Kajian Buku Kobam – Sukarno dan Islam: Dialog Pemikiran Modernisme Islam di Indonesia karya Ridwan Lubis

Kajian Buku Kobam yang diselenggarakan Komunitas Bambu, UMY Press, dan Social Movement Institute (SMI) pada Rabu, 20 Januari 2021 pukul 09.00-12.00 WIB membahas buku “Sukarno dan Islam: Dialog Pemikiran Modernisme Islam di Indonesia” karya Ridwan Lubis dengan narasumber Prof. Hamka Haq (DPR-RI Fraksi PDI-P), Prof. Abdul Mu’ti (Sekum PP Muhammadiyah), Yudi Latif, Ph.D (Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia), dan Prof. Ridwan Lubis (penulis buku). Acara tersebut diselenggarakan secara virtual dengan lebih dari 150 peserta.

Sukarno dan Islam Gerakan

Pembicara pertama, Hamka Haq menjelaskan bagaimana Sukarno ialah seorang Nasionalis-Religius. Pertemuannya dengan Tjokroaminoto di masa mudanya memberikan pemahaman bagi Sukarno bahwa Islam adalah gerakan.

Ridwan Lubis sebagai penulis buku menerangkan lebih jauh hal tersebut, “Dari orientasi pemikiran Islam yang simbolistik kepada substansi menuju Islam gerakan. Fokus perhatian fase kemajuan Islam (abad 7-13 M) dan kebangkitan Islam (abad 18-20 M) merupakan orientasi pemikirannya yaitu lebih tertuju optimisme kebangkitan Islam, sebagai sumbangsih untuk kemerdekaan bangsa dari penjajahan.”

Memahami Islam sebagai gerakan dalam arti mengambil api Islamnya membuat Sukarno sering bersitegang, misalnya, dengan penghulu saat momen pernikahannya dengan Siti Oetari, putri Tjokroaminoto. “Jas yang dipakai Sukarno dianggap bagian dari Barat, dan bukan Islam oleh penghulu, ini pernikahan Islam, bukan Barat, masa begitu?,” ucap Hamka Haq.

Sukarno dan Multi-Identitas

Yudi Latif memberikan apresiasi atas diskusi ini karena situasi hari-hari ini seakan memaksa setiap orang untuk memilih satu di antara dua identitas: Islam atau nasionalis. Padahal setiap orang tidak mungkin memiliki satu identitas tunggal.

“Manusia adalah agen dari banyak identitas, ada identitas suku, organisasi, agama, politik, hingga identitas kebangsaan. Yang menjadi masalah adalah ketika kita memilih satu identitas dan dimampetkan serta dipolitisasi sehingga itulah satu-satunya identitas diri kita,” kata Yudi Latif menerangkan.

Sukarno adalah contoh figur yang mendefinisikan persilangan dari banyak identitas. “Sukarno mendapat identitas dan wawasan teosofi dari kakek dan bapaknya, mendapat buddhisme-hinduisme dari ibunya, mendapat cakrawala Islam dari KH Ahmad Dahlan dan Tjokroaminoto saat di Surabaya dan Agus Salim saat di Bandung.”

Abdul Mu’ti mengamini multi-identitas tersebut, “Perjalanan politik dan perjalanan keagamaan Sukarno mengantarkannya menjadi seseorang yang terbuka pada berbagai aliran filsafat, pandangan agama, dan membuatnya bisa berteman dengan siapa saja.” Bekal bagi Sukarno untuk menjadi figur besar dan seorang pemimpin bangsa.

Terbukti, sekalipun relasi politik antara Sukarno dan Muhammadiyah sempat tegang di masa-masa Demokrasi Terpimpin, tetapi secara personal hubungan keduanya baik, seperti Sukarno yang hadir saat diundang Muhammadiyah dalam miladnya di tahun 1962.

“Persoalan hari ini yang terasa seakan antara agama dan negara dipertentangkan, perlu diintegrasikan kembali, keduanya sudah selesai dan tidak perlu dipertentangkan,” kata Abdul Mu’ti. Figur Sukarno menjadi penting sebagai rujukan memecah problem tersebut. Pendekatan-pendekatan personal harus diutamakan untuk memperkaya keagamaan dan kebangsaan kita.***

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *