Pemuda dalam Penciptaan Nasionalisme Indonesia

Muhammad Rizky Suryana
Didaktika UNJ


Komunitas Bambu, sebuah penerbit buku asal Depok, Jawa Barat menyelenggarakan acara diskusi buku pada Minggu (13/5) di The Atjeh Conection, Sarinah, Jakarta Pusat. Buku yang dibedah bertajuk Mahasiswa, Nasionalisme, dan Penjara karya John Ingleson serta Hari-hari Terakhir Orde Baru karya Peter Kasenda. Kedua buku tersebut diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Pendiri Komunitas Bambu, J.J. Rizal dan penulis buku, Peter Kasenda berkesempatan menjadi pembicara dalam acara tersebut. Acara ini diselenggarakan dengan tujuan merayakan momentum 20 tahun Reformasi.

J.J. Rizal membuka pembicaraan dengan pertentangan kelompok “muda” dan “tua” dalam pusaran politik dunia. Menurutnya, dalam politik dunia Soekarno mendefinisikan Indonesia sebagai pemuda. “Soekarno menyebut Indonesia yang umurnya muda sebagai kekuatan baru dunia, menentang tatanan politik negara-negara lama yang kolonialis,” ucapnya.

Rezim Orde Baru menyatakan bahwa pemuda pada masa Demokrasi Terpimpin tidak punya ruang untuk mengekspresikan pemikiran dan hanya bisa membebek pada kekuasaan. Namun, Rizal membantah hal tersebut. Menurutnya, Demokrasi Terpimpin merupakan masa yang mana terdapat kontestasi pemikiran antar pemuda. “Pemuda sangat penting perannya, mereka mempunyai basis ideologi masing-masing pada masa itu,” tambahnya. Rizal juga menyebutkan bahwa pemuda tidak bersifat umur, melainkan berhubungan dengan mental.

Mengutip pernyataan Soetomo, seorang tokoh pergerakan pada periode 1920-an, Rizal menegaskan bahwa pemuda yang tidak mempunyai pemikiran progresif adalah pemuda yang pemikirannya tua. “Ada partai yang menyatakan dirinya pemuda, tetapi cenderung mendekat terhadap kekuasaan,” tambahnya. Padahal, ia berkata bahwa pemuda membentuk partai politik sejatinya adalah perlawanan terhadap kekuasaan.

Rizal juga mengutip pernyataan sejarahwan Sartono Kartodirdjo. Bagi Sartono, bangkitnya nasionalisme pemuda bermula dari peluncuran manifesto politik dari Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1925. “Sartono lebih akrab dengan momentum pemuda pada 1925, karena manifesto yang dibuat oleh Mohammad Hatta dan kawan-kawan menyatakan konsep politik dan ideologi Indonesia,” tegas Rizal.

Rizal juga menambahkan bahwa entitas Indonesia tidak didapatkan di dalam negeri, tetapi muncul dari Belanda. “Saat itu, buruh-buruh pelayaran membawa surat kabar PI yang memuat nasionalisme Indonesia,” ucapnya.

Nasionalisme a la PI inilah yang kemudian dibawa oleh Soekarno ke dalam partainya, Partai Nasional Indonesia (PNI). Rizal menemukan keunikan dalam pemilihan tanggal berdirinya PNI. “Soekarno anti terhadap Amerika Serikat, tetapi ia memilih hari kemerdekaan Amerika Serikat sebagai hari lahir partainya.” PNI lahir pada 4 Juli 1927.

Rizal kemudian menyatakan bahwa PI sebagai jawaban atas pernyataan yang dilayangkan oleh Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis tetralogi Pulau Buru tentang ‘apa itu pemuda Indonesia?’ “Kita dibombardir oleh berbagai persepsi pemuda, namun tidak ada yang memiliki sikap historis pemuda seperti PI,” ucapnya.

Dinamika Pergerakan Mahasiswa Menuju Reformasi

Peter Kasenda mengatakan ada tiga peristiwa yang menunjukkan perkembangan gerakan mahasiswa di era Orde Baru.

Pertama, Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) yang terjadi pada 1974 didasari oleh kritik mahasiswa terhadap dominasi ekonomi perusahaan asing, terutama Jepang. Puncaknya, terjadi penolakan kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta yang berujung pada aksi massa. Aksi yang dilakukan mahasiswa berakhir ricuh dan terbakarnya Pasar Senen menjadi imbas dari kericuhan tersebut.

Setelah peristiwa ini, hubungan antara Soeharto dan mahasiswa menjadi renggang. Dulunya, mereka bersama-sama menumbangkan rezim Soekarno,” tutur Peter.

Setelah Malari, Soemitro yang menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dicopot dari jabatannya. Dengan demikian, Soeharto mempunyai tiga jabatan sekaligus: Presiden, Pangkopkamtib, dan Panglima Tentara Nasional Indonesia (Pangjen TNI).
Peristiwa kedua adalah pemberlakuan aturan Normalisasi Kehidupan Kampus dan pembentukan Badan Keamanan Kampus pada 1978. Aturan ini membatasi gerakan mahasiswa yang tumbuh saat itu, sebagai reaksi dari peristiwa Malari.

Semua Dema (Dewan Mahasiswa –red) dibekukan, diganti dengan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. Penggantinya malah disetir oleh pemerintah,” ujar Peter. Peter menambahkan, sebelum diberlakukannya NKK/BKK di tahun 1977 terdapat aksi mahasiswa di berbagai kampus yang menuntut Soeharto dibatasi masa tugasnya, karena saat itu belum ada aturan yang ketat mengenai batas maksimal masa tugas Presiden.

Memasuki periode 1980-an, Peter menuturkan bahwa dinamika gerakan mahasiswa semakin bervariasi. Mereka membentuk kelompok studi. “Kelompok studi melimpah di berbagai kampus. Mereka menggunakan buku-buku kiri yang dicetak di bawah tanah,” ujarnya. Buku-buku yang berkaitan dengan pergerakan “kiri” dilarang beredar secara bebas pada saat itu.

Selain kelompok studi, Peter juga menyebutkan bahwa mahasiswa tidak puas jika hanya berkutat pada pembahasan teori saja. Mereka mengadvokasi lapisan masyarakat yang tertindas. Peter menyebutkan bahwa keterlibatan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga (STAIN Salatiga) dalam peristiwa Kedungombo merupakan salah satu contoh dari advokasi mahasiswa saat itu, karena mereka memperjuangkan hak-hak masyarakat yang tergusur akibat pembangunan waduk.

Ketiga, periode 1990-an menjadi awal dari hidupnya kembali gerakan mahasiswa setelah tidur panjang. Berbagai organisasi pergerakan mahasiswa menjelang reformasi menurut Peter muncul karena adanya krisis moneter. Krisis dimulai pada 1997, ketika melemahnya mata uang Baht yang menyebabkan Thailand dilanda kebangkrutan yang berimbas terhadap hampir seluruh negara di Asia Timur, termasuk Indonesia.

Peter juga menyoroti keterlibatan militer dalam meredam pergerakan di kampus. Menurutnya, di berbagai kampus ada sebuah jabatan yang mengawasi kegiatan kemahasiswaan dan diisi oleh militer.
Ia menambahkan bahwa militer pun juga mengalami perpecahan pada periode 1990-an. “Hijau diidentikan dengan tokoh Prabowo Subianto, sedangkan Merah-Putih diidentikan dengan tokoh Wiranto, pengelompokkan ini berdasarkan artikel yang dimuat oleh TEMPO saat itu.” Setelah perpecahan tersebut, gerakan mahasiswa menjadi independen, tanpa adanya dorongan dari pihak militer.

Menanggapi konsistensi gerakan mahasiswa, Rizal mengatakan pasca reformasi banyak alumni mahasiswa yang bergabung ke dalam partai politik. Ia menyayangkan mereka yang tidak mempraktekkan ide-ide progresifnya setelah lulus dari kampus. “Beda dengan era 1920-an, bermain di politik praktis namun tetap mempertahankan ide dalam tulisannya,” tegas Rizal.

Namun, Rizal menjelaskan alasan dibalik tidak konsistensinya gerakan mahasiswa. Mengutip pernyataan Takashi Shiraishi, seorang penulis buku terkenal “Zaman Bergerak” yang menemukan fakta bahwa pasca-1966 kurikulum pendidikan di Indonesia diintervensi oleh kepentingan pemerintah. “Karena intervensi itulah, murid menjadi tua pemikirannya. Peredaran buku diketatkan sehingga daya kritis berkurang,” ucap Rizal.

Lalu, Rizal yang meniru ucapan Takashi menyatakan bahwa pemuda itu nantinya akan menjadi pemuda nasi bungkus. “Mereka baru melakukan pergerakan jika diberikan nasi bungkus,” tambahnya.

Terakhir, Rizal mengkritik tentang pengerdilan peran pemuda dewasa ini. “Pemuda sekarang gerakannya tiba-tiba menjadi elitis. Gerakan pemuda yang sejati menjadi hilang,” tutupnya.

Sumber: https://www.didaktikaunj.com

Comments (0)


Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published. Required fields are marked *