Jakarta Siapa yang Punya?
Achmad Sunjayadi
Faculty of Humanities, University of Indonesia
Jakarta jadi ajang ‘pertempuran’ lagi. Setidaknya hal ini yang terlihat dari para kandidat gubernur dan wakilnya yang mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di ibukota negara. Pencalonan para kandidat tersebut memperlihatkan tabuhan ‘genderang perang’ pertama partai-partai politik yang akan bertarung pada Pemilu 2014 nanti.
Seberapa pentingkah Jakarta bagi partai-partai politik tersebut yang mencalonkan para kandidatnya? Jelas penting karena pilkada kali ini dapat menjadi ajang mengukur kekuatan mesin politik menghadapi Pemilu 2014. Namun, hal yang terpenting adalah apakah para kandidat tersebut kelak mampu mengatasi berbagai persoalan di Jakarta. Mulai dari kemacetan, kebakaran, hingga banjir.
Berbagai peneliti telah mengupas Jakarta serta persoalannya dari berbagai sisi. Hal yang menarik adalah bila kita membahas tentang Jakarta, seolah tidak akan ada habisnya. Satu nama yang kerap menjadi sumber para peneliti tentang Jakarta yaitu Frederik ‘si Jago’ de Haan. De Haan ini pula yang termasuk salah satu sumber dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn.
Buku ini merupakan terjemahan dari edisi revisi Jakarta: A History (1989) karya Susan Blackburn yang ketika itu masih bernama Susan Abayasekere. Ketika pertama kali terbit pada 1987 buku tersebut sempat dilarang beredar.
Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah ketika itu adalah pemerintah tidak suka dengan cara meneliti dan pengungkapan Susan mengenai Jakarta yang pernah dijuluki Ratu dari Timur (Queen of the East). Hal tersebut tidak ada kaitannya dengan metode yang digunakannya melainkan tesis yang diajukan oleh Susan membuat pihak-pihak yang berkepentingan tidak berkenan.
Susan mengajukan tesis bahwa Jakarta merupakan kota yang dibangun untuk memuaskan impian para penguasa dan pemilik modal serta tidak memerhatikan kelompok masyarakat lain yaitu masyarakat bawah alias wong cilik.
Dilihat dari sejarah perkembangan Jakarta, Jakarta memang mengalami perubahan serta kesinambungan seiring pergantian penguasanya. Mulai dari penguasa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), sebuah perusahaan dagang yang kerap disebut kompeni dan pada awalnya membangun benteng di salah satu wilayah bagian utara Jakarta sekarang.
Hal ini dibahas pada bagian pertama: ‘Tuan-Tuan Lama’. Bagian tersebut membahas Jakarta pada periode abad ke-17 (1619) hingga menjelang masuknya Jepang pada 1942. Pada bagian ini terdiri dari tiga bab: ‘Kota Kompeni: Asal Mula Hingga 1800’, ‘Kota Kolonial: Batavia pada Abad ke-19’, dan ‘Batavia 1900-1942: Kota Kolonial Menghadapi Tantangan’.
Pada masa kolonial, pemerintah Hindia-Belanda berharap Jakarta menjadi salah satu kota yang menjadi kota bagi masyarakat kulit putih. Di sini kita mengenal istilah benedenstad (kota lama) , kawasan Weltevreden hingga Menteng.
Pada bagian kedua ‘Masa Peralihan Pemerintahan’ yang membahas Jakarta pada periode perang hingga pasca kemerdekaan hanya terdiri dari satu bab ‘Pendudukan Jepang dan Perjuangan Meraih Kemerdekaan, 1942-1949’ .
Setelah berada di bawah pemerintah Hindia-Belanda dan mengalami masa peralihan, Jakarta berada di bawah kekuasaan pemerintah Republik Indonesia. Periode tersebut dibahas pada bagian ketiga. Pada bagian ini ‘Tuan-Tuan Baru’ membahas Jakarta di bawah Soekarno dan pemerintahan Orde Baru. Pada bagian ini terdiri dari dua bab: ‘Jakarta Masa Sukarno: 1950-1965’ dan ‘Jakarta di Bawah Pemerintahan Sadikin dan Para Penerusnya: 1966-1985’.
Pada masa Republik Indonesia, Jakarta dirancang untuk menjadi kota kebanggaan nasional di mana berbagai proyek dibangun dan pada masa Orde Baru, Jakarta menjadi kota pusat perekonomian negeri.
Benang merah yang menjadi penghubung antar periode tersebut adalah Jakarta dibangun hanya untuk kepentingan kelompok tertentu bukan untuk seluruh masyarakat. Dalam setiap periode, Jakarta terus menghadapi permasalahan dan tak kunjung mampu mengatasinya. Sebut saja masalah banjir, air bersih, sampah, kemacetan yang akarnya sudah terlihat dari awal dan masih dirasakan hingga kini. Permasalahan itu pula yang menjadi pekerjaan rumah para kandidat gubernur.
Sehubungan dengan periode yang dibahas (sampai 1985), khususnya dengan data yang mendukung buku ini, sepertinya membuat buku ini ketinggalan zaman. Apalagi pasca peristiwa Reformasi 1998 juga memberikan pengaruh dan mengubah wajah Jakarta sekarang. Hal ini sebenarnya sudah dijawab oleh Susan Blackburn dalam kata pengantarnya bahwa diperlukan satu buku tersendiri untuk membahas periode tambahan tersebut.
Selain disusun secara kronologis buku ini dilengkapi peta dan ilustrasi yang membantu kita untuk membayangkan kembali situasi pada periode yang dibahas.
Siapa pun yang kelak menjadi orang nomor satu di Jakarta, diharapkan juga dapat menyuarakan suara masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Tidak hanya segelintir elite, baik penguasa dan pemilik modal. Oleh karena Jakarta adalah milik kita semua. Jakarta punya kita
Sumber: https://sunjayadi.com/jakarta-siapa-yang-punya/#more-383
Comments (0)