Pemuda daripada Bapakisme
Oleh: JJ Rizal
Sejarawan


Ada yang bilang pemuda adalah resep paling mujarab buat bangsa yang sedang ketiban krisis. Sudah 11 tahun lebih Indonesia kena krisis. Berbagai eksperimen penyembuhan dicoba. Tapi sampai kini tak bisa dengan mantap dikatakan Indonesia sudah benar-benar keluar dari krisis. Karena itu, jangan kaget kalau belakangan langit Indonesia makin disesaki suara agar pemuda tampil. Saatnya alih generasi.

Ada kesadaran perlu segera ada kebangkitan pemuda sebagai kekuatan pencerah di masa gawat. Sejumlah politikus menyikapi ini dengan berlomba memajukan anak mereka. Tak sedikit pula yang memahami muda dalam logika “patung menawan”. Atau regenerasi itu sel baru, daging segar. Karena itu, pemain sinetron, model, dan penyanyi pun diunggulkan masuk politik kekuasaan. Tetapi siapakah sesungguhnya pemuda itu?

Muda, Maju, dan Sadar

Berkatalah Kiekergard, “Hidup dilalui ke depan, tapi dipahami ke belakang.” Memahami pemuda pun mesti menengok ke belakang. Nasionalisme, revolusi, dan kemerdekaan adalah kacamata sejarah yang akan menuntun orientasi berpikir dalam menemukan pemuda. Sebab, nasionalisme, revolusi, dan kemerdekaan itulah yang telah—seperti kata Chairil Anwar–“menyediakan api” bagi pemuda bertindak sebagai splendor varitatis, orang yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan gemerlap cahaya kebenaran.

Ben Anderson, dalam telaah mengenai Sutomo dari Budi Utomo, menilai, guna menguatkan citra diri, pemuda memakai kias yang bersifat terang bukan saja sebagai simbol, tapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik, dan perbedaan generasi. Wajar jika, dalam publikasi, pemuda di awal kebangkitan terus diwarnai teriak lantang paradoks kata: muda/tua, maju/kolot, dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, pemuda telah sampai kepada tingkat pertumbuhan kesadaran yang fundamental tentang perubahan. Alhasil dua dasawarsa pertama abad ke-20 pergerakan Indonesia diliputi semua sifat muda, maju, dan sadar.

Setelah 20 tahun pertama abad ke-20 itu, yang disebut “the decade of identities“, sifat muda, maju, dan sadar mencapai bentuk ideologisnya yang paling matang. Bahkan periode tahun 1920-an, yang sohor dikenal sebagai “the decade of ideologies“, oleh tokoh sentralnya, Soekarno, disebut “zaman muda, zaman perjuangan Indonesia muda”. Muda tak sekadar usia biologis mereka rata-rata dua puluhan, bahkan belasan, tapi juga psikis dengan pemikiran dan kejiwaan yang diliputi semangat merombak struktur masyarakat lama untuk menciptakan suasana dan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat.

Dari foto sezaman memang terlihat betapa muda dan dandy generasi dasawarsa ideologi ini. Tapi dari tulisan yang ditinggalkan tampak betapa keras, tajam, dan eksplisit tujuan pemikiran politiknya. Ide masyarakat baru dan kemajuan yang dianggit bukan saja mengental, seperti tecermin dengan mulai ditanggalkannya identitas etnis dan kian ramai pemakaian sebutan Indonesia serta nasional yang memuncak pada Sumpah Pemuda 1928. Namun, diikuti pula dengan perdebatan ideologis yang melandasi perjuangan dan bangsa yang diangankan. Saat itulah mayoritas pemuda dijangkiti–seperti kata Hannah Arendt–semangat revolusi: “semangat baru dan semangat bermulanya sesuatu yang baru”. Cuma dengan revolusi transformasi akan tercapai.

Sejalan dengan Tan, bagi Soekarno, penggalangan kekuatan (machtsforming) adalah jalan membangkitkan kesadaran revolusioner rakyat. Sebaliknya Hatta, setelah menggedor via Manifesto Politik 1925 yang menjadi tonggak nasionalisme Indonesia, ia dan Sjahrir berpangkal pada konsep umwertung aller werte (menjebol semua nilai), memulai revolusi dengan jalan pendidikan kader (kadervorming) politik untuk mengantar massa rakyat mengubah “daulat tuanku” menjadi “daulat rakyat”. Di sisi lain, Thamrin menempuh jalur kooperasi, tapi tak berarti ia meninggalkan ide revolusi. Bukankah pemerintah kolonial mencapnya “hantu kiri”? Sebab, ketika pemerintah makin represif terhadap gerakan nonkooperasi, ia lewat Volkraad malah melancarkan gerakan radikal yang sukar dibendung.

Saat itu satu sama lain bisa berselisih paham, tapi semua kian bertolak dari kesadaran kebangsaan. Terlebih penting, mereka sebagai pimpinan minoritas kreatif yang terdiri atas pemuda-pemuda cerdas nasionalis telah membawa subkultur politik antikolonial, termasuk counter ideology kolonial, bukan hanya jadi dominant culture, tapi juga jadi kultur politik nasional yang menggantikan kultur politik kolonial dan memuncak pada proklamasi kemerdekaan.

Fortiter in re

Dari kilas balik, sukses pemuda terletak pada political will pemuda itu sendiri dalam melembagakan nilai dan hasrat meraih kemanusiaan yang modern, maju, dan progresif. Ada subyektivitas di sini, tapi lahir dari panggilan yang universal. Melewati yang nafsi-nafsi. Lahirlah pergerakan. Dalam konteks itu pada mereka ada keberanian moral menunda datangnya imbalan dari jerih payah belajar dan perjalanan panjang penuh rintangan.

Pemuda intelek sebagai komunitas politik memang minoritas, tapi minoritas kreatif, karena mereka punya cakrawala berpikir luas dan visi jauh ke depan. Ide nasionalisme yang diemban serta visi yang melekat di dalamnya sekaligus menuntut mereka bertindak menjadi ujung tombak gerakan. Implikasi logisnya, berperan antagonistis terhadap kolonialisme. Nyalalah gelora keberanian, militansi. “Jangan takut,” kata H.M. Misbach. “Jebol, bongkar,” kata Soekarno.

Kalau pemuda terlihat liar dan memberontak, itu karena mereka sadar setiap ide atau ideologi besar mesti diawali gerakan protes atau gerakan sosial sebagai wahana utama membongkar institusi dan struktur masyarakat lama serta membangun yang baru. Kaum protagonis punya moral commitmentbuat melakukan ide itu. Karena itu, mereka datang dengan fortiter in re atau kekuatan keyakinan, bukan hitungan. Bertindak sebagai benteng moral ketimbang pemburu kekuasaan. Alhasil, politik adalah perjuangan, bukan kepentingan. Dan cuma sebagai true believer sajalah nilai dan kewajiban itu dapat dijalankan, bila perlu dengan mengorbankan diri. Di sinilah terletak nilai kepemudaan yang historis.

Pemuda Ponggol

Penjelasan sejarah memberi sense of continuity pada masa kini. Jelas pemuda yang muncul sekarang terlepas dari pemuda yang hidup dalam ingatan kolektif bangsa. Pinjam telaah Anton Lucas, yang muncul “pemuda-pemudaan”. Mereka muda, tapi tak lekat pada dirinya nilai dan semangat revolusioner. Sebab, mereka lahir dari tradisi politik bapakisme atau politik-kekeluargaan (politico-familial) Soeharto yang terus hidup, bahkan mewabah dalam arti ideologis maupun biologis. Di sini menguat lagi tradisi politik Indonesia tradisional yang bersifat elitis, seakan-akan cuma sekelompok orang dapat memutar as dunia politik Indonesia. Sekaligus mulailah dibentuk tradisi politik keluarga, yang menurut Ong Hok Ham sebenarnya tak dikenal dalam sejarah politik Indonesia, juga ditentang Soekarno-Hatta karena menyuburkan feodalisme, irasionalitas, dan budaya profitur.

Dalam konteks itu, menyimak suara-suara alih generasi kini seperti mendengar gema sajak “zaman gelap” Ronggowarsito menjelang kematiannya pada 1873. Beruntung, setelah 35 tahun penyair itu wafat, muncul para pemuda bergelora hati penggugat yang menyibak kegelapan dan menggantinya dengan terang. Tapi kini rakyat belum beruntung dengan harapan akan tampilnya pemuda pembawa terang.

Rakyat kudu puas hanya dengan sejenis pemuda zaman revolusi yang sohor disebut “pemuda ponggol”, ia tergugah bergerak karena ada pamrih nasi ponggol dari dapur umum. Juga “pemuda-pemudaan” yang tak bebas dari pengaruh bapakisme dan tak berpikir buat memaksa “bapak” bertindak sesuai dengan keinginan mereka, seperti sejatinya pemuda. Jenis jinak, tak menggugah, yang disebut Saya Shiraishi dalam Indonesia Family in Politics sebagai pemuda daripada bapakisme yang tetap tinggal sebagai persoalan dan kekuatan penting kekuasaan dekaden karena cuma bisa membebek, wek-wek-wek.



Koran Tempo |  28 Oktober 2009