Mengenang Romo Bowo
Indah
Jurnalis kabarinews.com
Tak banyak ahli Tiongkok di Indonesia. Dua diantaranya Ong Hok Ham dan Ignatius Wibowo Ong, seorang pendidik yang tahu betul soal sejarah Tiongkok dan perkembangannya, sedang Ignatius Wibowo, seorang pastor-pendidik yang menguasai politik Cina. Keduanya telah meninggal.
Liber Amicorum I Wibowo adalah tulisan kenangan mengenai Romo Ignatius Wibowo SJ (Serikat Jesuit) yang meninggal November 2010 karena kanker paru-paru. Penulisnya adalah sahabat, kerabat, kakak, adik, mahasiswa hingga koleganya. Siapakah I Wibowo hingga orang perlu menulis semacam obituari untuknya?
Ignatius Wibowo lahir di Ambarawa 2 Agustus 1952. Ia mengenyam pendidikan filsafat di Sekolah Tinggi Driyarkara, Jakarta, tahun 1977. Kemudian ia ditugaskan menempuh pendidikan Studi Tiongkok di Fakultas Sastra UI (Universitas Indonesia). Ia mendapat gelar master Ilmu Politik Tiongkok dari Marquette University, Amerika. Sedangkan gelar doktor diraihnya di London University pada 1996. Romo Bowo menjadi dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Ia juga sempat menjadi Ketua Centre for Chinese– bagian dari UI.
Romo Bowo adalah salah satu dari sedikit ahli Tiongkok di Indonesia. Tidak mengherankan jika ia menjadi salah satu “kamus berjalan” tentang Tiongkok. Ia bahkan sering menjadi “rujukan” jika seseorang ingin melakukan kajian atau penelitian tentang Tiongkok.
Ignatius Wibowo pernah mengatakan, bahwa hubungan Indonesia dan Tiongkok pasca Gus Dur dapat dikatakan memasuki masa keemasan. Itu dihitung mulai dari 1999 sewaktu Presiden Gus Dur mengunjungi Beijing yang dianggap titik balik. Sejak saat itu hubungan Indonesia dan Tiongkok makin lama makin baik. Hubungan dari sudut ekonomi, politik maupun kebudayaan sangat menanjak sampai 2005. Itu secara simbolik ditandai dengan ditandatanganinya deklarasi untuk kemitraan strategis. Itu menurut Wibowo sebuah pencapaian luar biasa.
Persoalan Tiongkok yang terbesar menurut Romo Bowo adalah kekurangan sumber daya alam (SDA). Walaupun negaranya besar, tapi memiliki SDA sedikit sekali karena separuh wilayahnya adalah gurun. Jadi Tiongkok mempunyai kepentingan besar untuk meningkatkan dan mencari SDA di luar negaranya, dan Indonesia yang paling dekat. Lalu Indonesia menjadi tujuan utama dari Tiongkok. Untuk itu Tiongkok sudah terang-terangan memakai strategi kemitraan untuk mencari SDA di luar negaranya.
Dari buku ini kita dapat lebih “mengenal”—sedikit tahu— tentang pemikiran dan sosok rohaniawan tersebut. Ia ternyata seorang pengajar yang banyak dikenang oleh mahasiswanya, paling tidak, karena kedisiplinannya. Soal keilmuan, jangan ditanya. Dari kesaksian para penulis dalam buku ini, kepakaran Wibowo tentang Tiongkok dan filsafat
tidak dapat dipungkiri lagi.
Beberapa kenangan tentang I Wibowo dalam buku ini, misalnya saja pria yang “gila” membaca ini adalah seorang guru yang dikagumi. Ia memang ketat dan keras dalam mendidik, namun ia dapat saja begitu cair saat berada di luar kelas. Bahkan ada kesaksian yang menyebutkan, bahwa dosen ini rela memberikan bantuan kepada mahasiswa yang memerlukan bantuannya.
Romo Bowo, begitu sebagian orang memanggilnya karena ia seorang pastor, memang bersikap terbuka, cair, penuh toleransi. Ia tidak segan atau sungkan bergaul dengan siapa saja. Bahkan dengan orang-orang dengan orientasi religius yang berbeda pun, ia dapat bergaul dengan akrab.
Dari buku ini kita dapat lebih tahu banyak sisi tentang Romo Bowo. Sebagian dari cita-citanya, gagasan, bahkan kegelisahannya. Bahkan kecemasan menghadapi kematian hingga kepasrahan kepada Sang Khalik pun sempat diungkapkannya. Ini dapat kita lihat dari ungkapan beberapa penulis dalam buku ini. Kehadiran buku ini membuktikan, “gema” mereka yang berarti bagi orang banyak, tak hilang bahkan ketika ia telah tiada.
Comments (0)