Hendrik E. Niemeijer
Komunitas budak di Batavia terutama didominasi para budak milik penduduk swasta, utamanya orang-orang Asia. Para budak partikelir ini berjumlah separuh dari jumlah seluruh penduduk kota. Mengingat bahwa jumlah budak lebih banyak dari jumlah kelompok lain, maka kita perlu menelusuri lebih rinci etnisitas mereka, karena lama-kelamaan mereka berkembang menjadi kelompok warga Asia bebas di Batavia yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi. Bagaimana caranya menelusuri asal-usul para budak yang menjadi milik majikan Eropa, Cina dan Asia? Apa peran etnisitas dan identitas dalam pembelian dan penjualan budak swasta dan bagaimana aturan yang berlaku sehubungan dengan kepemilikan budak? Jawaban untuk pertanyaan terakhir di atas dapat dilihat dari peraturan yang ditempel di tembok kota tertanggal 4 Mei 1622.28 Peraturan yang diumumkan tersebut pada intinya dimaksudkan untuk memberi batasan-batasan tegas seputar perdagangan budak yang memalukan bagi gelombang pertama para pendatang Eropa di Batavia, kaum muslim Batavia dan warga dari India. Disebut memalukan, sebab justru terutama majikan nasrani tidak menghiraukan agama yang dianut para budak yang mereka beli atau jual, lihat Van der Chijs, Nederlandsch-Indisch Plakkaatboek, 4 Mei 1622.
Oleh karena itu, warga nasrani dilarang menjual budak kepada warga non-nasrani. Alasan penguasa ketika itu adalah untuk mendorong pertumbuhan jumlah warga nasrani. Kepada warga muslim, Cina dan Moor juga diberlakukan aturan serupa yaitu mereka dilarang menjual budak-budak mereka kepada komunitas lain. Dalam peraturan yang ditempel di berbagai tempat (plakkaat) disebutkan bahwa ada larangan serupa bagi para kafir, warga muslim serta bangsa-bangsa lain bahkan juga untuk membina, menumbuhkembangkan serta menyebarluaskan agama masing-masing. Untuk mengawasi apakah larangan memperdagangkan budak nasrani dipatuhi, setiap transaksi harus diketahui dan disetujui pihak berwenang. Ini berarti bahwa harus dibuat akta penjualan dan dengan demikian tidak seorang budak pun boleh diangkut ke luar Batavia tanpa izin dan sepengetahuan penguasa. Para budak yang didatangkan oleh para pedagang tidak boleh diperdagangkan tanpa dicatat terlebih dulu oleh petugas dan penjualannya pun harus didaftarkan.
Pengaturan ini bermanfaat besar karena akta penjualan yang diperoleh pihak pembeli maupun penjual memberi kejelasan dan kepastian kepada kedua pihak sehingga salah tafsir dapat dihindarkan. Lagipula, pemilik baru langsung memperoleh tanda kepemilikan budak serta surat garansi. Terkadang, seorang budak sesudah resmi dibeli ternyata mengidap penyakit yang sukar disembuhkan. Dalam hal demikian maka pembeli budak boleh menghadap ke pengadilan dengan membawa akta pengangkutan dan mengadu bahwa dia mendapatkan barang yang tidak sesuai dengan jumlah uang yang dikeluarkan. Apabila pembayaran belum lunas maka pihak penjual juga dimungkinkan untuk membatalkan transkasi.
Berkat ada banyak arsip mengenai pengangkutan budak maka diperoleh gambaran berikut. Catatan pengangkutan yang tersimpan di Pengadilan bagi Golongan Swasta sekitar tahun 1650 dengan jelas menunjukkan siapa-siapa saja yang berdagang budak, dan apa pilihan para pembeli, lihat ANRI, Arsip Notaris (Wijnand van Catersveld) 118, akta risalah pengangkutan 6 Mei 1652-20 Juni 1653. Van Catersveld adalah sekreatris para hakim dan juga sekaligus untuk notaris. Dengan demikian maka jabatan sekretaris juga diatur melalui plakkaat (pengumuman yang ditempel di tembok) tertanggal 18 Agustus 1620. Dokumen-dokumen yang dibuatnya sebagai sekretaris disimpan dalam arsip notaris.
Dari dua berkas akta tertanggal 6 Mei 1652 hingga 20 Juni 1653 terdapat 587 akta yang ditandatangani panitera pengadilan atau notaris atau kerani yang disumpah. Informasi terpenting dari akta tersebut adalah nama-nama para penjual, pembeli dan para budak dan sudah tentu harga yang disepakati, lihat ANRI, Arsip Notaris (Wijnand van Catersveld), berita acara Jan. 1651-Maret 1651; ANRI, Arsip Notaris (Wijnand van Catersveld); 116, akta risalah transpor 22 Sep. 1651-19 April 1652, berkas dengan seluruhnya 439 akta transpor.
Dari 587 akta tersebut maka identitas para penjual budak dapat dibagi dalam: warga nasrani, warga Cina dan warga Asia bebas lainnya, lihat tabel 5, 6, dan 7 pada hal. xxx dan xxx, Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII.Dalam kelompok nasrani, jumlah terbesar adalah orang Belanda, disusul warga mardiker dengan nama Portugis. Ada 240 akta yang dibuat warga nasrani, menyangkut jual-beli 261 budak; semua penjual dan pembeli adalah orang nasrani dan budak yang dijualbelikan mempunyai nama nasrani. Artinya, aturan tahun 1622 dipatuhi. Sebagian besar para budak nasrani tersebut berasal dari anak benua India, tetapi hal ini tidak berarti bahwa para majikan budak nasrani selalu lebih senang dengan budak dari India karena mereka lebih mudah untuk dinasranikan. Ketika pasokan budak dari Makassar semakin meningkat antara tahun 1660 dan 1670, mereka juga diminati majikan Eropa. Sama seperti budak-budak dari India, budak-budak dari Makassar juga dinasranikan dan diajarkan nilai serta norma nasrani.
Seringkali para majikan nasrani tidak terlalu memilih asal-muasal budak, tetapi mereka sangat memilih etnisitas budak, sebab memiliki terlalu banyak budak dari suatu etnisitas tertentu mudah menyulut pemberontakan bahkan amuk massa. Itu sebabnya Johanna Quirina, janda kaya dari pejabat kota Abraham Struys, memiliki 63 budak laki-laki dan perempuan dari berbagai etnisitas; mereka dipekerjakan di peternakan janda itu yang terletak di Marunda, dekat Tanjung Priok. Ketika janda Quirina menjual harta miliknya, lihat ANRI, Arsip Notaris (David Reguleth) 1815, akta perihal berbagai masalah, 10 Oktober 1689, maka tercatat inventaris berikut:
lahan | 1.000 ringgit |
63 budak laki-laki | 3.590 ringgit |
5 budak perempuan | 225 ringgit |
300 sapi | 1.200 ringgit |
150 kerbau | 900 ringgit |
10 perahu kano, 12 meriam kecil dan lain sebagainya | 885 ringgit |
jumlah total nilai kekayaan | 7.800 ringgit |
Delapan dari budak laki-laki janda tersebut adalah opas atau mandor (dalam bahasa Portugis, mandadors) atau kaffers ‘sebutan kasar untuk orang negro dari Afrika’ yang bertugas mencegah para budak melarikan diri. Kalau terjadi percekcokan di antara mereka, langsung diredam. Janda Quirina dengan sengaja menjaga agar etnisitas para budaknya beragam.
Dikutip dengan seizin penerbit Masup Jakarta dari buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII karya Hendrik E. Niemeijer, hlm. 50-52. Buku juga tersedia di Tokopedia, Bukalapak, Shopee, atau kontak langsung ke WA 081385430505
Comments (0)