Kaum Komunis, Sosialis, dan Negeri- Negeri Jajahan (Bag. I)

Ruth T. McVey

Salahsatu tugas utama yang dibebankan ke pundak Komintern oleh para pendirinya ialah menciptakan peranan komunisme di panggung drama revolusioner Asia yang dimainkan di antara dua perang dunia. Sebagian urusan bagi revolusi di Timur ini merupakan kelanjutan kedekatan Rusia [Tsar] atas bagian besar negara-negara Asia serta niat kuat Uni Soviet mempengaruhi jalannya kejadian di negara-negara tersebut. Kepentingan Internasional [Komintern] tidak berhenti hanya pada negara-negara tetangga Rusia, namun upaya mereka di Asia merupakan salahsatu bagian daya upaya mereka menempatkan komunisme di wilayah negara-negara terbelakang di seluruh dunia:

Negara-negara Timur–bukan hanya dunia Asia yang tertindas. Negara-negara Timur adalah keseluruhan dunia terjajah, dunia rakyat yang tertindas bukan hanya di Asia, tetapi juga Afrika dan Amerika Selatan: Dengan kata lain seluruh bagian dunia tempat eksploitasi kaum masyarakat kapitalis Eropa dan Amerika Serikat, lihat Mikhail Pavlovich “Zadachi Vserossiiskoi nauchnoi assotsiatsii vostokovedeniia” (The Tasks of the All-Russian Scientific Academy of Orientology), Novyi Vostok, I (1922), 9.

Keyakinan bahwa koloni memainkan peran penting dalam menopang sistem kapitalis bukan merupakan bagian asli pandangan Marxis. Tradisi yang diusung kaum sosialis revolusioner Eropa tidak hanya cenderung mengabaikan masalah umum penjajahan tapi juga lebih jauh lagi menyangkal bahwa kaum komunis mengambil peran di wilayah terbelakang di seluruh dunia. Kehancuran kapitalisme lewat revolusi sosialis menarik perhatian para pendiri pergerakan; dan ini menurut mereka hanya dapat terjadi di wilayah industri maju di Eropa Barat, tempat kelas proletar yang besar jumlahnya tertindas di bawah sistem yang dikukuhkan borjuasi.

Revolusi yang diperjuangkan kaum sosialis modern, secara ringkas hendak meraih kemenangan proletariat terhadap borjuasi, pembangunan organisasi masyarakat baru dengan menghapuskan semua perbedaan kelas. Dengan demikian, proletariat bukan saja perlu mengusung revolusi, tapi juga merebut kekuatan produktif masyarakat yang berada di tangan borjuasi yang telah berkembang jauh yang akhirnya menuju penghapusan perbedaan kelas… Karena itu dalam hal ini borjuasi juga diperlukan sebagai pra-kondisi bagi revolusi sosialis sebagaimana halnya proletariat. Karenanya orang yang mengatakan revolusi dapat lebih mudah dilakukan di sebuah negeri walaupun tidak punya proletariat, karena itu tidak ada borjuasi juga, itu membuktikan ia masih harus belajar ABC-nya sosialisme (Frederich Engels, “On Social Relations in Russia”, dalam Karl Marx dan Friederich Engels, Selected Writings (Moskow, 1955), II, 49–50.

Kelompok masyarakat yang lain akan ditelan ke dalam holokaus yang meluas, tetapi penduduk tidak akan memberikan bunga api maupun menyulutnya. Dengan demikian persoalan tanah jajahan tidak begitu penting dalam pemikiran Marxis. Hal itu berlangsung sampai beberapa tahun setelah meninggalnya Karl Marx, para pengikut Marx mulai melakukan interpretasi ulang sistem yang telah ia letakkan guna memberikan peran lebih penting bagi negara-negara Timur.

Penafsiran ulang itu perlu dilakukan karena kemakmuran masyarakat negara-negara kapitalis yang belum pernah terjadi sebelumnya mereka nikmati pada peralihan abad. Marx menggambarkan masa depan Eropa akan mengalami krisis ekonomi yang mendalam dan meningkatkan kesengsaraan kaum proletar. Tetapi dalam kenyataannya negara-negara kapitalis menjadi lebih makmur lagi dari sebelumnya, dan—bahkan yang lebih mengejutkan bagi kaum revolusioner—posisi sosial ekonomi kelas buruh meningkat tajam. Alhasil jelas dalil Marx dalam hal ini keliru, sistem yang telah diletakkannya harus diabaikan atau ditafsirkan ulang guna menjelaskan perkembangan baru.

Dalam menjawab krisis ideologi ini, kelompok utama kaum sosialis Eropa membuang keyakinan bahwa sosialisme hanya dapat dicapai lewat revolusi. Kemajuan besar yang dapat dicapai kaum buruh yang terorganisasi memperlihatkan kaum proletar bisa mendapatkan kekuatan memadai melalui cara-cara parlementer untuk memaksa kaum kapitalis menyetujui tuntutan mereka, dan akhirnya mengambilalih pemerintahan itu sendiri. Revisi terhadap teori Marx ini mempunyai implikasi dahsyat bagi sikap kaum sosialis dalam masalah internasional. Ketika kaum proletar mendapat kesempatan berpartisipasi dalam pemerintahan serta ikut mengendalikan negara, selanjutnya ikut berperan dalam kemakmuran bangsa, maka dalil Karl Marx yang menyatakan kaum proletar tidak memiliki tanah air tidak lagi sahih.

Konsekuensi dari posisi ini ditunjukkan secara gamblang pada 1914 ketika partai-partai sosialis negara-negara besar memutuskan untuk mendukung pemerintahan mereka dalam perang. Beberapa tahun sebelumnya telah nampak jelas implikasinya dalam perdebatan tentang masalah negeri-negeri jajahan dalam kongres Internasional Kedua (Sosialis) yang diadakan di Stuttgart pada 1907. Pada pertemuan tersebut sebagian besar delegasi dari negara-negara besar mendukung usulan agar mengabaikan kebijakan Internasional Kedua sebelumnya berupa kebijakan tegas dalam mengutuk kolonialisme.

Mereka beralasan bahwa kepemilikan negeri-negeri jajahan bukan semata-mata keburukan, karena penghisapan negara-negara terbelakang membawa kemakmuran terhadap kaum buruh Eropa serta menyebabkan perkembangan ekonomi dan politik bagi negeri-negeri jajahan. Marx sendiri tidak sepenuhnya menolak bahwa kekuatan kapitalisme metropolitan membawa perbaikan bagi koloni mereka. Ia mencatat kekuatan itu telah menghancurkan sistem sosial tradisional “feodal” dan menggantinya dengan sistem Barat dalam bentuk kapitalisme, membawa koloni tersebut ke jalan revolusi sosialis.

Sekalipun demikian, hal itu merupakan kontribusi yang sepenuhnya tidak disengaja, bangkit dari bukan maksud baik kaum metropolis: “Benar, Inggris menyebabkan revolusi sosial di Hindustan, hanya digerakkan oleh karena perhatian yang sangat buruk dan merupakan sikap bodoh dalam memaksa mereka. Namun bukan itu masalahnya. Persoalannya ialah dapatkah umat manusia menjalani nasibnya tanpa revolusi fundamental di masyarakat Asia? Jika tidak, apa pun yang mungkin menjadi kejahatan Inggris, negara ini menjadi alat sejarah tanpa sadar dalam membawa revolusi (Karl Marx, “The British Rule in India” dalam Marx dan Engels, Selected Writings, I, 351).

Oleh karena itu apa yang seharusnya diperangi sebagaimana yang dikatakan kaum reformis ialah penyalahgunaan kekuatan kolonial dan bukan kepemilikan koloni-koloni itu sendiri. Untuk melihat lebih dalam perkembangan pemikiran ini, lihat Eduard Bernstein, Evolutionary Socialism (London, 1919), p.169–175 dan “Probleme des Sozialismus” dalam Zur Theorie und Geschichte des Sozialismus (Berlin, 1904), jilid II, p.96. Bernstein teoretisi penting dari aliran sosialis Revisionis dan salahsatu pendukung gerakan memperlunak sikap kaum sosialis terhadap kolonialisme pada kongres 1907.

Hal ini menyebabkan masalah-masalah yang menyangkut negeri jajahan yang mendapat perhatian kaum Revisionis, bagi Karl Marx sendiri berada di luar kepentingan kaum sosialis. Mereka cenderung melihat masalah tersebut dari sudut pandang yang ditentukan atas landasan perikemanusiaan umum ketimbang kepentingan dan kehendak kelas buruh Eropa saat itu. Sesungguhnya dalam mendukung kemerdekaan negeri-negeri jajahan seringkali berarti menentang kepentingan dan kehendak tersebut.

Posisi demikian mengganggu rasa nasionalisme dan memberikan peringatan kepada mereka yang berpendapat bahwa kehilangan negeri jajahan dapat membawa kemiskinan dan pengangguran bagi kaum buruh metropolitan. Ketika dikaji bahwa para pemimpin kaum Revisionis menaruh harapan pada keberhasilan di parlemen—dan memastikan dukungan rakyat luas—dapat dimengerti kenapa mereka secara umum mengesampingkan masalah negeri-negeri jajahan dari program partai dan kenapa mencurahkan lebih banyak perhatian pada perubahan pemerintahan kolonial daripada percepatan kemerdekaan bagi negeri-negeri jajahan.

Usulan kaum Revisionis telah digagalkan dalam kongres pada 1907 oleh kombinasi delegasi kaum sosialis dari sejumlah kecil negara nonkolonial dan wakil-wakil dari aliran pemikiran Marxis besar kedua, kaum sosialis kiri atau sosialis ortodoks. Inilah faksi ideologi tempat Lenin bergabung, dan setelah terjadi banyak perpecahan membentuk cikal bakal Internasional Ketiga atau Komunis Internasional (Komintern). Kelompok radikal biasanya berpegang pada pandangan mengapa ramalan Marx mengenai krisis kapitalisme tidak terjadi karena sistem kapitalis di negara-negara industri maju Barat telah memperbarui diri dengan melakukan ekspansi ke bagian dunia yang belum berkembang, dengan kata lain melalui imperialisme.


Dikutip dengan seizin penerbit Komunitas Bambu dari buku Ruth T. McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia, Bab I, hlm. 1-3. Buku tersedia juga di Tokopedia, Shopee atau kontak langsung ke WA 081385430505

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *