Kaum Komunis, Sosialis, dan Negeri- Negeri Jajahan (Bag. II)

Ruth T. McVey

Sejumlah teori tentang fenomena imperialisme dikembangkan oleh kaum Marxis radikal, tapi yang terpenting bagi pembahasan kita ialah yang telah diletakkan oleh Lenin. Kaum revolusioner Rusia menegaskan bahwa kapitalisme—karena wataknya yang anarkis dan penuh persaingan— kelebihan produksi barang-barang dan modal. Negara-negara kapitalis dipaksa mengambil langkah politik imperialis dalam rangka mendapatkan wilayah baru guna menanamkan modal mereka dan memastikan ketersediaan wilayah yang cukup bagi mereka.

Dalam hal ini kekuatan kapitalis menempatkan wilayah terbelakang sebagai negeri jajahan. Negara digunakan oleh kepentingan kaum kapitalis untuk memperluas kebijakan ekspansionis mereka, dan proses nasionalisme yang sampai saat itu menjadi kekuatan progresif dijadikan senjata kaum imperialis. Selama periode imperialisme, kelompok atas kelas buruh di kota-kota besar ikut menikmati sebagian kecil keuntungan dari negeri jajahan. Sebagai imbalannya mereka cenderung mengidentifikasi diri dengan “kepentingan nasional” mereka ketimbang dengan kepentingan proletariat secara keseluruhan.

Namun pada saat pembagian dunia antara kekuatan imperialis besar telah usai, maka akan timbul perang-perang besar antara negara-negara penjajah guna mengatur wilayah yang menjadi tujuan imperialisme mereka. Konflik-konflik ini akan memaksa pengorbanan besar kaum buruh, akhirnya mereka akan memberontak dan menjatuhkan sistem kapitalisme.

Seperti yang telah saya sebutkan, teori ini disusun dalam rangka menjawab situasi yang terjadi di Eropa Barat dan bukan di Asia. Tetapi dalam menjelaskan kemakmuran kapitalisme, hal ini berhasil membawa masalah kolonialisme dari persoalan pinggiran dalam pemikiran Marxis menjadi masalah amat penting. Ketika mencapai tingkat imperialisme maka kapitalisme bergantung pada eksistensi negeri-negeri jajahan yang terbelakang. Selanjutnya jika dominasi terhadap negeri-negeri jajahan terlepas dari kontrol mereka maka akan merusak sistem kapitalis.

Selama keberadaan Komintern, kaum komunis tidak pernah sampai pada kesimpulan ekstrem yang dapat ditarik dari teori Lenin—bahwa negeri-negeri jajahan itu merupakan “mata rantai paling lemah kapitalisme”, sebenarnya merupakan daerah revolusi lebih penting daripada negara-negara industri Eropa. Akan tetapi Komintern tetap berpegang pada doktrin mereka tersebut dan memandang masalah kolonialisme secara sederhana sebagai bagian kampanye revolusioner di Eropa.

Walaupun kebutuhan politik luar negeri Rusia memaksa adanya kepentingan kaum komunis dalam kebangkitan Asia, kita ragu perhatian ini dapat menyatakan diri secara konsisten dan tanpa kompromi seperti yang dilakukannya dalam dua dekade setelah Revolusi Oktober 1917 yang bukan karena dorongan ideologi.

Lenin tidak mempublikasikan seluruh analisis teorinya tentang imperialisme sampai 1917. Tetapi perbedaan antara pandangan kaum sosialis kanan dan kiri tentang pokok persoalan telah terlihat secara jelas sejak abad lalu, dan seperti kita saksikan dalam perselisihan penting pada kongres di Stuttgart pada 1907. Pandangan Lenin tentang kongres 1907, lihat artikelnya “The International Socialist Congress in Stuttgart” dalam Lenin, The National Liberation Movement in the East (Moskow, 1957), p. 40.

Perdebatan dalam kongres didominasi oleh Karl Kautsky, pendukung pandangan sosialis antikolonial atas nama kaum kiri ortodoks. Sedangkan wakil dari Belanda, H. van Kol mendesak pengambilan resolusi yang telah diajukan oleh komisi negeri jajahan kongres yang didominasi kaum Revisionis sebagai berikut:

Kongres menegaskan bahwa kegunaan kebijakan terhadap negeri-negeri jajahan secara umum, dan terutama bagi kaum buruh terlalu dilebihkan. Tetapi hal itu bukannya menolak setiap kebijakan masalah kolonial secara prinsip dan untuk selamanya, karena di bawah rezim sosialis akan dapat memberikan efek yang membudayakan, lihat Internationaler Sozialisten-Kongress zu Stuttgart, 18 bis 24 August 1907 (Berlin, 1907), p. 112.

Van Kol adalah seorang pakar penting bidang kolonialisme dari Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP). Ia membanggakan diri tentang pandangan praktisnya mengenai masalah tersebut di parlemen Belanda yang telah memberi kesempatan pengalaman selama 10 tahun, dan memberitahukan Kautsky dengan telak bahwa pembelaannya pada bantuan teknis dan ekonomi sebagai pengganti kolonialisme sosialis adalah kebodohan besar.

Hari ini kita mendengar sekali lagi kisah kuno penindasan kolonial yang cukup membosankan bagi kongres kaum sosialis… Kami di Belanda memiliki hak dan kewajiban untuk menyumbangkan pengalaman kami kepada kawan-kawan di negara lain. Kami kaum sosialis Belanda telah memenangkan kepercayaan jutaan rakyat Jawa… Jika kita orang-orang Eropa datang (ke wilayah terbelakang) hanya dipersenjatai dengan alat-alat dan mesin-mesin, kita akan menjadi korban tak tertolong dari penduduk setempat. Maka dari itu kita harus datang dengan senjata di tangan, bahkan jika Kautsky menyebutnya sebagai imperialism, lihat Internationaler Sozialisten-Kongress, p.36–37. Untuk deskripsi umum dari sikap Van Kol terhadap masalah kolonial pada saat itu, lihat DMG Koch, Batig Slot. Figuren uit het oude IndiĂ« (Amsterdam, 1960), p. 91–92. Koch seperti Van Kol seorang sosialis moderat, kemudian menjadi ahli masalah kolonial terpenting SDAP. Untuk laporan resmi SDAP mengenai kebijakan kolonialnya di periode ini, lihat Daan van der Zee, De S.D.A.P en Indonesie (Amsterdam, 1929) p. 31–36.

“Kami telah mencapai banyak kemajuan sangat berarti bagi negeri-negeri jajahan Belanda lewat aksi sosialis kami di parlemen,” ujar Van Kol. Ia memaklumkan dan meyakinkan kaum sosialis lain bahwa mereka tidak akan mendapatkan terimakasih bagi sikap negatif mereka terhadap kolonialisme secara terus-menerus. “Jika kalian berharap memenangkan kepercayaan penduduk setempat, kalian juga harus aktif mengambil bagian dalam masalah kolonial.”

Sedang sejumlah usulan Kautsky tentang bantuan ekonomi yang tidak menarik—“Belajar dari buku! Ia menghendaki membudayakan suatu negeri dengan cara itu!”—orang-orang Belanda yang tegap itu menduga “penduduk setempat mungkin akan menghancurkan mesin-mesin kami: mereka mungkin membunuh, bahkan memakan tubuh kami (sambil memegang perutnya) saya takut saya akan menjadi pilihan ketimbang Kautsky,” lihat Internationaler Sozialisten-Kongress, p. 36–37.

Ketika kongres akhirnya menyusun sebuah resolusi yang memuaskan pandangan kaum ortodoks maupun Revisionis, delegasi Belanda satu-satunya yang menolak, menjauhkan diri dari pemungutan suara akhir dengan alasan kompromi tidak cukup mengakui aspek positif kolonialisme, lihat Internationaler Sozialisten-Kongress, p. 40

Sikap Van Kol merefleksikan arus utama pandangan partai sosialis Belanda, salahsatu anggota paling konservatif dari Internasional Kedua. Bagi para pemimpin SDAP, peradaban itu sama dengan pembaratan, sedang sosialisme hanya dapat dicapai oleh masyarakat kapitalis yang sangat maju. “Lompatan dari barbarisme menuju sosialisme adalah suatu hal yang tidak mungkin,” lihat Van Kol pada Kongres 1907. Internationaler Sozialisten-Kongress, p. 36.

Negara-negara maju selanjutnya harus mengirimkan peradaban bagi wilayah yang kurang beruntung tersebut, terlepas dari suka atau tidak. Mereka harus mendorong dibangunnya perusahaan swasta Pribumi di koloni, hanya dengan pembangunan industri berat milik Pribumi maka proses peradaban dapat dianggap berhasil dan peralihan kemerdekaan dan sosialisme dapat direncanakan selanjutnya.11

Van Kol tidak mendesak kemerdekaan bagi Indonesia sebagai rencana akhir sampai 1919–1920 (Koch, Batig Slot, p. 94–95). Ia mendukung kepemilikan industri berat bagi Pribumi untuk Jawa tidak hanya karena interpretasinya pada doktrin sosialis tapi juga karena kekagumannya kepada Jepang. Untuk membantu keuangan pembangunan ini, ia menyarankan Belanda untuk menjual seluruh Kepulauan Hindia yakni Jawa, Sumatra, dan Kepulauan Sunda Kecil. Tema industrialisasi diambil oleh Vlidegen, pengganti Van Kol sebagai juru bicara parlemen SDAP pada masalah kolonial, yang mengatakan bahwa pembangunan industri berat Pribumi merupakan prasyarat bagi kemerdekaan. Lihat Van der Zee, De S.D.A.P, p. 30–31, 34–36; HA Idema, Parlementaire geschiedenis van Nederlandsch-Indië, 1819–1918 (Den Haag, 1924), p. 295–296, 327.

Beberapa tahun berikutnya, SDAP akhirnya berangsur-angsur mengubah pandangannya terhadap keuntungan yang didapatkan dari kolonialisme serta berbagai prasyarat ekonomi bagi kemerdekaan. Meskipun demikian SDAP tetap mempertahankan sikap sangat moderat antara pandangan pokok nonsosialis liberal Belanda dalam masalah kolonialisme. Perhatian partai pada seluruh masalah tidak menjadi kepentingan pokoknya.

Sedang bagi kelompok kaum Revisionis, utamanya mereka mendasarkan harapannya pada organisasi kaum buruh dan keberhasilan meraih suara pemilih. Kaum Revisionis memusatkan upaya dan perhatian hampir sepenuhnya untuk kepentingan mendesak kelas buruh Belanda, lihat Van der Zee, De S.D.A.P, p. 5; Koch, Batig Slot, p. 92.

Hal ini terjadi sebelum Perang Dunia I saat Van Kol menjadi satu-satunya pemimpin sosialis yang menaruh perhatian secara nyata pada masalah kolonial. Periode ini beserta gerakan konservatif tersebutlah yang menanamkan bibit Marxisme Leninis revolusioner di Indonesia.


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Ruth T. McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia, Bab I, hlm. 3-6. Buku tersedia juga di Tokopedia, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *