjataan serta teknologi perkapalan yang lebih maju. Namun, di tempat-tempat dan pelabuhan yang belum dikuasai VOC atau dalam beberapa sektor perdagangan di daerah VOC yang kurang mengalami campur tangan Kompeni (misalnya dalam pelayaran perahu pribumi), pola perdagangan dan pelayaran masih tetap seperti pola dahulu.

Menurut pengamatan Caron, pada tahun 1930-an, peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pada masa Matoa Amanna Gappa pada abad ke-17 masih berlaku di Makassar. Sistem commenda dengan bagi-laba juga masih berlaku dalam banyak usaha perdagangan meskipun telah mengalami modifikasi menurut tuntutan zaman. Dunia perdagangan di bandar berpusat pada kegiatan-kegiatan di pasar, suatu tempat jual-beli yang mempunyai ciri-ciri khas. Apalagi VOC dengan sistem monopolinya makin lama makin berhasil menguasai perdagangan rempah-rempah dan barang-barang impor (antara lain kain dari India). Perdagangan (kecil) pribumi di pasar makin terbatas pada daging, sayur-sayuran, masakan, dan hasil kerajinan tangan seperti bakul dan tembikar. Itu pun semuanya dalam jumlah kecil.


Dikutip dengan seizin penerbit Komuntas Bambu dari buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17 karya AB Lapian. Buku juga tersedia di TokopediaBukalapakShopee, atau kontak langsung ke WA 081385430505

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *