Misbach Yusa Biran dan Sejarah Film Indonesia

Amalia Sekarjati

Kontributor Kineforum


Saya seorang mahasiswi semester tiga di suatu perguruan tinggi swasta. Senin, 9 November 2009, saya harus ikut serta di Ujian Tengah Semester (UTS). Andaikan, saat UTS nanti ada soal “Sebutkan nama-nama pekerja film Indonesia!” saya pasti akan menulis nama Riri Riza, Nia Dinata, Joko Anwar, Upi, Mira Lesmana, Rudi Soedjarwo, Monty Tiwa, dan nama-nama aktor aktris yang segudang. Namun, setelah saya menghadiri launching dan diskusi buku Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa karangan Misbach Yusa Biran, maka jawaban saya pasti berbeda. Saya pasti akan turut menyebutkan nama Misbach Yusa Biran, Teguh Karya, Usmar Ismail, Djajakusumah, Sjumandjaja dan sejumlah orang yang luar biasa berjasa atas eksistensi film Indonesia. Acara yang berlangsung di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki pada tanggal 6 November lalu itu memberikan saya banyak pengetahuan dan pengalaman.

Mungkin sebaiknya saya ceritakan sesuai susunan acaranya. Dimulai dari sambutan oleh M. Abduh Azis, selaku Anggota Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di mana DKJ turut berpartisipasi dalam penerbitan buku tersebut. Beliau bicara mengenai betapa masyarakat sekarang tampak melupakan sejarah, betapa hal-hal yang ada sekarang dianggap hadir begitu saja, sehingga ia mengajak untuk membaca buku itu agar bisa mengenali perjalanan film di Indonesia. Bukan hanya yang dulu pernah terjadi, tetapi juga menyadari kondisi perfilman Indonesia di masa kini. Serta bukan tidak mungkin bahwa apa yang terjadi sekarang, seperti polemik-polemik yang ada, pernah terjadi juga di masa lampau.

Selanjutnya sambutan dari Misbach Yusa Biran sendiri mengenai buku yang ditulisnya dengan multiperan: sebagai cendekiawan pengamat, pencatat sejarah perfilman Indonesia, danyang paling pentingpelaku sejarah itu sendiri. Sambil diselingi gurauan, beliau memaparkan bahwa pada masa 1900-1950an itu produksi film masih dominan di Jawa. Maka dari itu, buku ini menyertakan judul Bikin Film di Jawa. Beliau juga menceritakan rencana diterbitkannya buku sejarah film mulai dari tahun 1960an, sebagai ‘kelanjutan’ dari buku yang sekarang ini terbit. Lantas kabar ini diterima sebagai kabar baik bagi semua yang hadir di sana.

Setelah dua sambutan yang menyiratkan kekhawatiran sekaligus harapan, diputarlah film Batavia: Tempoe DoloeFilm bisu yang diproduksi tahun 1920an ini menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia di masa kolonial. Dari sini dapat dilihat keseharian masyarakat, karakter masyarakat, kondisi sosial masyarakat, dan hubungan yang terjalin di masyarakat. Bagi saya, film ini dibuat dengan sangat sederhana namun memberikan kesan dan informasi yang menarik, yang menggambarkan zamannya. Selain itu, menyaksikan film ini membuat saya membandingkan kompleksitas masyarakat Indonesia dulu dengan sekarang.

Lalu, masuklah ke acara inti berikutnya yakni diskusi buku yang sangat dinanti. Diskusi ini melibatkan Lisabona Rahman sebagai moderator, kritikus film Eric Sasono sebagai pembicara, dan aktor kawakan Slamet Rahardjo juga sebagai pembicara.

Apa yang saya dapatkan dari diskusinya? Banyak. Terlalu banyak untuk saya uraikan satu per satu. Eric Sasono mengutarakan kegelisahannya sebagai bagian dari generasi yang kehilangan, generasi yang tidak bisa menyaksikan karya-karya dari “pendahulunya”, yang melahirkan benih-benih perfilman di Indonesia, akibat minimnya atensi masyarakat dan pemerintah mengenai pengarsipan. Saya pun menjadi lebih gelisah. Karena jika Eric Sasono menyebut generasinya generasi kehilangan, apalagi generasi saya? Kehilangan berarti masih menyadari ada kepemilikan, meski hak memiliki itu jadi tak bisa direalisasikan. Tapi generasi saya, saya bisa bilang bahwa mungkin generasi saya adalah generasi yang merasa tidak memiliki. Generasi yang tidak tahu bahwa ada harta karun milik bangsanya yang ditanam para maestro generasi dulu. Tidak tahu sama sekali.

Hal lainnya yakni saya diingatkan bahwa belum tentu yang ada sekarang, yang terjadi sekarang adalah suatu kemajuan, suatu perbaikan kualitas. Untuk itulah kita perlu mengetahui sejarah, untuk menilai kondisi kini, apakah yang terjadi adalah suatu progres atau justru mengalami dekadensi? Deskripsi Slamet Rahardjo tentang bahasa film dari film-film Indonesia di tahun 50-an tampak lebih baik buat saya dibandingkan bahasa film di masa sekarang, khususnya untuk film-film yang bertema sama. Belum lagi perkataan beliau yang menyuratkan betapa Usmar Ismail berhasil menyajikan “kehidupan” lewat film-filmnya, bukan sekedar “tontonan” seperti yang ditawarkan sebagian besar film-film sekarang. Untuk itulah sejarah film Indonesia perlu dikenali, bukan hanya untuk dilihat dari segi teknis semata dan lewat sudut pandang filmnya saja, tapi untuk memahami perjalanan bangsa ini juga.

Dari pernyataan dan pertanyaan para peserta diskusi pun saya mendapat fakta-fakta menarik seperti adanya dua film Usmar Ismail yang beredar di sebuah daerah di Malaysia dan peredarannya sangatlah bebas, penjelasan prosedur serta fasilitas yang bisa dinikmati di Sinematek Indonesia, satu-satunya lembaga pengarsipan film yang didirikan oleh Misbach Yusa Biran juga, dan lainnya.

Pada intinya, diskusi ini menyadarkan saya betapa pentingnya keberadaan sosok Misbach Yusa Biran yang peduli akan sejarah. Ia membuktikannya dengan upayanya mengarsipkan dan mencatat perjalanan film Indonesia sebagai buah tangan untuk generasi yang hidup di zaman sekarang. Terutama lagi, pentingnya kelahiran buku Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa karangan beliau. Pasalnya tulisan ini membantu kita mengenali negeri kita sendiri lewat sejarah filmnya yang dituliskan dengan gaya yang menarik dan tidak membosankan seperti buku sejarah pada umumnya. Mengutip deskripsi yang diberikan oleh Slamet Rahardjo, membaca buku ini sama seperti saat sedang memadu kasih bersama kekasih, bahkan sama seperti saat bersenggama dengan istri. Di buku ini, ada banyak sekali fakta-fakta menarik yang mengejutkan yang terkesan sepele, tetapi justru sangatlah penting dan berkesan.

Tidak ada kata-kata yang mampu menggambarkan jasa seorang Misbach Yusa Biran, khususnya bagi perfilman Indonesia. Semuanya sudah terwujud dalam karya nyata, bukan omongan belaka. Semua ini akan menjadi percuma jika generasi muda melepas jubah kepedulian, menutup mata serta berdiam diri saja. Akhir kalimat, izinkan saya mengutip dialog tokoh di film “Ruma Maida” (2009), Dasaad Muchlisin, tentang sejarah, “…yang manis, kita rayakan. Yang pahit, kita catat, agar tidak terulang lagi…”

Sumber: https://kineforum.wordpress.com/2009/12/16/misbach-yusa-biran-dan-sejarah-film-indonesia/