Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda
Kisah Nyai Saritem dan Pergundikan Zaman Hindia Belanda

Syahrul Ansyari

Jurnalis viva.co.id


Nama lokalisasi Saritem berasal dari nama gadis belia asal kota kembang Bandung bernama Saritem. Dia memang berparas cantik dan berkulit putih.

Pesona Saritem ternyata memikat seorang pembesar Belanda kala itu. Kemudian Saritem dijadikan gundiknya. Sejak saat itulah, gadis Saritem menjadi ‘Nyonya Belanda’. Namanya pun berganti menjadi Nyai Saritem.

Beberapa tahun kemudian Saritem disuruh Kompeni Belanda tersebut mencari wanita untuk dijadikan teman kencan serdadu Belanda yang masih lajang. Waktu itu, daerah Gardujati dijadikan sebagai markas militer serdadu Belanda.

Untuk kegiatan itu Saritem difasilitasi sebuah rumah yang lumayan besar. Lambat laun perempuan-perempuan yang dikumpulkan Saritem bertambah banyak.

Saritem mengumpulkan perempuan-perempuan dari berbagai daerah dari Bandung dan sekitarnya, seperti Cianjur, Sumedang, Garut, dan Indramayu. Sejak itu nama Saritem mulai kesohor.

Yang datang ke rumah yang dikelolanya pun bertambah banyak. Tidak hanya dari kalangan serdadu yang lajang. Serdadu yang lanjut usia pun juga berdatangan ke tempat Saritem. Bahkan beberapa warga pribumi ada juga yang datang.

Hal ini membuat teman-teman Saritem yang juga menjadi gundik tentara Belanda tertarik membuka usaha serupa. Mereka rata-rata perempuan bekas binaan Saritem. Meski Saritem telah meninggal, masyarakat mengenal lokasi itu dengan sebutan Saritem.

Di buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Bay diceritakan tentang Nyai. “Nyai” yang digunakan oleh Reggie Bay, berasal dari bahasa Bali. Penggunaan kata tersebut bersamaan dengan kemunculan perempuan Bali yang menjadi budak dan gundik orang-orang Eropa di wilayah pendudukan VOC pada abad ke-17.

Gundik bisa disebut juga istri tak resmi, perempuan simpanan. Atau perempuan yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Seorang wanita pribumi setelah menjadi nyai, setiap hari selalu khawatir menunggu giliran dibuang. Belum lagi saat harus dipisahkan dengan sang anak.

Mereka yang lebih memilih cinta dari pada pundi-pundi uang lelaki Eropa akan mendapat siksa. Mereka akan disalib di bawah terik matahari, agar tidak pingsan, daerah kemaluannya dilumuri cabai Spanyol yang telah ditumbuk.

Reggie Baay merupakan seorang penulis sekaligus publisis. Ia dilahirkan di Leiden pada tahun 1955, kedua orang tuanya yang dilahirkan di Indonesia. Sampai tahun 2005 menjadi redaktur majalah Indische Letteren dan telah mempublikasikan banyak artikel di bidang sejarah dan sastra kolonial.

Roman otobiografi Reggie Baay, yang berjudul De Ogen van Solo, diterbitkan pada 2006 di Belanda. Roman ini berkisah mengenai sejarah seorang ayah Indies dilihat dari kacamata sang anak.


Sumber: https://www.viva.co.id/berita/nasional/642890-kisah-nyai-saritem-dan-pergundikan-zaman-hindia-belanda

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *