Jakarta 1950-An: Kenangan Semasa Remaja
Jakarta yang Masih Lengang

Aegi
Editor kompas.com


“Di Jakarta, Tuhan sedang membuat orang Indonesia,” demikian diucapkan Lance Castles. Perkataannya itu terbalik pada Jakarta sebagai melting pot, Jakarta yang sejak masih bernama Batavia sudah menjadi kota multi-etnis. Hal itu diawali dengan jatuhnya Jayakarta di tangan JP Coen yang kemudian mendirikan Batavia pada 1619.

Kota Batavia merupakan peluang kerja yang sangat besar bagi berbagai suku seperti Jawa, Bali, Ambon, Bugis, termasuk bagi orang Tionghoa di daratan China yang bermigrasi ke Batavia. Selain itu, berbagai kawasan di sekitar Batavia (Ommelanden) juga ikut berkembang mendampingi ekonomi Batavia di bidang pertanian, industri gula, pabrik arak, genting, dan batu bata.

Identitas luas pun makin membuat luntur menjadi identitas Batavia, Jakarta. Mereka tidak lagi menggunakan dimensi, tetapi lebih pada kepentingan sosial ekonomi dan kedekatan geografis. Maka, penulis buku Profil Etnik Jakarta ini pun mengeluarkan kalimat seperti disebut di awal tulisan ini.

Abad berganti, jumlah penduduk Jakarta, yang tetap multi-etnis, pun bertambah. Peningkatan jumlah penduduk sangat pesat melalui urbanisasi dan ledakan penduduk — di mana jumlah kelahiran lebih banyak dari tingkat kematian. Itu istimewa pada tahun 1950-an. Firman Lubis, seorang dokter, tentang Jakarta pada tahun 50-an, 60-an dan 70-an. Dalam seri Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja , ia menyebutkan, pada tahun 1950-an sebenarnya Jakarta belum terlalu padat dengan satu sampai dua juta penduduk. Jumlah itu menanjak menjadi lebih dari 3 juta penduduk pada akhir tahun 1960 dan membengkak menjadi lebih dari 8 juta pada tahun 1980-an.

Sebuah populasi untuk menunjukkan penduduk di Jakarta pada tahun 1950-an, Firman mencari tempat tinggal, di Jalan Kawi. Kata Firman, kampung di dekat rumah, Kampung Pedurenan, pada awal 1950 merupakan kampung yang lengang dan masih asri karena banyak pepohonan. Tapi di musim 1950, pemandangan kampung segera berubah menjadi perkampungan padat penghuni. Rumah berdempetan, lingkungan pun jadi tak sehat dan gersang.

Dari rekaman Firman, dengan luas Jakarta yang 670 km2, kemudian pada tahun 1950-an kepadatan penduduk sekitar 1.250 orang per km2 (dengan jumlah satu hingga dua juta penduduk). Sesudah tahun 1980-an, kepadatan penduduk melonjak menjadi sekitar 12.500 orang per km2, di kawasan padat penduduk bahkan mencapai 40.000–50.000 orang per km2.

Catatan lain tentang pesan masa remajanya adalah tentang ruang bermain yang masih luas pada tahun 1950-an. “Sebagai anak dan remaja, kami sering sering bermain di luar rumah. Mencari tempat bermain mudah. Rumah-rumah umumnya punya pekarangan cukup luas, di mana kami bisa melakukan lompat tali, galah asin, kelereng, dan petak umpet, ”lanjutnya, juga, juga, dan banyak lagi.

Pengalaman Firman pada tahun 1950-an tentu tak lagi bisa dinikmati anak-anak dan remaja di Jakarta pada periode 1990-an. Pada periode saat “Rencana Induk DKI 1965-1985” mulai dijalankan oleh Gubernur DKI Jakarta, (alm) Ali Sadikin, sesaknya Jakarta semakin terasa.

Kemudian pada tahun 1980-an dimulai banyak taman lenyap, lahan kosong semakin sulit dicari, bahkan Bangunan bersejarah pun tidak mengeluarkan yang dirobohkan, diganti Bangunan modern. Harga tanah kian melonjak. Jakarta berubah menjadi hutan beton, jalan-jalan baru dibikin hingga ke lingkar luar Jakarta untuk mengatasi macet, meskipun macet tak pernah teratasi dengan rincian jalan.

Sumber: https://travel.kompas.com/read/2010/03/08/09424439/Jakarta.yang.Masih.Lengang

Komentar (0)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Bidang yang harus diisi ditandai *