Biksu Tak Berjubah
Jejak Sajak Sitor Situmorang

Riadi Ngasiran
Sastra-indonesia.com


   Bila ada penyair yang menolak sajak-sajaknya dikaitkan dengan biografinya, tak lain adalah Sitor Situmorang. Sajak-sajak yang mengingatkan pada biografi saya, itu termasuk karya yang gagal. Tapi benarkah antara teks yang dihadirkan seorang penyair bisa lepas dari dirinya sama sekali? Padahal, kita tahu, banyak karya penyair Angkatan 45 itu mengekspresikan diri dan pengalamannya. Sulit sekali memisahkan sajak-sajak Sitor dengan penulisnya atau lingkungannya.

   Dua buku terbitan Komunitas Bambu (Sitor Situmorang; Kumpulan Sajak 1948-1979 dan Sitor Situmorang; Kumpulan Sajak 1980-2005) memperlihatkan, banyak karya Sitor Situmorang yang menggambarkan keinginannya kembali ke leluhur, tentang keindahan tanah kelahirannya, dan tentang cintanya kepada ibundanya. Sejumlah sajak, di antaranya berjudul Matinya Juara Tinju, Kisah Harimau Sumatera, dan Ibu Pergi ke Surga. Memang sebaiknya kita membicarakan puisi sebagai puisi. Akan tetapi, bagaimanapun, karya-karya itu adalah biografi Sitor Situmorang.

   Mencermati karya Sitor, kita berhadapan dengan tema religius. Hal itu menunjukkan betapa sejumlah sajak dalam buku tersebut merupakan ekspresi dan pengalaman keagamaan penulisnya. Sederetan puisi religius Sitor Situmorang, di antaranya Danau Toba, Ziarah dalam Gereja Gunung, Kolam Renang, Pada Mula Segala Telah Dosa, Cathedrale de Chartres, Natal, Hari Paskah, Paskah, Doa Paskah, Paskah Maria Magdalena, Khotbah Baptisan Paskah, Pontius Pilate, Angin Danau, Kristus di Danau, dan Biksu Tak Berjubah.

   Karya-karya Sitor bertema Kristen hanya sedikit, tetapi membawa pengaruh yang luas bagi signifikansi emosional. Sitor Situmorang agaknya memiliki pengalaman yang begitu luas, intensitas ekspresi yang dalam, dan mahir dalam kepenulisan.

   Riris K Toha-Sarumpaet, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam suatu diskusi, tak kuasa melepas sajak-sajak Sitor dari biografi sang penyair. Apalagi, bila harus ditilik melalui pendekatan konteks atau latar budaya Sitor sebagai orang Batak.

   Penyair kita ini mempunyai energi kreatif yang belum ada taranya. Tak berlebihan bila Fuad Hasan mendefinisikan stamina Sitor Situmorang sebagai hypergraphia, seseorang yang terus-menerus menulis. Dibesarkan dalam tradisi lisan Melayu yang begitu mengakar, tepatnya di Harianboho, Sumatera Utara pada hari Kamis, 2 Oktober 1924, Sitor Situmorang mengaku bahwa dirinya sudah ditakdirkan untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam berkarya. Bukan ia yang memilih Bahasa Indonesia, tetapi Bahasa Indonesia yang memilihnya untuk menulis syair. Karenanya, ia prihatin terhadap rusaknya Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kalangan terpelajar kita, baik politisi, media massa maupun kaum intelektual.

   Bagi Sitor, kalangan terpelajar Indonesia masih malas untuk mencari padanan kata-kata asing yang diserap mentah-mentah. Yang mereka lakukan hanya mengutak-atik kata-kata, tidak ada usaha untuk mencari padanan yang tepat. Seorang tokoh politik Indonesia yang berkata, I dont care, di depan publik Indonesia. Bukankah itu bahasa prokem orang sana.

   Sitor menyadari, ia pun termasuk orang yang sering melakukan perjalanan-perjalanan atau kelana spiritual, sehingga harus meninggalkan Indonesia dan bertemu dengan masyarakat berbahasa asing. Sitor bepergian keliling Eropa sejak 1950. Meskipun demikian, ia tak pernah melupakan Bahasa Indonesia.

Bila bepergian ke luar negeri, ia tetap terpesona dengan Indonesia: ia selalu membaca karya-karya Hamzah Fansuri untuk mengingatkannya kepada Bahasa Indonesia.

   Jika dibandingkan dengan penyair-penyair lain yang hidup sezaman dengannya, dapatlah dikatakan bahwa Sitor adalah satu-satunya penyair yang tak pernah meninggalkan tradisinya dalam berkarya. Sitor adalah salah seorang penyair dari Angkatan 1945 yang tak pernah meninggalkan tanah leluhurnya.

   Rasa cinta Sitor Situmorang terhadap budaya diwujudkan dalam bentuk pelestarian otentisitas dan diabadikan dalam bentuk dokumentasi. Dan jejak itu telah banyak terekam dalam sajak-sajaknya. Budaya tak lepas dari pariwisata, yang problem utamanya adalah bagaimana mempertahankan budaya dan otentisitas daerah itu, misalnya rumah adat, adat istiadat serta keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata dan sektor-sektor pendukung lainnya seperti jasa, industri, dan perdagangan.

   Sebuah studi yang dilakukan di Pulau Samosir mendapati, meskipun pulau itu ditetapkan sebagai daerah pariwisata, hanya sekitar tujuh persen dari penduduknya bekerja di sektor jasa. Hampir 80 persen penduduknya mengandalkan pertanian tanaman pangan sebagai mata pencaharian.

   Sitor Situmorang, yang peduli dan bangga pada kesukuannya, tak pernah malu berkisah asal mula pulau tersebut. Berdasarkan mitologi yang berkembang di tengah masyarakat, pada mulanya daerah yang sekarang menjadi Danau Toba bukanlah danau, melainkan lahan pertanian dengan masyarakat yang hidup dengan tentram dan damai. Salah seorang pria di desa itu jatuh cinta dan menikah dengan seorang gadis yang ternyata keturunan manusia dengan sejenis roh. Saat menikah, si lelaki diminta berjanji untuk tidak membuka jatidiri perempuan tersebut. Pasangan itu hidup bahagia dan menghasilkan anak. Sayangnya, sang anak kerap membuat kesal ayahnya, hingga suatu ketika lelaki itu marah dan memaki anaknya dengan menyebutkan jatidiri ibunya.

  Seketika itu juga, si perempuan murka dan mengutuk dengan mendatangkan air bah yang memenuhi daerah tersebut, menyisakan sedikit daratan di tengahnya, dan kini menjadi Danau Toba dan Pulau Samosir.

  Namun, secara ilmiah, ahli geologi kebangsaan Belanda Van Bemmelen (1949) menyebutkan, Danau Toba, yang tidak terpisahkan dari Pulau Samosir terbentuk akibat letusan gunung berapi yang amat besar dan menghasilkan kaldera atau kawah. Makanya, daerah itu hingga kini menjadi lahan pertanian, yang memberi hasil bumi berupa padi, kentang, dan kubis.

  Masa kecilnya berdampingan dengan Danau Toba yang dikaguminya. Hingga kini pun ia masih mengagumi Danau Toba, dan entah mengapa ia tak ingin mencemarinya. Namun demikian, suami dari Barbara Brouwer salah seorang pejabat di lingkungan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) di Jakarta itu mengemukakan, Danau Toba dan tanah leluhurnya banyak memberikannya ide untuk berkarya sastra, mulai dari menulis puisi, prosa, cerita pendek (cerpen), dan buku.

   Ia semakin merasakan suasana Tanah Batak setelah berpindah ke Jakarta. Ia termasuk pemuka masyarakat Batak senior di Jakarta, dan sering mendapat undangan ke sana-sini untuk menghangatkan silaturahmi.

Selama bermukim di Jakarta memiliki kolam renang di rumahnya. Namun, siapa nyana, ia sama sekali enggan berenang di kolam di rumahnya lantaran tak ingin mencemari Danau Toba.

Sumber: http://sastra-indonesia.com/2010/12/jejak-sajak-sitor-situmorang/

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *