Memori Kolektif dan Perubahan Jakarta dalam Kenangan Anak Menteng

Catatan harian atau catatan perjalanan sudah lazim dipakai sebagai salah satu sumber sejarah. Misalnya saja di zaman Hindia Belanda, ada seorang ahli hukum yang suka menulis bernama Willem IJsbrantz Bontekoe, yang hidup semasa dengan Jan Pieterszoon Coen. Bukunya yang berjudul Avonturelycke reyse naar Oost-Indien terbit pada 1646 dan sebelum tahun 1800 sudah dicetak kembali sebanyak 70 eksemplar dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Prancis, Jerman, Inggris, juga Jawa dan Sunda.

Bontekoe boleh dibilang selaris Jan Huygen van Linschoten, perintis penulis cerita perjalanan ke Timur. Kisah-kisahnya diterbitkan dalam Intenerario yang pada abad ke-16 sudah dicetak ulang berkali-kali, serta diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Prancis, dan Latin.

Dengan demikian, membaca kenangan Firman Lubis dalam Jakarta 1950-1970 ini rasanya seperti dibawa kembali ke Jakarta tempo dulu dengan suatu penceritaan yang detil dan rapi. Firman Lubis memang seorang dokter kesehatan ilmu lingkungan, tapi dia tak abai mengecek sumber-sumber sejarah untuk melengkapi ceritanya. Bahkan tak jarang pula ia memberi petunjuk tambahan di mana pembaca bisa mendapatkan informasi lebih detil tentang hal-hal sekilas yang diceritakannya.

Tentu bukan tanpa alasan Masup Jakarta menerbitkan ulang catatan Firman Lubis, yang sebelumnya terpisah dalam tiga buku, kini dalam satu buku. Dengan demikian, diharapkan pembaca bisa mendapatkan satu gambaran utuh dan berkelanjutan soal perkembangan Kota Jakarta.

Catatan Firman Lubis ini memang banyak menyinggung pribadi dan keluarganya sendiri. Dan itu justru menjadi menarik karena hal yang dikisahkannya itu adalah hal-hal yang teramat dekat dengan kesehariannya. Firman dengan luwes bercerita soal latar belakang dirinya, tetangga, kampungnya—dan kemudian lebih luas, kotanya: Jakarta.

Latar belakang Firman–dengan bapak Batak dan ibu Betawi—memberikan gambaran bagaimana multikulturalisme telah lama terjalin dengan damai di Jakarta. Pada 1950-an, tak ada perasaan canggung bergaul dengan orang Cina, orang Arab, orang asing lain seperti Belanda yang waktu itu masih ada, atau etnis-etnis lainnya.

Kesukuan adalah identitas, bukan pembeda yang memisahkan. Kebinekaan diterima secara alamiah dan semuanya bercampur tanpa ada rasa sungkan atau superior. Firman mencatat, satu-satunya perbedaan yang mengikat antara dirinya dan teman-teman lainnya adalah sebutan orang gedongan dan orang kampung.

Gambaran Ibu Kota pascakemerdekaan juga diulas secara menarik oleh Firman Lubis. Sebagai generasi yang lahir pada zaman Jepang, ia mengamati setelah Belanda pergi, banyak rumah mewah yang tadinya ditempati orang asing diserobot oleh orang Indonesia sendiri. Barangkali lantaran euforia dan tak ada yang mengawasi, pada akhirnya ketimpangan pun terjadi. Tidak oleh orang asing, tapi kini oleh bangsa sendiri. Gap alias ketimpangan antara kaya dan miskin pun semakin lebar.

Firman bilang, dulu TB Simatupang, bekas kepala staf angkatan perang tahun 1950-an, mengatakan mestinya segera setelah merdeka, rumah-rumah bekas gedung Belanda dihancurkan, baru kemudian dibangun lagi bangunan baru di atasnya agar tidak ada gap mencolok di masyarakat.

“Tetapi saya bertanya pula, apakah realistis dan dapat dilakukan? Mungkin saja bisa, tetapi harus dengan sistem komunis atau sosialis menurut saya. Apalagi kalau diingat, gap itu justru bertambah lebar di bawah pemerintahan generasi 45 Orde Baru—generasi Simatupang sendiri—yang gagasannya pada waktu dulu masih idealis. Apakah ini bukan suatu sikap yang hipokrit? Yang jelas, tragis” (hlm 66).

Yang juga mengemuka, perkembangan kota sepanjang 1950-1970 yang dikisahkan Firman semakin membuat terang bahwa Jakarta sejak dulu dibangun tanpa tata perencanaan yang jelas dan hanya berpihak kepada kaum pemodal. Meski kanal-kanal dan saluran air dibangun, hingga kini banjir terus terjadi, KKN semakin merajalela sejak 1960-an, dan sektor transportasi tak pernah dipikirkan secara baik. Macet terjadi meski berbagai moda transportasi dan terobosan sudah dilakukan.

Jakarta kini adalah kota sibuk yang menjelma tanpa identitas. Tak ada lagi keakraban antara warga di kampung-kampung Jakarta karena rumah yang dulunya hanya berpagar tanaman telah berpagarkan teralis tinggi. Saling curiga dan isu SARA kini dapat meletus kapan saja. Ejekan kesukuan dengan mudah menimbulkan kebencian dan permusuhan. Diskrimasi terhadap keturunan Cina meningkat hingga 1970-an seiring perubahan politik dalam negeri, terutama turunnya Sukarno dan naiknya Soeharto setelah Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965.

Maka, membaca buku ini bukanlah hanya sekadar utopia membayangkan Jakarta yang asri, damai, dan tanpa keruwetan. Membaca Jakarta 1950-1970  seperti ada sebuah pekerjaan rumah yang dijejalkan ke kepala kita, perihal akan dibawa ke mana pembangunan kota maupun mental warga Jakarta ke depan. Sebuah pertanyaan yang tampaknya menjadi pekerjaan besar jelang ulang tahun DKI Jakarta ke 491 tahun pada 22 Juni nanti. (Fadjriah Nurdiarsih, Editor dan penyuka sastra)


Sumber: mpokiyah.com

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *