Menguak Sisi Artistik Bung Karno

Achmad Sunjayadi

Pemerhati budaya


Ada banyak sisi dari bung ‘besar’ Soekarno yang telah diteliti dan dituangkan dalam bentuk buku. Terutama tentang kiprahnya dalam politik. Namun, belum ada buku yang memfokuskan pada pengungkapan alam pikiran artistik Soekarno. Bagaimana Soekarno menuangkan gagasan-gagasan awalnya ketika merintis karir sebagai seorang ingenieur lulusan Technische Hogeschool-Bandoeng (ITB) tahun 1926, hingga mencapai puncak kematangan seorang maestro di tahun 60-an dengan proyek-proyek rancangan yang sempat dianggap ambisius? Buku Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965 ini memberikan jawabannya.

Diangkat dari disertasi Yuke Ardhiati di Program Studi Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia tahun 2004, buku yang terbagi dalam enam bab mengulas sisi artistik Soekarno. Diawali dengan pembahasan teori-teori pendukung (Bab 1),  dialektika budaya multikultur Soekarno yang mengedepankan mentalite multikultur dalam struktur budaya Jawa (Bab 2), unsur-unsur pembentuk proses artistik Soekarno sebagai bagian mentalite seorang perancang (Bab 3), pembabakan karya Soekarno (Bab 4), analisis semiotika karya Soekarno (Bab 5), kajian karya-karya Soekarno secara etik dan estetik dari sudut pandang kekinian (Bab 6).

Ada tiga kota besar yang dinilai memiliki interaksi langsung dengan Soekarno dalam wacana kearsitekturan di Jawa yang mewakili nuansa arsitektural awal abad ke-20. Kota-kota itu adalah Surabaya, kota kelahiran serta tempat belajar Soekarno di HBS (Hogere Burgerschool), Bandung tempat ia kuliah dan Batavia (Jakarta) sebagai kota ‘perjuangan’ setelah  Proklamasi 17 Agustus 1945.

Sebenarnya Soekarno adalah sarjana lulusan teknik sipil. Kemampuan merancang diperolehnya secara otodidak. Ia mendapat bimbingan dari Profesor CP Wolff Schoemaker dalam mata kuliah Menggambar Arsitektur. Ia juga sempat magang sebagai juru gambar di biro arsitek milik sang profesor. Pada masa magang inilah, Soekarno diberikan kesempatan mengembangkan desain paviliun Hotel Preanger yang sedang direnovasi.

Para mahasiswa yang berminat menekuni bidang arsitektur ketika itu harus meneruskan kuliah ke di Delft, Belanda karena Technische Hogeschool-Bandoeng belum memiliki Jurusan Arsitektur.  Bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan ke Belanda, bekerja magang di biro arsitek merupakan cara terbaik menjadi arsitek perancang. Pada periode 1926-1945 ini, selain paviliun Grand Hotel Preanger, karya arsitektur Soekarno dijumpai pada beberapa rumah di sekitar Jl. Gatot Subroto, Jl Palasari, dan Jl. Dewi Sartika, Bandung (hal 147).

Dalam seni kriya, Soekarno berusaha menggali potensi seni kriya rakyat dan ingin mengangkatnya sebagai benda seni yang dapat ditampilkan sebagai kebanggaan nasional. Karyanya seperti rana (penyekat ruangan) yang berdaun tiga. Di bagian tengah terdapat hiasan kulit binatang yang ditatah dan disungging tokoh-tokoh wayang, seperti Betara Kresna, Betara Wisnu dan Arjuna.

Sementara itu kekaguman pada ibundanya yang rajin membatik ketika ia masih kanak-kanak mendorong Soekarno menciptakan rancangan modifikasi motif kain batik lereng, kombinasi warna sogan coklat dengan warna merah (hal 135). Kreativitas Soekarno juga meluas. Seperti ketika berada di Bengkulu, Soekarno membuat desain mebel. Ia berkongsi dengan seorang Tionghoa Muslim bernama Oei Tjeng Hien, membuka perusahaan mebel Sukamerindoe (hal 156).

Sedangkan salah satu rancangan tata ruang kota karya Soekarno pada periode 1945-1950 adalah rancangan skema Kota Palangkaraya yang digagas tahun 1957. Pada periode ini ditemukan juga tugu monumental sebagai bagian tata ruang kota seperti Tugu Proklamasi Jakarta, Tugu Muda Semarang, Tugu Alun-Alun Bunder Malang, Tugu Pahlawan Surabaya serta gagasan Tugu Monumen Nasional Jakarta. Khusus rancangan Tugu Monas yang berbentuk phallus atau obelisk merupakan eksplorasi dari budaya Hindu yang di Candi Sukuh berupa bentuk lingga-yoni yaitu lambang alat reproduksi laki-laki dan perempuan (hal 169-170).

Soekarno pun tidak melewatkan perhatiannya pada kondisi Masjid Al-Haram di Mekkah yang selalu penuh dengan umat Islam setiap musim haji. Tahun 1955 ia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak memberikan sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai. Pemerintah Arab Saudi akhirnya melakukan renovasi Masjid Al-Haram secara besar-besaran pada tahun 1966, termasuk pembuatan lantai bertingkat bagi umat yang melaksanakan sa’i menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf (hal 172-173).

Hal menarik lainnya dari buku ini adalah uraian mode busana Soekarno sejak masa remaja. Setelah lulus dari HBS, ia menetapkan gaya busananya yaitu gaya ‘busana modern’. Ia berkemeja, pantalon dan berdasi. Untuk urusan dasi ini, ia sempat bersitegang dengan kadi (penghulu) yang hendak menikahkannya dengan Oetari, puteri H.O.S Tjokroaminoto pada 1920. Kadi itu menolak menikahkan Soekarno karena dasi yang dikenakannya. Menurut sang kadi, dasi adalah pakaian orang Kristen. Soekarno pun tak mau kalah dan mengatakan bahwa berpakaian rapi merupakan kegemarannya:

‘Dalam hal ini biar Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi’ (hal 260).

Pilihan warna putih untuk pantalon dan kemeja menjadi pilihan Soekarno pada kurun 1926-1945. Oleh Rudolf Mrázek gaya berpakaian tersebut dimasukkan dalam bagian  Indonesian Dandy (kenecisan Indonesia). Suatu pilihan mode busana pria yang memerlukan ‘keberanian’ untuk mengenakannya pada masa itu. Belum lagi perawatannya.

Setelah mengambil sumpah sebagai presiden tahun 1945, Soekarno mulai mengenakan uniform (seragam). Mode busana berkantong ala militer ini di kalangan masyarakat dikenal dengan ‘Jas model bung Karno’ yang juga menjadi kegemaran masyarakat di periode 1945-1959. Bahkan menurut cerita Soekarno, pakaian ini menjadi pakaian nasional dan dapat dibuat dari kain seprei.

Periode 1959-1965, Soekarno tampil dengan ‘seragam militer’ dilengkapi tanda bintang dan penghargaan. Ketika ditanya apakah Soekarno sewaktu muda dulu bercita-cita menjadi militer sehubungan dengan seragam yang dikenakannya itu. Jawabannya singkat: Tidak!. Menjelang akhir kejayaannya sekitar tahun 1965, Soekarno memerlukan ‘tanda’ pelengkap selain tongkat komando, yaitu kaca mata hitam yang dipakainya baik di luar maupun dalam ruangan (hal  275).

Di masa kepresidenannya, tak ada seorang pun yang tidak melewatkan pidato Soekarno. Semua kalangan berbondong-bondong memenuhi tempat ia berpidato atau paling tidak berada di depan radio menyimak baik-baik kata demi kata yang dilontarkannya. Selain teks-teks pidato bernuansa politik, ditemukan pula ‘terminologi arsitektural’ yang terkandung dalam teks tersebut. Seperti dalam teks pidato pada Sidang Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Jakarta, 11 Juni 1945:’Philosofische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran jang sedalam-dalamnya, djiwa, hasrat jang sedalam-dalamnja untuk di atasnja di dirikan Gedung Indonesia Merdeka jang kekal dan abadi’ (hal 283).

Visi ‘merancang’ Soekarno tidak hanya untuk bangunan fisik. Dalam karir politiknya, misalnya Soekarno juga ‘merancang’ konsep Bhinneka Tunggal Ika pada 1953 yang diambil dari kalimat Mpu Tantular, konsep nation building sebagai tingkatan kedua revolusi Indonesia setelah melepaskan belenggu penjajahan hingga konsep tata dunia baru, New Emerging Forces yang melambangkan Indonesia sebagai Banteng bersama Liong Barongsai dari China, Gajah Putih dari Thailand, Karibu dari Filipina, Burung Merak dari Birma, Lembu Nandi dari India dan Ular Hydra dari Vietnam berjuang menghancurkan imperalisme (hal 305).

Dalam kehidupan sosialnya Soekarno juga ‘merancang’ konsep seorang wanita ideal dalam perjuangan Republik Indonesia yang harus mampu berperan sebagai ibu, kekasih dan kawan seperjuangan. Konsep ini dituangkannya dalam buku Sarinah dan otobiografinya (hal 306)
Dilengkapi dengan foto-foto dan gambar-gambar, buku ini cukup menarik untuk kajian sejarah arsitektur dan kriya Indonesia. Di samping itu buku ini juga telah memberikan jejak awal yang semoga bukan jejak di atas pasir yang dapat lenyap tersapu ombak. Namun, sebuah jejak di atas pahatan batu yang dapat terbaca sepanjang zaman.

Sumber: https://sunjayadi.com/menguak-sisi-artistik-bung-karno/

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *