Membedah Buku Perang Melawan Penjajah (PMP) karya Piet Hagen
Oleh Petrik M
Judul buku versi Indonesia dari buku ini terkesan lucu buat saya. Singkatan PMP mengingatkan saya pada masa-masa orde baru. PMP adalah nama lawas dari pelajaran PPKN era orde baru, singkatan dari Pendidikan Moral Pancasila.
Tentu saja saya senang dengan adanya buku ini. Saya yakin buku ini akan memperkaya data dan narasi kita tentang bagaimana sejarah peperangan orang di Nusantara melawan militer Eropa—entah itu Belanda, Portugis, dll.—dalam kurun waktu 1500-an hingga 1975. Bagi kebanyakan orang Indonesia saat ini, perang itu adalah perang melawan penjajah, seperti judul buku ini.
Buku ini sangat banyak membahas perang-perang antara VOC maupun pemerintah kolonial Hindia Belanda melawan orang-orang Indonesia. Saya sepakat dengan kata-kata sejarawan Peter Carey di sampul belakang buku ini, “buku yang layak untuk dibaca dan diberikan posisi terhormat di rak buku siapapun yang serius tertarik dengan sejarah Indonesia. Apalagi yang tertarik dengan sejarah militer dan perang serta penjajahan di Indonesia, ini akan menjadi buku referensi utama.”
Terkait pendapat Peter Carey itu, saya kira tidak ada salahnya TNI menjadikan buku ini sebagai bacaan penting para perwiranya. Tentu saja agar hal buruk yang dulu dilakukan militer VOC maupun KNIL tidak diulangi oleh TNI di masa depan. Begitulah tujuan sejarah sebenarnya, bukan untuk menutupi sejarah kelam dengan sejarah kepahlawanan yang terkesan mengada-ada.
Menurut saya, bahasa yang digunakannya cukup mudah dipahami oleh para siswa sekolah menengah di Indonesia. Jadi tidak ada salahnya jika buku ini menjadi referensi dalam pembelajaran sejarah di sekolah dan menjadi bacaan untuk anak-anak sekolah menengah. Menjadikannya sebagai koleksi di semua perpustakaan SMP dan SMA di seluruh Indonesia tentu bukanlah investasi masa depan yang buruk.
Piet Hagen dalam PMP ini memang bicara soal perang antara Belanda dengan pihak yang hendak dijajahnya, namun secara tidak langsung buku ini juga bicara tentang sejarah yang terbentuk dari perang-perang antara Belanda dengan pihak yang ingin dijajahnya itu.
Di masa lalu, perang antara dua pihak itu di antaranya ada hubungannya dengan perdagangan. Semua tahu Nusantara di masa lalu adalah jalur rempah dan jalur-jalur rempah itu mengundang kapitalis dari Eropa Barat untuk mengembangkan armada kapalnya untuk berlayar ke timur, termasuk ke Indonesia. Di sini mereka berdagang dan tak jarang berperang demi perdagangan.
Tentu saja saya menemukan bagian-bagian menarik dari buku ini. Salah satunya tentang Papua. Ternyata orang Papua pernah melawan kedatangan VOC yang ingin mengambil budak dari Papua sekitar tahun 1636. Usaha itu gagal karena orang-orang Papua melawan.
Seperti biasa lawan selalu memandang buruk lawannya. Komando armada VOC yang kala itu dipimpin Kapten Gerrit Pool mengalami hal buruk. Mereka menyebut “ratusan orang biadab dari hutan, berkulit hutan sepeti kafir Angola” (Hal. 146). Pandangan rendah kepada orang Papua itu barangkali menurun pada masa-masa berikutnya. Karena saya masih ingat ketika mahasiwa Papua di Surabaya yang dikatai monyet dll. pada 2019. Semoga TNI tidak melakukan ini.
Piet Hagen tak hanya membahas perang-perang fisik, yang mana pihak orang Indonesia yang dilawannya selalu kalah di akhir perang, perkara pergerakan nasional hadir sebagai paparan Piet Hagen. Bagaimanapun, pergerakan nasional juga bagaian dari perang-perang pergerakan Indonesia melawan Belanda yang menjajah mereka.
Sudah pasti, Piet Hagen bicara soal bagaimana keadaan militer Belanda pada bab 8 buku ini (hal. 277-296) dengan bab yang berjudul Angkatan Bersenjata Hindia Belanda. Mula-mula jumlah tentara pribumi (orang Indonesia) dengan tentara Eropa berbanding sama, namun lama kelamaan jumlah orang Indonesia dalam KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda) melebihi orang Eropa, setidaknya perbandingannya 3:1, di mana orang Jawa lebih banyak daripada orang Ambon atau Manado yang disebut-sebut sebagai golongan paling loyal.
Tak lupa, Piet Hagen menyajikan bagian yang sangat menarik bagi kebanyakan pembaca, namun menurut saya cukup penting dan berpengaruh, yakni perkara seksual di tangsi-tangsi militer. Pelacuran dan penyakit kelamin sangat dekat dengan kehidupan serdadu KNIL.
Bagian ini mengingatkan saya pada pengalaman Dokter Soemarno, kakek Bimbim Slank, ketika menjadi dokter di kalimantan. Katanya, dalam buku memoarnya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya (1981: 229), Mayor Jenderal Soemarno menulis, “biasanya, di mana ada tangsi KNIL, di kota itu tentu terdapat pula wanita tuna susila.”
Piet Hagen dengan buku ini tentu saja akan mampu membantu para sejarawan Indonesia dalam menggali sejarah lokal terkait peperangan orang Indonesia melawan tentara Belanda. Saya sulit menemukan buku sejarah karya orang Indonesia mengenai perlawanan lokal terhadap pemerintah kolonial, yang dalam karyanya ada bagian mengenai musuhnya.
Selama ini di Indonesia anak-anak usia sekolah diajarkan bagaimana orang-orang yang disebut Pahlawan memerangi Belanda, dll. tapi anak-anak itu tidak diajarkan oleh kebanyakan karya-karya berparadigma sejarah nan Indonesiasentris bagaimana musuh yang mereka perangi. Jadi terlihat bahwa pahlawan nasional yang mereka muliakan telah digambarkan berperang melawan hantu atau kentut yang tidak terlihat.
Tiap kekalahan orang Indonesia dalam perang-perang melawan Belanda kerap disebut bahwa kekalahan itu dikarenakan “Belanda licik” atau agak lebih baik jika dikatakan “Tentara Belanda kuat” tapi tidak digambarkan bagaimana detail dari kekuatan Belanda dan kekuatan Republik Indonesia. Nyaris jarang disebut bahwa ratusan tentara Belanda mampu menghadapi ribuan orang Indonesia.
Penggambaran “Belanda licik” kerap dipakai dalam buku pelajaran anak SD ketika saya kecil. Perlu kita diingat faktanya licik saja tidak cukup untuk merebut sebuah daerah, tapi perlu ada kekuatan militer yang mumpuni dan ini yang dimiliki VOC dan penerusnya. Penjajah lain di luar Nusantara pun juga sama, licik bukan modal utama.
Betapa paradigma sejarah indonesiasentris itu kemudian tidak hanya menjauhkan manusia Indonesia dari kenyataan sejarah yang sebenarnya tapi juga jauh dari kecerdasan dalam berpikir.
Nyaris tidak pernah saya diajari di sekolah bahwa Belanda punya teknologi persenjataan yang lebih baik (senjata api), sementara orang Indonesia lebih sering memakai senjata seadanya (golok, tombak, dll.).
Juga tidaklah anak-anak diajari bahwa Belanda punya kekuatan militer yang lebih terlatih dalam berperang daripada pihak Indonesia. Misal, satu detasemen atau kompi KNIL (yang jumlahnya puluhan hingga hampir seratus orang serdadu) mampu melawan pemberontak yang jumlahnya satu kampung di era kolonial. Kecuali di Aceh, satu batalyon saja cukup untuk menghadapi sebuah kerajaan lokal. Satu batalyon KNIL era revolusi mampu menghadapi satu brigade TNI.
Sejarawan di Indonesia, sangat jarang membahas formasi kekuatan militer Belanda di era kolonial. Padahal ¾ dari serdadu KNIL adalah orang-orang Indonesia. Dengan sedikit orang Indonesia yang menjadi perwira di dalamnya. Belum pernah saya temukan buku sejarah buatan Indonesia membahas bagaimana peran orang Indonesia dalam usaha kolonialisasi Belanda. Padahal kebanyak serdadu di KNIL adalah orang Indonesia.
Saya ambil contoh dalam penumpasan Pemberontakan SI Pasir 1915-1916.
De Preanger-bode (14/4/1916) memberitakan bahwa pada 9 April 1916, pasukan KNIL pimpinan Letnan Satu Raden Wardiman (dan Letnan Satu Poll) telah melakukan persiapan untuk melawan pemberontakan orang-orang Pasir. Pasukan itu kemudian bergerak ke hulu Kasungai untuk menghadapi sekitar 30 orang Pasir. Pangeran Singa Maulana kemudian jadi bahan berita koran kolonial. De Avondpost (6/7/1916) memberitakan bahwa Letnan Wardiman dan pasukannya telah menangkap Pangeran Singa Maulana serta seorang bawahannya yang bernama Semarangkitin Tabalong.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak meremehkan orang-orang Pasir. Meski Sultan Ibrahim Chaliluddin dan para pengikutnya telah ditahan pada 1916, perlawanan sebenarnya tidak berhenti begitu saja. De Locomotief (20/8/1917) menyebut Panglima Sebaja masih belum tertangkap. Letnan Dua Oerip juga melaporkan adanya sisa-sisa anggota pemberontak yang bersembunyi di hutan pada Mei 1917.
De Locomotief (10/11/1917) mengabarkan beberapa pemuka perlawanan seperti Bapa Silam, Bapa Loegoug, Towa Kampong, dan Adji Ngara akhirnya melaporkan diri. Koran itu menulis, “Letnan Dua Oerip tahu bagaimana meyakinkan rakyat.” Sejak itu, perlawanan rakyat perlahan mereda.
Letnan Oerip itu adalah Oerip Soemohardjo pendiri TNI. Wardiman, yang pernah jadi navigator KNIL, juga salah satu pendukung RI di awal revolusi. Saya pribadi pernah membaca biografi Oerip Soemohardjo dan tak menemukan keterlibatannya dalam pemberontakan SI Pasir itu. Meski menurut saya sebenarnya Oerip melakukannya kala itu lebih karena itu pekerjaannya, dan tidak ada kaitannya dengan nasionalisme hanya karena kebangkitan nasional katanya dimulai dari 1908.
Menjadi perwira KNIL dan pegawai departemen dalam negeri kolonial pada dasarnya sama-sama membantu penjajahan Belanda atas Indonesia, hanya beda lapangan saja. KNIL sendiri banyak beranggotakan orang-orang buta huruf dari dusun-dusun miskin. Menurut saya menjadi serdadu KNIL adalah solusi keluar dari kemiskinan. Jalan lain melawan kemiskinan di masa kolonial selain jadi KNIL adalah jadi PKI.
Petrik M, periset sejarah militer Indonesia. Tinggal di Jakarta.
Comments (0)