Jenderal Inti di Dapur Soeharto

Akbar Kurniawan

Jurnalis Tempo


Soeharto bisa berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa karena ditopang kekuatan peran militer. Dia memarkir para jenderal yang loyal pada posisi strategis. Bukan hanya di institusi militer, dengan dalih dwifungsi militer Soeharto juga menempatkan militer di institusi sipil. Tujuannya, melanggengkan kekuasaannya.

Tapi siapa yang mampu menggambarkan detail “kerajaan militer” yang dibangun jenderal bintang empat itu? Salah satu jawabannya adalah David Jenkins, wartawan asal Australia yang bertugas di Indonesia pada kurun 1969-1970 untuk Melbourne Herald dan selama 1976-1980 untuk Far Eastern Economic Review.

Jenkins mampu menggambarkan posisi militer dan politik para Jenderal periode 1975 hingga 1983 dalam bukunya, Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983, yang terbit 26 tahun silam. Kejaksaan Agung pada 1986 melarang buku ini beredar, seperti juga terhadap buku karya Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia.

Sebenarnya pelarangan itu berkaitan dengan artikel Jenkins di Sydney Morning Herald pada Juli 1986, yang memaparkan kekayaan Soeharto. Jenkins menyatakan, Soeharto telah melanjutkan tradisi korupsi Ferdinand Marcos dari Filipina. Orde Baru pun meradang, sampai-sampai hubungan diplomatik istimewa Australia-Indonesia turun derajat menjadi diplomatik biasa.

Buku Jenkins ini mengupas hal yang sama dengan buku Crouch. Hanya, buku Crouch lebih lengkap, yakni mengupas sejarah militer sejak era Presiden Soekarno. Meski demikian, Crouch memuji buku ini sebagai salah satu kajian politik Orde Baru yang paling mendalam.

Perbedaan lain di antara kedua penulis ini adalah dalam penyajiannya, karena perbedaan profesi. Crouch seorang ilmuwan, sedangkan Jenkins memadukan reportase gaya jurnalis dengan pendekatan akademik. “Jenkins menulis sebagai jurnalis profesional yang menggunakan perlengkapan seorang akademisi,” puji John A. MacDougall, editor pada Indonesia Reports.

Crouch pun menyanjung karakter Jenkins, yang membuat dia dapat diterima narasumbernya. Kedalaman buku Jenkins terletak pada wawancara Jenkins dengan para jenderal Orde Baru, kecuali Soeharto. Bagi Crouch, tidak mudah mendapatkan keterangan dari mereka, apalagi dari empat jenderal di lingkaran dalam Soeharto. “Sosok Jenkins sangat tenang, sopan, dan santai,” puji Crouch.

Jenkins menilai ada empat jenderal yang dianggap sebagai anak emas Soeharto. Mereka adalah Letnan Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Benny Moerdani, Jenderal Yoga Soegama, dan Laksamana Sudomo. Mereka lebih dikenal dengan sebutan “Kabinet Dapur” atau “Dewan Pusat”. “Mereka punya hubungan pribadi di samping hubungan resmi,” Jenkins menuliskan.

Tiga jenderal memiliki latar belakang intelijen yang kuat, kecuali Sudomo, yang dinilai jago di bidang keamanan. Tiga jenderal (selain Ali Moertopo) saling mengisi di tiga pos penting: Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, serta Badan Koordinasi Intelijen. Mereka sengaja ditempatkan saling tumpang-tindih. Benny berada di ketiganya. “Ini bukti Benny paling ahli dalam intelijen.”

Empat jenderal itu tidak memiliki masa tugas tertentu seperti lazimnya seorang tentara. Mereka dipilih bukan karena kemampuannya, melainkan lantaran persetujuan pribadi dan kepercayaan Soeharto. Posisi intelijen dan keamanan dinilai lebih penting ketimbang Panglima ABRI, yang pergantiannya seperti urut kacang dari angkatan Akademi Militer.

Kementerian Dalam Negeri dan Kepala Staf Kekaryaan adalah dua posisi emas bagi Soeharto. Kedua jabatan itu selalu dipegang oleh jenderal yang loyal kepada Soeharto atau paling tidak loyal kepada empat jenderal inti. Soeharto dan empat jenderal itu menilai kedua jabatan tersebut menjamin tercapainya dwifungsi ABRI, yaitu menempatkan anggota militer di luar bidang militer.

Karena dwifungsi, banyak tentara menjadi kepala daerah, anggota legislatif, eselon satu di departemen, serta pemimpin badan usaha milik negara. Posisi yang tidak hanya strategis secara politik, tapi juga menguntungkan secara ekonomi bagi tentara yang terpilih untuk di-karya”-kan. Akibatnya, posisi sipil sering lebih diperebutkan ketimbang jabatan di kemiliteran.

Di bidang politik, ABRI lugas mendukung Golongan Karya. Alasannya, Golkar dianggap sebagai kelompok politik yang menjamin UUD 1945 dan Pancasila. Dukungan ini menuai kecaman, terutama dari perwira militer yang selama ini menjadi oposan Soeharto.

Jenkins juga mampu menggambarkan peta kekuatan kaum oposan ini. Ada dua kelompok: Forum Studi dan Komunikasi (FSK) dan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). FSK dibentuk oleh perwira aktif seperti Letnan Jenderal A.J. Mokoginta, Letnan Jenderal Djatikusumo, dan Letnan Jenderal Jasin. Sedangkan LKB dikomandoi oleh A.H. Nasution. Di dalamnya antara lain ada mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan Kepala Kepolisian Hoegeng.

Betapapun kerasnya kritik dari lingkup internal militer, Soeharto tetap bersikukuh pada kebijakannya. Apalagi Soeharto hampir setiap hari memotong pita sebagai ekspresi seremoni keberhasilan pembangunan, misalnya dalam pembangunan jalan, jembatan, saluran irigasi, dan bendungan. Inilah yang membuat Soeharto yakin untuk tidak mempedulikan ocehan para oposannya.

Sumber: https://gaya.tempo.co/read/258982/jenderal-inti-di-dapur-soeharto/full&view=ok

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *