Onghokham: Implementasi Buku, Pesta, dan Cinta

Implementasi Buku Onghokham

Sebagai sejarawan, beliau piawai menjadi saksi langsung dan tahu tentang apa yang terjadi terhadap peristiwa yang menjadi perhatiannya. Sebagai cendikiawan, beliau peka terhadap denyut kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat sekitarnya. Kombinasi keduanya menjadikan karya dan pemikiran Onghokham unik dan inspiratif. Uraiannya mengenai peran dan sosok jago dalam sejarah Indonesia periode kolonial memberikan pemahaman kongkrit tentang bagaimana sifat dan bentuk kekuasaan politik di Indonesia, paling tidak sepanjang periode kekuasaan otoriter Orde Baru. Sejarawan di Indonesia yang pertama kali mempelopori penulisan persoalan sejarah di media adalah  Beliau. Beliau sering menulis pada kolom sejarah di majalah Tempo, Begitu juga dengan karyanya, Beberapa buah karya Ong Hok Ham yang telah dipublikasikan antara lain, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara (2003) yang merupakan kumpulan tulisan beliau di Harian Kompas.

Selanjutnya, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003), buku ini berisi 70 buah karangan Ong di Majalah Tempo. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa (2005), yang didalamnya terdapat 14 buah tulisannya di Star Weekly. Selain itu ada pula buku The Thugs, the Curtain, and the Sugar Lord–Power, Politics, and Culture in Colonial Java (2003), Rakyat dan Negara (1983), Runtuhnya Hindia Belanda (1987), Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia lalu Sukarno: Orang Kiri, Revolusi dan G 30 S 1965. Lalu ada juga tulisan Ong yang berjudul “The Inscrutable and the Paranoid: an Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair” dalam buku Southeast Asian Transition, Approaches Through Social History (ed) Ruth Mc Vey, sebuah buku persembahan untuk Prof. Harry J. Benda.

Petani, kaum priayi, dan kolonialisme tiga tema yang sering muncul dalam tulisan-tulisan Onghokham. Kolonialisme merupakan aspek yang menarik perhatian Onghokham sejak muda. Dalam usia 35 tahun, ia menyelesaikan skripsi yang tebal (287 halaman setelah dicetak) mengenai berakhirnya kolonialisme (Runtuhnya Hindia Belanda, Jakarta: Gramedia, 1987). Berkat kecerdasan dan keseriusan, sejarawan berdarah Tionghoa ini berhasil menyelesaikan gelar doktor di Yale University, Amerika Serikat tahun 1975. Dan tidak ala kadarnya bersekolah, Ong melahirkan disertasi bermutu. Tidak tedeng aling-aling Benyamin White, guru besar pada Institut Studi Sosial, Belanda, memberikan pernyataan tegas, “kalau orang mau belajar sejarah petani Indonesia, dia mutlak harus membaca dua buku, yaitu disertasi Sartono Kartodirdjo, “The Peasant’s Revolt of Banten in 1888” dan Onghokham “The Residency of Madiun: Priyayi and Peasant in the 19th Century”. Menurut White, kedudukan Ong sejajar dengan Sartono dalam studi tentang sejarah petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa.

Onghokham memang sejarawan yang handal, beliau mengembangkan sebuah pendekatan global dalam studi sejarah Indonesia. Maksudnya, kita harus paham sejarah dunia, khususnya sejarah Eropa dan Asia apabila ingin menulis sejarah Indonesia pada masa kolonial agar analisis dan rekonstruksinya tepat. Beliau mengajarkan sebuah pendekatan global untuk rekonstruksi dan metodologi sejarah yang pada akhirnya untuk karya historiografi Indonesia.

Sebagai bukti karya karyanya yang inspiratif mampu bertahan hingga kini dan terus menjadi rujukan beberapa penulisan Sejarah Kolonial, Pertanian, dan Sosial.

Implementasi Pesta Onghokham

Selain dikenal pandai mengolah sejarah, pak Ong juga seorang kolumnis yang gemar makan. Seorang gourmet (ahli mencicipi/menilai makanan) dan juga koki. Sebenarnya kepandaian beliau memasak di dapat saat kuliah di Yale. Tidak salah apabila sekembali dari Yale, beliau mendapat dua gelar yaitu sebagai doktor dan koki. Pak Ong merupakan pengajar yang unik. Beliau lebih senang bepergian dengan bus. Menurutnya dengan naik bus, beliau dapat mengetahui dan mengamati bagaimana kehidupan masyarakat di luar.

Pak Ong sangat senang menyantap tempe Malang, sambal gandaria, bandeng bakar, jangkang, nasi rawon dan telur asing yang masih masir (berserbuk). Pak Ong juga hobi minum kopi robusta yang beliau beli di Stasiun Jatingera dan menghisap rokok Gudang Garam filter. Mengenai selera kuliner Chinese, beliau gemar mengudap babi panggang, babi hong, bakut tei, mie dan pangsit goreng, baso tahu. Di siang hari beliau akan menjadi pria yang sederhana, namun di kala malam beliau sudah siap berpesta bersama kolega-kolega asing dan berbincang-bincang dengan bahasa Belanda serta bahasa Inggris. Onze Ong memang bergaya kosmopolitan.

Sosok satu ini paling senang menghadiri pesta-pesta. Bukan karena soal makanan, tapi juga mencari gelas yang isinya alkohol. Onghokham juga sering menggelar pesta dirumahnya yang terletak di daerah Cipinang, terutama saat beliau ulang tahun. Makanan yang disajikan ia masak sendiri. Dan bahan-bahannya juga ia beli sendiri. Ia akan naik kendaraan umum untuk berangkat ke Pasar Senen membeli daging babi, lalu ke Blok M membeli daging sapi dan mencari ikan bandeng segar di Pasar Pagi. Dimalam hari begitu banyak kolega-koleganya yang hadir. Mulai dari kalangan intelektual, artis, seniman, duta besar, politikus dll. Menurut Takashi Shiraishi, pesta yang diadakan oleh Ong adalah pesta yang menghidangkan nice meal, nice drink, and nice talk.

Selain itu Onghokham juga menggemari masakan Eropa. Contohnya seperti, pate, Hungarian salami, Scandinavian salmon smoked, berbagai jenis keju, roti baguette dan masih banyak lagi. Mengenai minuman favorit dari pak Ong jelas Scotch whisky. Pak Ong juga gemar meminum bir, serta wine. Mengenai Scotch whisky, pak Ong mengaku pertama kali mengenal minuman tersebut saat menjadi liasion officer di KAA Bandung tahun 1955. Di tiap malam ia seringkali mabuk. Parahnya lagi, pak Ong juga sering datang mengajar dalam kondisi setengah mabuk. Anehnya disaat sedang sekarat, beliau masih sempat-sempatnya memikirkan isi lemari es dan koleksi alkohol. Sungguh pribadi yang unik.

Implementasi Cinta Onghokham 

Oleh mahasiswa atau mahasiswinya, pak Ong dikenal sebagai dosen killer. Beliau kerap meneror murid-muridnya dengan pertanyaan yang susah. Bahkan tidak segan-segan beliau melempar penghapus papan tulis ke arah muridnya yang tidak bisa menjawab pertanyaannya serta ribut dikelas. Kata-kata goblok sering beliau lontarkan kepada para muridnya. Untuk mahasiswa atau mahasiswi yang malas membaca, sering dikatakan “bayi-bayi besar yang buta huruf”. Tradisi membaca memang beliau tanamkan kepada murid-muridnya di UI. Selain killer, pak Ong juga unik. Beliau seringkali membawa ikan segar yang habis dibeli dipasar ikan, bau amis pun mencemari ruang kelasnya. Beliau tidak mengajar penuh di UI, umur 55 tahun beliau pensiun dari UI. Beliau terpaksa berhenti disaat pangkatnya masih golongan III C. Ada yang mengatakan bahwa beliau terpaksa pensiun karena nomor pegawainya tiba-tiba hilang. 

Sebagai seorang penulis produktif dan selama ini telah menghasilkan banyak sekali naskah di beragam media, ingatan Ong sangat tajam. Beliau  tetap ingat pada tulisan pertamanya yang dipublikasikan, “… judulnya Perkawinan Indonesia-Tionghoa Sebelum Abad ke XIX di Jawa, dimuat dalam Mingguan Star Weekly edisi 15 Februari 1958.” Kalau tulisan pertamanya mengenai perkawinan, mengapa justru sampai hari ini Ong tetap memilih jadi bujangan? Sambil terbahak dia menukas, “Tetapi, kan, bukan jadi bujang lapuk? To be honest, saya enggak pernah mau dikritik. Dan salah satu cara terbaik untuk tidak dikritik adalah tidak usah punya istri.”

Beliau mengungkapkan rasa cintanya lewat sikap killernya terhadap para mahasiswanya agar senantiasa selalu membaca dan berkembang lebih baik dari sebelumnya. Cintanya juga mengalir lewat karya karyanya yang sudah dipublikasikan, beliau berharap ke depan ada yang meneruskan perjuangannya mengembangkan Ilmu Sejarah yang belum tergali.

Kesimpulan

Mungkin orang akan heran, bagaimana mungkin sejarawan yang banyak menulis buku, rajin melakukan penelitian, dan sering tampil dalam beragam forum ilmiah baik di dalam maupun di luar negeri ini tidak pernah bisa diangkat menjadi mahaguru dan bergelar profesor. Jasa Onghokham yang paling besar pada sejarah Indonesia adalah menampilkan masa lampau bangsa ini di media massa. Ia menjadikan sejarah bukan sesuatu yang hanya diperbincangkan di menara gading. Sebagai penutup, penulis bukanlah seorang yang sempurna dan belum terlalu mahir dalam penulisan sejarah. Dalam tulisan ini penulis bermaksud untuk merefleksikan ingatan kepada khalayak umum terhadap seorang tokoh besar dalam perkembangan Ilmu Sejarah di Indonesia yang sedang berulang tahun ke 84 tahun bernama Onghokham, meskipun beliau sudah tiada namun karya karyanya akan abadi dan terus menginspirasi kita. Semoga bermanfaat…..


Sumber Buku:

Achdian, Andi. 2011. Sang Guru dan Secangkir Kopi: Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia. Jakarta. Kekal Press

Onghokham. 2017. Migrasi Cina, Kapitalisme Cina, dan Anti Cina. Depok. Komunitas Bambu

__________. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta. LP3ES

__________. 2017. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok. Komunitas Bambu

__________. 1987. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta. PT Gramedia

Panitia Peringatan 100 Hari Wafatnya Onghokham. 2007. Onze Ong: Onghokham dalam Kenangan. Depok. Komunitas Bambu

Sumber Koran:

Sejarawan Besar Tanpa Gelar Profesor (Julius Pour, Kompas 1 Mei 2003)

Sumber Website:

https://serbasejarah.wordpress.com/2009/06/06/mengenal-sejarawan-indonesia-ong-hok-ham-dan-sejarah-indonesia/

https://onghokhamtionghua.wordpress.com/

http://onghokham-institute.blogspot.co.id/2007/10/onghokham-dan-sejarah-indonesia.html

Sumber: https://www.academia.edu/34213317/Onghokham_Buku_Pesta_dan_Cinta

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *