Musim Menjagal: Melawan Narasi 1965 Orde Baru

Fahmi Sirma Pelu


Buku berjudul ​Musim Menjagal (2018) itu nampak berdiri tegak di atas meja, tepat di bagian paling depan ruang seminar Magister Administrasi Publik (MAP) UGM​.​ Dalam acara diskusi MAP Corner UGM pada Selasa (9/10) dihadirkan dua orang pembicara utama, yakni Yoseph Yapi Taum, dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, dan Najib Azca, dosen Sosiologi UGM, untuk membedah buku ​Musim Menjagal milik Geoffrey Robinson. ​Arif Novianto, moderator diskusi, memberi pengantar perihal buku yang diterjemahkan oleh Komunitas Bambu dari versi bahasa Inggrisnya yang berjudul The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-1966 (2018 )ini. Buku ini menjabarkan tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi pada periode 1965-1966.

Dalam buku tersebut, Geoffrey Robinson menyebutkan bahwa peristiwa pembantaian simpatisan dan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) atau yang umum dikenal dengan sebutan Gerakan Satu Oktober (Gestok) adalah sebuah genosida.​ Yoseph menjelaskan bahwa kelebihan dalam buku ini adalah Geoffrey memuat angka korban dengan data-data yang dapat dipercaya. “Geoffrey mengungkapkan angka akademis yang dapat dipertanggungjawabkan, jumlahnya 500 ribu sampai dengan 1 juta korban jiwa, berbanding terbalik dengan angka dari Sarwo Edhie, misalnya, yang menyebutkan angka korban mencapai 3 juta jiwa​,”​ ungkap Yoseph.

Sementara itu, salah seorang peserta diskusi, Willy, mahasiswa FIB UGM, mempertanyakan signifikansi fakta dan data yang ada dalam buku ini jika dibandingkan dengan buku serupa lainnya. Najib menuturkan bahwa sebetulnya tidak ada kebaharuan yang signifikan dari apa yang dimuat dalam buku ini. Namun terlepas dari hal tersebut, Najib menjelaskan bahwa buku ini memberikan sumbangsih yang sangat bermanfaat untuk pembaca memahami peranan dari setiap dimensi yang terlibat.

Najib menambahkan bahwa Geoffrey menghadirkan narasi baru terkait peristiwa 1965 lewat analisis tiga faktornya. “Analisis tiga faktor, yang antara lain adalah peranan Angkatan Darat, peranan internasional dan faktor konteks historis, saya kira ini yang bermanfaat untuk kita mengetahui dimensi-dimensi yang berperan aktif dalam peristiwa itu,”​ tutur Najib.

Ketua Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma, Romo Baskara, menambahkan bahwa buku ini memang tidak mencoba menghadirkan data baru terkait tragedi 1965-1966. Romo membandingkannya dengan buku lain milik Geoffrey yang berjudul ​The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali (1995)​ yang menurutnya memberikan pandangan baru terkait peristiwa 1965 di Bali. Sementara itu, Yoseph justru berpendapat, “Geoffrey coba menjelaskan mana saja fakta yang masih kabut dan mana saja fakta yang masih tabir.​”

Najib menyatakan bahwa terlepas dari studi-studi soal peristiwa 1965 yang sudah banyak jumlahnya, masih ada sisi lain yang perlu dikaji lebih dalam, seperti salah satunya adalah peranan politik dan militer dalam peristiwa 1965. Senada dengan hal itu, Romo Baskara juga menuturkan bahwa masih banyak aspek lain terkait peristiwa 1965 yang belum terungkap. Menurutnya, hal itu adalah tanggung jawab generasi muda untuk mengungkapkan sebagai bentuk perlawanan atas narasi yang dibangun oleh Rezim Orde Baru.

Sumber: http://www.balairungpress.com

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *