“Mereka Keriting & Suka Berperang“…: Catatan buku Indonesia Timur Tempo Doeloe
Hatib Abdul Kadir
Pengajar Antropologi Budaya Universitas Brawijaya
Kumpulan buku karangan yang diedit oleh George Miller di sini adalah awal dari Barat ke dunia Timur dengan mengusung berbagai kekagumannya. Cerita-cerita tentang pertemuan antara orang-orang Eropa dan Amerika dengan masyarakat Indonesia Timur, hampir semua catatan oleh para petualang berkebangsaan Inggris, mudah untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dalam catatannya, masyarakat pribumi hilang dan tidak dinarasikan, kecuali pertemuan-pertemuan sang pengelana dengan para elit. Misal Sultan di Ternate dan Tidore. Cerita perjalanan penuh dengan mereka untuk para petualang terhadap peperangan antara Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Ternate, melawan Portugis yang dibantu oleh kesultanan Tidore di abad 17. Catatan-catatan perjalanan juga bersifat ringkas.
Pandangan terhadap “Mentalitas” orang Indonesia Timur
Tulisan-tulisan di Buku Miller ini, pada pertengahan abad 15—16 tidak lepas dari moral dan narasi diskriminatif terhadap satu pihak. Catatan-catatan seperti ini juga sesuai dengan sasaran empuk kritik orientalisme. Pandangan terhadap dunia timur ini digunakan pada sifat mentalitas masyarakatnya. Contoh orang Muslim di Maluku atau yang disebut Moor digambarkan sebagai lelaki yang pencemburu, benci babi, suka menaklukkan perempuan, pemalas (hal. 37-38). Tampak sekali bahwa para petualang ini memiliki jarak yang luas dengan masyarakat pribumi, yaitu segala sesuatu, mulai dari pakaian, cara berperilaku sampai hantu bagi mereka. Di beberapa catatan tentang orang Papua (Radja Ampat) juga digambarkan oleh Thomas Forrest, sebagai masyarakat yang “doyan” makan manusia atau kanibal (hal. 68). Kabar masyarakat kanibal juga didengar oleh Wallace ketika pertama kali mendarat di Manado dan Tondano di Sulawesi Utara (hal. 155).
Kesan-ekspresi yang bersifat stereotipikal yang mengacu pada isu mentalitas sangat terasa dalam buku ini. Seperti misal William Bligh, kapten kapal The Bounty yang terdampar di Nusa Tenggara pada tahun 1792 untuk orang Kupang sebagai orang yang malas (hal. 83). Serupa dengan hal-hal itu, David Woodward, seorang petualang berkebangsaan Amerika, ditawan di Donggala, Sulawesi Tengah pada kisaran 1793 dan masyarakat di sana sebagai orang yang iri dan mudah dendam (hal. 92). Demikian juga kabar yang didapat dari Kapten Owen Stanley pada tahun 1840 Orang itu orang Tanimbar yang diketahuinya tidak dapat dipercaya (hal. 145). Henry Forbes, dalam perjalanannya ke masyarakat Tanimbar dan mengungkapkan stereotipe dan menangani gerakan desa dan juga pada masyarakat berburu dan meramu (hal. 187). Catatan Anna Forbes, 1882, kompilasi ke Timor-Selatan dan Timor-Leste tidak bisa diandalkan, dan mewarisi sifat pencuri dan tamak.
Para pendatang di sekitaran abad 16—17 juga bukan antropolog atau sejarawan yang mumpuni. Melindungi mereka adalah para ahli botani atau zoolog , yang kemudian mereka juga dapat memanfaatkan kegiatan ekonomi sosial masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Joseph Bank (41-55), seorang ahli tanaman dari Inggris yang terdampar di Sawu, NTT. Karena itu, catatan laporan mereka masih terus bergulir dengan masyarakat pribumi. Hampir semua tulisan, terutama dari abad 16—18 ditulis dari satu arah pengamatan, tanpa ada perbincangan yang mengintensifkan dengan masyarakat pribumi.
“Mematikan Subjek” yang Diamati
Kelemahan buku ini tidak menjelaskan bagaiamana dari pola-pola pikir para naturalis seperti ahli botani dan zoolog seperti Alfred Russel Wallace dan Henry Ogg Forbes yang datang ke Tanimbar (hal 177-198) untuk analisisnya. Apakah efek dari pengetahuan terhadap tanaman dan hewan kemudian merambat pada pola atau tidak, yang tidak dapat dilakukan oleh para naturalis tersebut. Saat ini saya membaca buku ini, para petualang panggilan masyarakat pribumi pada keunikan yang tidak ditemukan di tempat lain atau di kawasan yang menjadi latar belakang si petualang. Ini adalah apa yang Anda inginkan pada hewan endemik (tidak ditemukan di tempat lain).
Selain itu, buku ini juga jarang menampilkan perspektif perempuan yang berbeda dengan kacamata laki-laki. Anna Forbers misalnya, mencari sensitif dan khawatir melihat laki-laki di Timor. Ia menampilkan gerak-gerik yang dikenal dari laki-laki pribumi. Kekuasaan berlebih ini menimbulkan batasan yang tegas antara wanita kulit putih dan pria pribumi. Sikap Forbes ini menguatkan tesis Ann Laura Stoler, seorang antropolog sejarawan ahli perempuan di Hindia Belanda. Ia menegaskan bahwa perempuan adalah garda depan penjaga batas antara masyarakat kulit putih dan orang-orang pribumi (Stoler, 1995) Ketakutan perempuan terhadap masyarakat pribumi karena mereka dianggap dekat dengan wabah, kekotoran, polutif, dan penuh dengan dunia kegelapan.
Kelemahan lainnya dari buku ini, potret pada Pembelajaran yang menghasilkan representasi masyarakat yang tidak bisa hidup. Observasi semata-mata yang tidak melibatkan wawancara atau perbincangan dengan masyarakat pribumi yang membentuk rasa perjalanan tidak berhasil bagi masyarakat yang memperhatikan. Dengan demikian bentuk informasi para penjelajah tidak ada bedanya berisi manusia dengan benda yang mati yang ditemui, seperti pantai, gunung, pohon kelapa hingga komodo. Namun demikian, dari 28 catatan laporan ini, tulisan Maslyn William, penulis Australia yang berkunjung ke Makassar pada masa Orde Lama, adalah yang paling saya suka.
Penulis tidak bercerita mengenai “ke-endemik-kan” masyarakat yang dikunjunginya, sekaligus ia bercerita tentang semangat jaman pada dekade 1960-an di bawah pemerintah Soekarno. Maslyn menceritakan kondisi Makassar yang menegangkan di tengah-tengah usaha makar Kahar Muzakkar dan anak buahnya yang ingin melepaskan diri dari Indonesia. Maslyn juga bercakap-cakap dengan Baharuddin, seorang Tokoh Makassar, mantan rektor Universitas Makassar dan duta besar RI di Cina. Maslyn bukan hanya merupakan subjek yang digunakan dengan cara wawancara, tetapi juga ia menghubungkan antara suasan mikro di Makassar dengan kondisi politik yang lebih luas (288). Tulisan Maslyn berbeda dari catatan orang lain yang menjadi perhatian atau orang yang menggunakan indera,
Kontribusinya terhadap Sejarah?
Catatan perjalanan ke Indonesia Timur ini juga tidak begitu banyak yang berkontribusi untuk sejarah dari perspektif orang asing. Contoh adalah catatan Bernard Callinan yang terdiri dari pasukan-pasukan khusus dan Australia dari serangan pasukan Jepang yang mulai merangsek di tahun 1943 (hal. 365). Alih-alih bercerita tentang proses bergerilya melawan Jepang, Callinan tepatnya bercerita observasinya ala abad 17 tentang objek-objek benda mati seperti rumah, pohon, bentang alam dengan panjang lebar.
Perlu, beberapa catatan sejarah perjalanan bersejarah, jelaskan alternatif yang cukup bagus, seperti laporan misal Robert Domm (hal. 387). Ia menceritakan pengalamannya dengan pimpinan gerakan Fretilin, Kay Rala Xanana Gusmão selama melakukan gerakan gerilya lepas dari pemerintah Indonesia. Demikian juga dengan catatan Herlina (hal. 373). Ia menceritakan pengalaman di tengah-tengah hutan Irian Jaya pada tahun 1962, komplotan pasukan nasional untuk diintegrasikan ke Indonesia. Dua cerita lengkap ini menawarkan sebuah sejarah alternatif untuk kita tentang dua zona yang selama ini disebut bagian dari Indonesia, padahal sesungguhnya dicaplok dengan paksa.
Apa yang bisa kami hasil dari kesan terhadap masyarakat Indonesia Timur? Haruskah orang-orang di kawasan ini dibiarkan tetap seperti yang ada dalam dimensi buku ini, dan ini adalah satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk melihat berbagai informasi. Saya rasa, ada masalah yang lebih serius kompilasi kita usai membaca buku ini.
Indonesia Timur hingga saat ini mengalami masalah sosial yang akut seperti terpeliharanya kebencian-kebencian terhadap pemerintahan pusat, perasaan yang rentan, kemiskinan hingga konflik dan kecurigaan yang berkepanjangan. Karena itu, buku George Miller ini bisa menjadi pintu kita untuk melihat masalah Indonesia Timur yang lebih serius lagi, mulai dari masalah marjinalisasi hingga ke masalah yang terjadi saat ini, yaitu kemiskinan, konflik dan korupsi
Comments (0)