Jejak Genosida 1965 di Bumi Tanah Rencong

Oleh WIJANARTO*


Dari pembacaan arsip-arsip militer soal pembunuhan massal di Aceh, Jess Melvin sampai pada kesimpulan soal insiden 1965–1966 sebagai kategori genosida yang mempertautkan peran negara.

HISTORIOGRAFI 1965 selalu mencuri perhatian. Itu disebabkan banyaknya temuan baru dan pandangan berbeda antara satu publikasi dan lainnya.

Sejak reformasi, ada sejumlah rilisan publikasi kajian tentang peristiwa 1965. Sebut saja studi Geoffrey Robinson soal pembunuhan massal di Bali, Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (2015). Atau kajian I Ngurah Suryawan, Ladang Hitam di Pulau Dewata: Pembantaian Massal di Bali 1965 (2007).

Ada juga publikasi Geoffrey Robinson lainnya, The Killing Session: A History of the Indonesia Massacres 1965–1966 (2018). Yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965–1966 (2018). Sebelumnya ada pula buku John Rossa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2006).

Studi Jess Melvin soal pembunuhan massal 1965–1966 di Tanah Rencong, Aceh, menemukan satu kesimpulan tegas soal kategori genosida dan keterlibatan negara. Buku ini merupakan pengembangan dari disertasi Melvin di University of Melbourne, Australia.

Karya Melvin merekonstruksi narasi pembunuhan massal 1965–1966 di Aceh secara rigid dengan menggunakan laporan militer. Laporan tersebut diperoleh dari Douglass Kammen (2010) tentang Laporan Tahunan Lengkap Kodam I/Kohanda Atjeh 1965. Serta arsip dari bekas gedung arsip Badan Intelijen Negara (BIN) di Banda Aceh.

Dari pembacaan arsip-arsip tersebut, Melvin sampai pada kesimpulan soal pembunuhan massal 1965–1966 sebagai kategori genosida yang mempertautkan peran negara. Itu dilakukan melalui operasi militer berskala nasional dengan melibatkan peran organisasi sosial masyarakat dan keagamaan. Konklusi Melvin inilah yang membedakan dengan studi-studi sebelumnya.

Ambil contoh buku yang dieditori John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid dalam Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Pengakuan dan Korban 1965. Publikasi ini hanya merekonstruksi perjalanan korban 1965 melalui serangkaian wawancara.

Demikian pula dengan studi Geoffrey Robinson dalam Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965–1966 (2018) yang mengandalkan sumber korban dan pelaku pembunuhan. Juga sumber-sumber post-factum seperti laporan Komnas HAM dan sumber-sumber luar negeri.

Jejak Genosida dan Pandangan Teoretis

Selama ini meletupnya pembunuhan massal 1965–1966 dinisbatkan sebagai tuntutan yang spontan dari rakyat atau akumulasi konflik politik horizontal yang dilancarkan PKI terhadap kelompok Islam, masyarakat pedesaan, hingga birokrasi daerah. Melalui publikasi ini, Melvin menguatkan argumen genosida dan keterlibatan negara dalam pemberantasan golongan kiri di Aceh.

Pertanyataan yang harus diajukan bukan lagi: apakah pembunuhan massal terjadi dan apakah negara Indonesia mengetahui bahwa kekerasan itu terjadi? Melainkan akankah Negara Indonesia bertanggung jawab atas perannya dalam memicu dan mendalangi kekerasan tersebut. Dan dapatkah Negara Indonesia memastikan bahwa HAM dan supremasi hukum ditegakkan di Indonesia pascareformasi (halaman xxvii).

Lontaran tersebut didasarkan pada penyangkalan Luhut Binsar Pandjaitan, Menko polhukam ketika itu, melalui Simposium Nasional Tragedi 1965 tahun 2016. Sebelumnya laporan investigasi Komnas HAM juga mentah.

Guna meyakinkan argumennya soal genosida, Melvin menelusuri beberapa dokumen penting seperti Konvensi Genosida 1948 hingga beberapa kasus genosida yang terjadi di dunia. Pada bab 2, Melvin dengan runtut membincangkan genosida yang secara substansi memiliki indikasi seperti pembunuhan atas rakyat melalui dukungan negara. Pembunuhan itu biasanya menimpa kelompok minoritas tertentu seperti yang menimpa kalangan Yahudi di Perang Dunia II.

Yang menjadi permasalahan adalah genosida 1965 terjadi pada kelompok politik (komunis) yang tidak diatur dalam Konvensi Genosida 1948. Dengan mengutip Oppenheimer, Melvin berargumen soal kekerasan massal 1965–1966 yang dicirikan peran negara melalui birokrasi yang banal (halaman 15).

Dalam realitasnya, sasaran pembunuhan di Aceh tidak hanya kaum komunis, wabil khusus anggota PKI, kader, maupun yang berafiliasi dengan partai tersebut. Melvin mencatat sasarannya mencakup pula warga desa tertentu hingga kalangan peranakan Tionghoa (halaman 21).

Pembunuhan massal itu mengakibatkan jumlah korban diperkirakan mencapai 15.000 orang. Killing field-nya tersebar di beberapa daerah di provinsi paling barat Indonesia tersebut.

Membaca publikasi ini memang mengingatkan kembali sejarah kelam bangsa Indonesia di tengah-tengah impunitas pihak yang dianggap bertanggung jawab. Setidaknya buku ini membukakan dan menggaungkan kembali soal kebenaran dan keadilan. (*)


*WijanartoLulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang

Sumber: https://www.jawapos.com/minggu/buku/13/03/2022/jejak-genosida-1965-di-bumi-tanah-rencong

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *