Parlindoengan Loebis di Kamp Nazi

Oleh: J Anto

Parlindoengan Loebis, aktivis pergerakan tahun 1930-an, Ketua Perhimpunan Indonesia 1937-1940 dan dokter dari Sekolah Tinggi Kedokteran Leiden, menjadi satu-satunya orang Indonesia yang selamat dan menuliskan kisahnya selama 4 tahun dijebloskan di kamp konsentrasi Nazi yang terkenal kejam.

Amsterdam, 26 Juni 1941, hari naas yang tidak dapat kulupakan. Ketika itu kira-kira pukul satu siang. Aku sedang makan dengan istriku, Jo. Aku dengan istriku baru menikah tiga bulan. Kami masih dalam suasana bulan madu. Oleh karena perang dan tak bisa pulang ke tanah air, saat itu aku membuka praktek di Amsterdam setelah lulus Sekolah Tinggi Kedokteran di Leiden…..

 Tiba-tiba terdengar ada orang yang mengetuk pintu. Istriku yang membukakan pintu. Sebelum dipersilakan masuk, dua orang Belanda yang berbadan tegap sudah masuk saja ke dalam rumah. Aku marah seraya menyuruh kedua orang itu keluar menunggu di ruang tunggu praktek. Kukatakan aku masih makan. Selesai makan aku menemui mereka. Dari tingkahlakunya, aku menduga orang ini adalah anggota polisi rahasia. Mereka ingin membawaku, katanya sebentar saja ke Euterpestraat”.

“Dokter tak usah tukar pakaian, sebab nanti sebelum praktek sore sudah akan pulang”.

Ternyata yang disebut  sebentar  adalah permulaan penderitaanku selama empat tahun ditahan dalam kamp konsentrasi Nazi Jerman yang terkenal ganas dan telah mematikan  tidak kurang dari delapan juta manusia.” (Parlindoengan Loebis: 2006).

Prolog buku yang (cukup) mencekam. Autobiografi Parlindoengan Loebis, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi NAZI, memang sebuah buku otobiografi langka.  Siapa yang tak tahu kisah kekejaman pasukan Nazi (SS) Jerman dalam memerlakukan tahanan perang mereka? Lalu bagaimana kisahnya, seorang Batak Mandailing dari Sibolga, menjadi tahanan perang Nazi?

Ketua Perhimpunan Indonesia 

Soetan Parlindoengan Loebis Gelar Raja Parlindoengan Dibata, adalah aktivis pergerakan mahasiswa Indonesia di Belanda tahun 1930-an. Tahun 1932 ia menjadi anggota Perhimpunan Indonesia (PI) dan tahun 1937-1940 terpilih sebagai ketua. Dalam pergerakan pemuda di tanah air, pengaruh aktivis PI sangat besar. Khususnya dalam menyadarkan organisasi-organisasi pemuda dan politik  yang semula bersifat kedarahan, meninggalkan watak kedaerahan mereka. Para aktivis PI, setelah kembali ke tanah air, memiliki pengaruh dalam merumuskan asas nasionalisme sebagai landssan perjuangan organisasi yang bermunculan tahun 1920-an.

PI semula bernama Indische Vereeniging (IV), didirikan oleh Sutan Casajangan dan R. N. Noto Suroto pada 1908. Awalnya organisasi ini lebih berorientasi sosial dan budaya. Tahun 1925, organisasi ini lalu berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Perubahan nama ini sekaligus mengubah fungsi dan peran organisasi tersebut.

Kegiatan PI lalu lebih mengutamakan masalah politik. Seiring itu, PI juga mengubah nama majalahnya menjadi Indonesia Merdeka. Harry A. Poeze menyebut saat PI di bawah pimpinan  Hatta, Soebardjo, Sartono, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamidjojo, Sjahrir dan Sukiman, mereka berhasil merumuskan cita-cita nasionalisme pergerakan pemuda.

Hans Van Miert bahkan menyebut PI merupakan bapak rohani  dalam hal cita-cita persatuan organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan (Hans Van Meirt: 2003).

Setelah generasi Hatta cs.,  pengurus PI lalu condong bekerjasama dengan  Partai Komunis Belanda. Bahkan tahun 1933, Ketua PI, Roestam Effendi terpilih menjadi anggota Parlemen Belanda mewakili Partai Komunis Belanda. Kerjasama ini  membuat PI terasing dari kaum nasionalis di tanah air. Tahun 1937 saat Parlindoengan menjadi Ketua, PI lebih memilih bekerjasama dengan partai Sosial Demokrat Belanda. Hubungan dengan kaum nasionalis di tanah air juga pulih kembali.

Meski begitu, di Belandasendiri tuduhan bahwa PI berhaluan komunis tetap muncul sampai Parlindoengan Lubis ditangkap dan dijebloskan di kamp konsentrasi Nazi.

“Jenderal Guntur”

Perlindoengan Loebis, lahir 30 Juni 1910 di Batang Toru, 54 km dari Sibolga, Tapanuli Selatan. Ayahnya, Karisutan gelar Sutan Guru Sinomba semula adalah karyawan perusahaan karet Sumatra Cultuur Plantage Maatschappij (SCPM) yang baru dibuka di Batang  Toru. Tahun 1914, ayahnya dipindahkan ke Sibolga dan diangkat sebagai agen SCPM yang bertugas mengekspor karet dan kopi dari kebun SCPM lewat Pelabuhan Sibolga.

 Ibunya bernama Siti Halijah. Parlindoengan memiliki tiga orang adik, yakni Siti Norjani, Mohamad Amirsjah dan Siti Noeralam. Saat berusia 9 tahun, ayahnya bercerai, lalu menikah lagi dengan Numora Harahap gelar Danggor Mauri Bulung. Dari istri kedua Parlindoengan memiliki 9 orang adik. Kakek Parlindungan adalah Raja Gumanti Porang Dibata, raja dari Pakantan Dolok, Tapanuli Selatan.

Meski secara ekonomi hidup berkecukupan, namun seperti umumnya anak-anak, Parlindoengan  punya beberapa “kenakalan”. Namun dalam bukunya ia menyebut sebagai sikap “berdikari”.

Sewaktu duduk di kelas VI Europeesche Lagere School (ELS) Sibolga, ia pernah naik  ruk pengangkut karet dari Batang Toru ke Pelabuhan Sibolga. Truk itu milik ayahnya, jumlahnya ada 3 buah. Ada aturan, saat mengangkut karet, sopir dilarang  mengambil penumpang di tengah  jalan. Tapi saat Parlindoengan ikut naik truk, ia justru meminta sopir menaikkan penumpang. Saat itu ia mengaku kehabisan uang saku pemberian ayahnya. Agar tak terbongkar, 1 kilometer sebelum Sibolga, penumpang disuruh turun.

Ongkos yang ditarik dari penumpang oleh Parlindungan, juga dibagi berdua dengan sopir. Saat disuruh belanja ke pasar oleh ibunya, kadang ia menaikkan harga barang, kelebihannya masuk kantong sendiri. Di pekarangan rumah orangtuanya juga terdapat tanaman buah seperti jambu air, jambu biji, delima dan jeruk bali. Saat berbuah, ia diam-diam  menjual buah-buahan itu.

Buah delima dijual keorang Arab atau India, sedang jeruk bali dijual ke orang Tionghoa yang berani membeli Rp 1,5 per biji.  Di rumah Parlindoengan mendapat julukan  “Jenderal Guntur”. Itu merujuk pada Gubernur Jenderal Daendels yang terkenal bengis saat memimpin proyek pembuatan jalan raya dari Banteng sampai Banyuwangi. Tak ada penjelasan kenapa ia disebut “Jenderal Guntur”.

Apakah karena kenakalan-kenakalan di atas? Tak jelas. Namun Parlindoengan pernah dimarahi dan ditempeleng ayahnya karena ketahuan pernah memancing di sebuah daerah yang jaraknya 11 km dari rumahnya. Saat sekolah di AMS Batavia, ia juga dikenal sebagai tukang “ribut” (debat) di kelas.

Banyak Kesempatan Berdebat

Tamat dari ELS Sibolga, Parlindoengan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan, selesai tahun 1927. Tak ada perkisahan Parlindoengan saat berada di Medan. Namun ibunya, Siti Khalijah, juga tinggal di Medan setelah bercerai dan menikah dengan  ayah tirinya.

Setelah tamat MULO, Parlindoengan melanjutkan pendidikannya di Algemene Middelbare School (AMS) di Batavia. Ia dikenal pintar dalam pelajaran kimia. Pandai berdebat dan suka mendebat gurunya. Tak heran, jika  seorang  guru memanggilnya  “si komunis kecil”.

Pernah saat ujian akhir kimia, ia bikin ribut. P. Levedag, gurunya bilang:” Jika kamu lebih pintar, kamulah yang menjadi gurunya.” Tanpa banyak komentar, Parlindoengan bangkit dari kursinya dan duduk di kursi tinggi untuk guru. P. Levedag lalu disuruh di bangku, dan bersedia. Lalu apa yang dilakukan Parlindoengan?

Ia mengeluarkan rokok dan merokok!

“Hai, kamu tidak boleh merokok di dalam kelas,” kata gurunya.

“Kamu tidak boleh melarang apa-apa sekarang, aku adalah guru dan kamu muridnya.”

Keakraban seperti itu, menurut Parlindoengan terjadi antara guru dan siswa semasa ia di AMS. Guru-gurunya dinilai memiliki pendidikan modern. Mereka juga bersimpati terhadap perjuangan dan pergerakan pemuda Indonesia. Siswa banyak diberi kesempatan berdebat,  termasuk dengan guru, misalnya tentang  kultur stelsel, kuli kontrak dan pajak-pajak yang memberatkan rakyat.

Saat AMS, Parlindoengan menjadi pengurus Jong Batak sebagai administratur 1. Saat itu ketua Jong Bataks, dijabat P. Siregar, Sekretaris I Amir Sjarifuddin dan Sekretaris II, Mahjudin.

Sebelum melanjutkan pendidikan kedokteran di Belanda, tamat AMS, Parlindoengan mengambil sekolah kedokteran Kandidat I di Geneeskundige Hogeschool di Batavia. Setelah selasai, tahun 1932 ia melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Leiden dan selesai tahun 1940.

Kurang lebih 3 bulan setelah kuliah di Belanda, Parlindoengan masuk menjadi anggota PI, organisasi mahasiswa di Belanda yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya tak mudah diterima jadi anggota PI. Selama 3 bulan ia diamat-amati anggota PI, diajak bertukar pikiran dan berdiskusi sebelum diputus diterima atau tidak. PI saat itu juga dianggap sebagai organisasi setengah ilegal. Akibatnya tak banyak mahasiswa  Indonesi berani mendaftar.

Apalagi umumnya orangtua mereka adalah pegawai pemerintah kolonial.  Departemen Van Kolonien juga mengawasi pergerakan mahasiswa. Orangtua di tanah air ditekan agar anak mereka tak jadi anggota PI. Jika si mahasiswa tetap membangkang, kiriman uang dari orangtua bakal ditahan. Mereka juga diancam bakal dipecat sebagai pegawai negeri.

Keadaan seperti itu membuat PI bak organisasi klandestin. Pertemuan diadakan secara tertutup dan per grup. Antar anggota grup, tak saling kenal. Kepengurusan yang diumumkan ke luar pun hanya ketuanya saja. Tahun 1937, Parlindoengan terpilih sebagai Ketua PI.

Saat itu propaganda bahwa PI organisasi komunis tak surut. Tahun 1938 bersama Sidartawan, sekretaris  PI, Parlindoengan pernah menghadap Welter,  Minister van Kolonien, minta agar PI dihapus dari daftar hitam organisasi. Tapi hasilnya sia-sia. Di koran Belanda bahkan sering muncul usulan agar Parlindoengan ditangkap karena selalu meneriakkan revolusi untuk Indonesia.

Tahun 1937 PI lebih membuka diri, mereka aktif menjalin hubungan dengan organisasi mahasiswa lain. Anggota PI juga aktif menulis pikiran-pikiran mereka tentang kemerdekaan Indonesia dan dikirim ke tanah air. Hubungan PI dengan partai-partai nasionalis di tanah air pun membaik.  PI  juga bekerjasama dengan Partai Sosial Demokrat Belanda, sehingga cap merah mereka pun hilang.

Hati Sekeras Batu dan  Buang Rasa Sentimentil

Saat tentara Nazi menaklukkan Belanda, mereka menangkapi kaum anti fasis Belanda, terutama dari kalangan buruh, pendukung partai Sosial Demokrat pun kena tangkap tak terkecuali Parlindoengan.

Tanggal 26 Juni 1940 ia pertama kali ditahan dipenjara Wetteringschans.

“Aku dimasukkan ke sebuah sel yang telah dihuni oleh tiga orang. Besar ruangan itu tiga kali tiga meter dan mempunyai dua tempat tidur besi tanpa kasur…. Dalam ruangan itu ada sebuah lubang di mana kami dapat buang air kecil dan besar. Lubang itu ditutup dengan sebilah kayu saja. Siapa yang tidur dekat lubang itu akan mencium bau yang amat busuk….”

Inilah awal penderitaan Parlindoengan. Setelah itu ia dipindah Kamp Schoorl, lalu dipindah lagi ke Kamp Amersfoort. Setelah itu ia dipindahkan ke  Kamp Konsentrasi yang terkenal karena kekejaman serdadu penjaganya,  Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman. Mei 1945, Nazi menyerah ke Sekutu, Parlindoengan kembali menjadi orang bebas dan berkumpul kembali dengan Clara Johanna istrinya.

Bagaimana Parlindoengan bertahan dan bisa selamat dari kamp konsentrasi Nazi?

 “Aku pertama-tama harus mempunya hati yang keras dan tanpa rasa, seperti batu. Segala perasaan yang sentimentil dan cengeng harus dibuang jauh-jauh. Semua kenangan pada semua yang kucintai, istri, orang tua, saudara, kampung halaman yang jauh, harus dilenyapkan. Perlindoengan juga mengaku harus kembali jadi manusia primitif. Makan secukup mungkin, tidak sakit dan mengeluarkan tenaga sedikit mungkin.

Parlindoengan Loebis (kiri) di Asrama Jan Pieterszoon Coen Jakarta.

Sebuah pilihan yang tak mudah. Ia masih punya orangtua dan saudara kandung di Sibolga dan Medan, ia juga kurang lebih 3 bulan menikah. Tapi itulah harga yang harus dibayar seorang aktivis pergerakan politik  yang menginginkan kemerdekaan negaranya.

Dimuat di Harian Analisa, rubrik Cakrawal, Minggu, 31 Mei 2020

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *